Kamis, 31 Maret 2011

Teh Tarik - Chapter 8

Hari ini, kost-kostan Bu Bestari sengaja dilewati dulu. Biar jadi yang terakhir diantar makanan aja supaya gue bisa kasih Ardi memory card yang gue janjikan waktu itu. Begitu masuk halaman rumah, gue merasa aneh. Deg-degan. Haduh... Itu ngapain sih si Pak Min dan Mas Peno ngobrol di teras yang ada di depan kostan. Sumpah, gue grogi.
"Hai... Dokter Min." Sapa gue ke Ardi yang sedang memangku laptopnya. 
"Hei... makanannya apa?" kata Ardi.
"Lihat aja di dalem. Permisi ya..."
Gue langsung melewati mereka dan masuk, langsung menuju ke meja makan. Disana ada Amir yang sedang minum teh bersama Paulus.
"Eh... Ada Dee." Sapa Amir.
"Laper nih... Ayo cepet, hehe." Kata Paulus, kelihatan sumringah. Kayaknya dia udah menunggu dari tadi jatah makan malamnya. Gue pun menata makanannya di meja makan seperti biasa. Begitu Ardi masuk, jantung gue berdegup kencang sampai tangan gue agak gemetaran. Payah ini, Dee..
"Mau bikin es teh nggak nih? Ada kan ya es sama teh disini?" Kata gue menawarkan.
"Ada, Dee..."
Ardi membantu gue mencari keperluan untuk membuat teh manisnya. Again, he is sooo helpful. Bikin grogi aja. Anak kost yang lain udah pada mulai makan. Gue menyisihkan satu porsi untuk Nino.
"Mbak, itu buat mas Nino?" Tanya Ma Peno.
"Iya."
"Mas Nino tadi bilang buat saya aja. Dia pulang malam katanya."
"Oh, ya udah kalau begitu, Mas."
Gue tersenyum dan memberikan jatah makanan Nino ke mas Peno yang langsung dilahap. Empat orang, satu pitcher cukup sepertinyua. Oh, lima orang sama gue, berarti.
"Coba, deh. Ini enak." Gue minta susu cair yang diklaim punya Ardi, lalu mencampurnya ke dalam teh yang ada di gelas di tangan gue. Lebih manis. Sengaja... Pakai es batu, soalnya.
"Ini teh tarik. Nih coba..." Gue menyodorkan gelas itu ke Ardi.
"Umm..." Ardi terlihat agak sangsi. Ragu, akhirnya gue dekatkan bibir gelas itu di depan wajahnya, terus gue dekatin hingga akhirnya nempel di bibir Ardi dan diminumnya. Eh... tapi kok... Ardi minumnya keterusan....
"Eh... enak aja." Gue tarik lagi gelasnya, lalu gue minum habis.
"Enak, Dee. Mau lagi."
"Mana laptop lo tadi? Jadi minta lagu?"
"Sip, jadi. Bentar..."
Sambil duduk di sofa ruang tamu, gue memperhatikan cowok-cowok itu makan dan bercanda. Gue membuka laptop Ardi dan menyambungkannya ke handphone gue dengan kabel data. Hmm... si Ardi koleksi lagunya banyak berbau boyband-boyband gitu. Hehe, nggak sih... BSB dan N'Sync, plus Boyzone dan Westlife aja. Yang lainnya lagu campur aduk, tapi banyak yang agak kurang baru. Ada Bon Jovi pula. Sepertinya dia suka. My Chemical Romance pun, semua lagunya ada. Tapi dia nggak punya The Used. Payah, nih, Dokter Min.
Gue memasukkan semua lagu yang ada di memory card gue, biar nanti dia yang pilih sendiri. Baru proses transfer lagu dari memory card kedua, tau-tau Ardi udah ada di sebelah gue.
"Banyak, ya?" Tanya Ardi.
"Lagu lo jadul semua, Dokter Min, hehe. Eh, bentar ya. Kebelet nih..." Gue langsung ngacir ke toilet yang ada di dekat tangga.

Sepulangnya dari kost-kostan itu, gue merasa agak aneh. Senyam-senyum sendiri nggak berhenti... Sepertinya saya naksir sama Ardi. Hahaha... payah nih, Dee.
Begitu sampai kamar, gue langsung menyalakan radio.
"You are... the only exception..." Suara Hayley Williams mengudara. Heh?! Lagu ini membuat gue berpikir... Ardi itu oriental look, berbeda agama sama gue, ahh... gue harus membatasi perasaan gue ke dia. Harus dikontrol. Prinsip percintaan gue harus ditegakkan. Mudah-mudahan cuma sekedar suka biasa. Ya Allah, tolong Dee ya!!
Tidur gue agak terganggu malam itu. Nggak nyenyak. Senyum-senyum dan wajahnya Ardi masih memenuhi kepala gue. Oh, I got a crush on him!!

Hari-hari berikutnya berjalan sama. I really had fun with him. Setelah dinnner, we talk about musics yang gue transfer ke laptopnya, kita berdua selalu minum teh tarik made by Dee-Ardi. Hehehe...
"Cocok. Teh tarik. Teh plus susu." Kata Destu setiap saat, diulang setiap hari kalau dia melihat kita sedang ngobrol di ruang tamu.
"Maksudnya?" Tanya gue saat pertama kali sadar kalau Destu sudah mengatakan hal itu berulang-ulang.
"Dee itu kan kayak teh... coklat, hehe. Kalau Ardi kayak susu karena dia putih. No offense ya, Dee, hehe."
"Haahahaha.... teori yang aneh. Ya nggak mungkinlah jadi teh tarik. Tapi gue teh manis, kan?" Kata gue sambil menjulurkan lidah.
Ya iya dong... gue dan Ardi pasti cuma akan jadi seperti ini. Bukan karena gue mau, but because I know who I am. Kasarnya, gue tau diri. He's dropdead adorable. Gue? Jauh... jauh... jauh banget. Gue nyaman dengan kedekatan ini. Lagian, dia juga kan pasti akan pindah rumah sakit. Namanya juga Koas. Kecuali kalau dia menawarkan (berarti dia gila) untuk pacaran, baru deh akan gue sambut dengan tangan terbuka... (mikir...)

Sabtu ini gue ada gathering Oz Club dan hari Minggunya akan melihat Backalley di salah satu rooftop sebuah mall yang juga merupakan foodcourt outdoor. Weekend ini tugas gue mengantar katering anak-anak kost selesai sudah. Well, apa Ardi akan menjauh juga? Nggak tau lah.
Friday, I stay a little but longer at this living room...
"Handphone lo apa sih, nih?" Tanya Ardi.
"Handphone katro, Dokter Min. Ini made in India." Jawab gue. Handphone ini udah dua kali diservis.
"Nokia kok India?"
"Iya... Makanya jelek. Lagi ngumpulin duit buat beli yang baru."
"Umm..." Dia pencet-pencet.
"Ngapain sih? Nggak ada lagu baru."
"Enggak. Bukan lagu baru. Minta nomor telponnya."
Dia bicara begitu tanpa mengalihkan pandangannya dari handphone gue. Wajah gue memanas. Daripada salting, gue pura-pura ngotak-atik laptop dia yang di atas meja aja. Gue duduk di lantai seperti biasa, bersila. Dia duduk di sofa. Handphone Ardi yang ada di meja bunyi dan bergetar. A simple incoming call tone.
"Nih..." Katanya seraya mengembalikan handphone ke gue. Gue cek panggilan keluar.
"Ini nomor lo yang belakangnya 385?"
"Iya. Di save dong. Lupa tadi."
"Sip, dokter Min."
"Ih, tetep ya? Kenapa nggak Ardi aja?"
"Ih, suka-suka gue. Hp-hp gue."
"Sssshhh.... dasar, teh manis."
Geez....! Tiba-tiba Ardi melempar stabillo ke gue. Dokter gila. Sama perempuan kok kasar.
"Dokter Min nggak gue bagi lagu kece lagi, lho."
"Haha, iya. Maap. Galak amat sih, neng."
"Don't call me that way. I hate it!"
"Iya, neng."
Sekarang gantian gue yang melempar stabillo itu ke Ardi. Tepat kena badannya. Rasakan pembalasanku! Handphone gue berbunyi. Telpon dari nyokab. Wa wa wa... nggak sadar kalau udah setengah sepuluh malam. Sial. Waktu cepat berlalu kalau dihabiskan sama orang yang kita suka. And now, he's playing as a gentleman. Maksa nganter gue pulang paling nggak sampai dekat rumah. Okay, kali ini gue menurut. Toh, gue akan jarang, atau nggak akan pernah lagi, ada disini sampai malam... tanpa alasan. I mean, besok-besok kan yang anter makanan adalah adik gue lagi. Beside that I'm tired, selama dua minggu ini udah hampir setiap hari gue kurang tidur.
"Tidur ya, neng. Kucel banget tuh mukanya, hehe..."
Sms pertama dari Ardi. Malam ini, 21 Mei 2010 pukul 10.12 PM. Hehehe...
"Iya, Pak Min. Dari dulu juga kucel muka gue. Stop calling me 'neng', please."
"Goodnite, neng... :p"
Sial. Nggak gue bales. Langsung merem. Huaah... capek banget hari ini, Tuhan. Ehh... handphone bunyi lagi.
"Cihuy... ngambek. Apa udah tidur? Hmm..."
Ahh... mau bales. Tapi nggak usahlah. Tapi godaannya besar sekali. Sial. Ahh... jadi nggak tidur-tidur ini mah. Handphone gue kali ini berdering keras. Ardi telpon. Atau cuma missed call? Tapi kok agak lama ya?
"Hmm... halo?" Akhirnya gue angkat. Nggak tega dan nggak kuat.
"Eh, gue bangunin elo ya, neng? Maaf."
"Hmm... gue tidur ya. Lo juga gih. See you.."
"See you..."
Huffttt..... sekarang malah nggak bisa tidur. Sial tuh anak. Gue berguling kesana-kemari, nyalain TV tapi nggak ada acara yang menarik. Akhirnya gue putuskan untuk dengerin radio. Eh, nggak ada acara lucu favorit gue kalau hari Jumat begini. Music player aja kalau begitu.
Melamun dan tersenyum-senyum sendiri karena mengulang apa yang pernah gue alami bareng Ardi. Ada yang terasa berdesir di bagian hati waktu ingat gue pernah pegang salah satu bagian wajahnya. Bisa nggak ya, itu terulang?
"Tanggung jawab. Gara-gara elo telpon, gue jadi nggak bisa tidur." 
Sms yang akhirnya terkirim, tapi lama banget nggak ada balasan. Berulang kali gue melihat ke layar handphone... but still, no sms. Sampai akhirnya gue ketiduran... dengan  ear phone masih terpasang.

Selasa, 29 Maret 2011

Teh Tarik - Chapter 7

Akhirnya gue jadi ke Gramedia Matraman hari Sabtunya. Minimal beli satu buku. Maksimal dua. Kalau komik... sebanyak-banyaknya! Hehe... Gue pergi sendiri karena lebih enak begini. Nggak ada yang ganggu dan gue bisa berada disini selama yang gue mau. Setelah makan siang, gue berangkat. I put on my music player so I can enjoy the journey. Gue jalan kaki dari rumah kurang lebih 2,5 kilometer, lalu naik busway. Oh iya, sebelum Maghrib harus udah di rumah, ding. Lupa.
Odiee sms, minta ketemuan di Gramedia. Dia mau meminjami gue buku-bukunya Sitta Karina. Asik! Banyak stok buku yang mau dibaca. Senangnya... Anak itu datang saat gue udah menghabiskan beberapa komik Kungfu Komang sambil duduk di pojokan rak-rak bagian komik. Komik favorit gue, nih. Rekomendasi dari teman gue di Oz Club, Ryad. Gue ngakak sendirian dari tadi. Begitu Odiee datang, dia langsung memeluk gue. I kiss her cheeks... I miss her a lot. Sibuk sekali dia dengan segala ini-itu yang berhubungan dengan persiapan masuk perguruan tinggi-nya.
"Makan yuk, Dee. Laper nih belum makan dari pagi sejak keluar rumah tadi." Ajak Odie.
"Masih kenyang. Tapi yuk, ditemenin."
"Udah beli Negeri Lima Menara-nya?"
"Belum. Kamu mau beli bukunya juga?"
"Nggak. Duitnya buat bayar macem-macem."
"Ya udah, nanti aja deh gue belinya. Isi dulu perutnya. Yuk! Mau cerita, kan?"
"Hehe... iya."
Gue rangkul Odiee dan kita pergi ke restoran fast food yang ada di samping Gramedia itu. Kita duduk di bagian paling memojok. Odiee menghadap gue dan di belakang gue tembok. Jadi, posisinya bisa bersandaran. Takut Odiee tiba-tiba nangis pas cerita, jadi posisinya dibuat seperti ini.
Odiee bercerita tentang semua test yang dia ikuti, plus persiapan dan rencananya ke Medan besok. Tiga minggu liburan. Nggak tanggung-tanggung. Dan saat bagian dimana cerita tentang ayahnya mengalir, Odiee mulai berkaca-kaca. Agak sedih dengarnya. Sometimes, keinginan orangtua agar anaknya sekolah ini-itu sesuai keinginan mereka memang bisa dibenarkan. Menurut gue nggak masalah kalau anaknya suka, tapi kalau anaknya nggak suka tapi dipaksa? Akhirnya masuk tapi nggak niat? Di tengah jalan drop out? Lebih baik kasih anaknya pilihan, diskusi, komunikasi, dan mau saling mendengarkan, bukan? Itu aja sih yang kurang dari Papa-nya adik kecil gue yang satu ini. Yah, mudah-mudahan semua cepat teratasi. Sekarang sih, mendingan si Odiee having fun aja. Liburan ke Medan dan ketemu keluarganya disana sepertinya menyenangkan. Apalagi keluarganya yang di Jakarta nggak ikutan.
Menurut penilaian gue, Odiee adalah anak perempuan idaman. Dia anak tertua dengan tiga adik-adik cowok. Bisa membantu kerjaan rumah apa aja: Masak, ngepel, nyapu, nyuci baju, setrika, apapun pekerjaan rumah, dia bisa lakukan. Di bidang akademik pun gue yakin kemampuannya nggak usah diragukan lagi. Odiee juga suka banget dengan hal-hal yang berbau gerakan go green. Wawasannya luas dan banyak banget yang bisa dibanggakan dari anak perempuan yang satu ini. Tapi entah kenapa sang Papa nggak bisa melihat hal itu. Gue pernah bilang ke dia, mungkin si Papa diberikan sifat seperti itu nggak lain adalah untuk melatih Odiee untuk sabar. Cobaan yang Allah kasih untuk memperbanyak pahala sabarnya dia. Kalau nanti Odiee tetap memilih masuk UI (Papanya mau dia masuk STAN), cuma satu pesan gue, belajar sungguh-sungguh sebagai pembuktian diri.
Setelah sesi curhat selesai dan Odiee udah kenyang, kita berdiri. Gue peluk dia dan mengelus punggungnya dengan sayang. Cuma itu yang bisa gue lakukan. Mudah-mudahan hal kecil ini cukup membantu. Kemudian kita masuk lagi ke Gramedia. Tadi belum sempat cari buku Negeri Lima Menara-nya. Odiee sih mau lihat-lihat doang. Harus irit soalnya, supaya bisa membeli oleh-oleh sepulang dari medan. 
"Eh, ada tukang pisang!" Hah? Tiba-tiba terdengar suara yang cukup familiar di telinga gue. Gue refleks nengok dan orang yang barusan bersuara udah ada di sebelah gue. Songong bener. Gue kaget karena ternyata yang berdiri disamping gue adalah Destu. Dia nyengir seperti biasa.
"Kok ada disini?" Tanya gue
"Kayaknya ini tempat umum deh." Katanya dengan nyeleneh.
"Oh, iya sih. I thought you have stalked me." 
"Hah, gue nggak mungkin lah. tapi, kalau yang itu...... mungkin!" Destu menunjuk sebuah sudut dan disana ada Ardi, sedang melambai sambil tersenyum. Dia berjalan kearah gue dan Destu. ASTAGA... kenapa hari ini dia terlihat sangat charming?
"Hei..." Kata Ardi begitu berdiri di depan gue.
"Hei... eh iya. Ini kenalin teman gue." Gue memperkenalkan Odie ke mereka. Odiee, Destu, dan Ardi pun saling berjabat tangan, berkenalan. Gue lihat Ardi membeli buku cukup banyak.
"Buku pelajaran?" Tanya gue sambil menunjuk ke bawaannya.
"Iya nih. Elo?"
"Nih..." Gue menunjukkan novel Negeri Lima Menara yang ada di tangan gue. Belum dibayar.
"Ohh... another novel. Eh, tadi Nino telpon. Mobilnya mau dipakai. Terus buku yang lo cari gimana?" Tanya Ardi ke Destu.
"Gue cari di Kwitang, deh. Lo pulang aja bawa mobilnya. Ntar gue naik busway. Dee... udah mau pulang?" Destu beralih ke gue.
"Iya. Abis bayar ini, pulang."
"Ya udah. Bareng aja sama Ardi."
"Hah?"
Sumpah gue kaget. Kenapa Destu yang gatel? Ardi dan Destu saling berpandangan.
"Emang nggak apa-apa?" Tanya gue ragu.
"Nggak apa-apa, kok. Ya kan, Di?" Kata Destu seraya menyentuhkan bahunya ke bahu Ardi. Wajahnya jahil.
"Eh, iya nggak apa-apa. Sekalian aja." Kata Ardi.
"Ya udah kalau begitu. Odiee gimana?" Gue memandang Odiee.
"Aku mau pulang, kok. Mau packing." Katanya.
"Oh, ya udah. Keluar bareng nggak?"
"Aku mau cari pensil warna buat Yama dulu."
"Oh, ya udah. See you. Have fun di Medan. Ugh... I'm gonna miss you."
Kissing each other cheeks dan berpelukan. Destu juga masih disini dulu sebentar. Cari pulpen katanya. Canggung, gue dan Ardi jalan berdua meninggalkan mereka. Ke kasir dulu untuk bayar buku-bukunya.
"Yuk..." Kata gue setelah bayar. Ardi mengangguk. Aduh, sumpah ya... Kenapa gue jadi salah tingkah begini toh? Payah.
"Dari jam berapa disini?" Tanya Ardi.
"Eh... oh... dari jam berapa, ya? Jam dua belasan lah." Jawab gue.
"Naik apa?"
"Naik busway sendirian."
"Loh, tadi temannya?"
"Ketemuan disini. Rumah dia di Tanjung Priuk."
"Oh... berani banget ya, Lo, jalan sendirian."
"Udah biasa kemana-mana sendirian. Baik punya pacar ataupun enggak..." Ehh... kenapa gue ngomong begitu? Too much information deh, Dee.
"Ohh... wanita mandiri." Dia nengok dan tersenyum ke gue.
"Sort of..." Gue tersenyum balik.
"Your English is good, Dee. Sekolah apa dulu?"
Dan kita pun membicarakan background pendidikan gue selama berjalan ke parkiran mobil. Ardi cukup kaget karena gue cuma belajar bahasa Inggris di sekolah dan dari musik, tapi kemampuan bahasa Inggris gue lumayan bagus. Padahal dia kira gue ikut kursus or something. Aah... biasa aja kok, Pak Dokter. Hahaha...
Gue suka musik, apalagi kalau ada lagu-lagu bagus dan enak didengar yang berbahasa Inggris. Biasanya akan gue tebak-tebak dulu liriknya, setelah itu baru cari lirik yang benar di internet. Kalau gue temukan kata-kata baru, pasti gue cari tahu artinya dan gue catat di notes gue.
He's being sooo nice. Tadi saat gue mau masuk mobil, Ardi membukakan pintunya. Mobilnya Nino, Yaris warna hitam. Tadi gue sempat tanya, mau dipakai kemana mobilnya sama Nino. Dia bilang, kayaknya Nino mau nonton sama temannya.
"Oh iya... mau dengar radio? Berapa gelombang yang sering didengar itu? Oz?" Tanya Ardi.
"90,8 FM." Jawab gue. Pasti Ardi tahu karena sering ke warung. Tangannya mengutak-atik radio player. Gue agak tersentak karena saat dapat gelombangnya, lagu pertama yang kita dengar adalah lagunya Backalley, Somewhere Someone. I love this song sooo much. Dan tanpa sadar gue menggerakkan jari-jari gue, mengikuti irama, gue ketuk-ketukkan jari-jari gue di paha dan bernyanyi pelan.
"Yang nyanyi siapa, Dee? Keren. Judulnya apa?" Tanya Ardi tertarik.
"Ini band teman gue, Backalley. Judulnya Somewhere Someone."
"Teman lo? Gue kira band luar."
"Banyak yang bilang begitu. Mereka band Indie. You must listen to all their songs. Mereka juga meng-cover lagu-lagu dari musisi luar. Bizzare Love Triangle-nya Frente. Mau dengar, nggak?"
"Boleh..."
Gue ambil handphone, mengecilkan volume radio di mobil itu, dan mencari lagu Backalley yang gue maksud. Gue keraskan volumenya, lalu gue letakkan handphonenya di tempat kecil dimana biasanya ditaruh uang receh disitu, di antara kursi gue dan Ardi. Kita mendengarkan lagu itu...
"Enak, Dee... Keren." Kata Ardi.
"Kalau mau, nanti gue bluetooth atau gue pinjami CD mereka."
"Boleh... tapi transfer ke laptop gue aja. HP gue penuh kayaknya."
"Sip sip..."
"Ini band teman lo, berarti lo suka lihat mereka tampil? Pernah?"
"Sering banget. Setahun belakangan ini nonton terus malah. Kenal banget sama vokalisnya soalnya. Dia kerja di Oz Radio."
"Oh, pantesan kenal."
"Eh, kenapa ya, Di, tiap kali gue manggil lo, gue berasa manggil diri sendiri?" Kata gue random.
"Haha... masa sih?"
"Iya. Gue panggil lo yang lain aja ya? Uuummm... Pak Min? Hehe... Dokter Min."
Ardi tiba-tiba tertawa ngakak tanpa memberi jawaban. Gue memandang dia dan baru sadar kalau di rahang kirinya ada luka bekas jahitan yang lumayan panjang. Sepertinya luka lama. Dia sepertinya sadar kalau gue perhatikan. Hidungnya mancung banget kalau dari samping.
"Heh? Ngelihatin apaan sih? Bekas luka gue ya? Pasti takut? Anak kecil aja takut." Katanya tiba-tiba.
"Hah? Enggak. Lo pikir gue anak kecil, Dokter Min?"
"Hahaha... sounds weird."
"Apanya? Maksudnya lo pikir gue emang masih kecil?"
"Bukan. The way you just called me."
"Oh, hehe... Umm... Can I... umm... touch it? Pengin tau aja, eh itu juga kalau lo nggak keberatan."
"Pegang aja kalau berani." Katanya.
Agak ragu-ragu, tapi tangan gue terulur. Pelan-pelan semakin dekat ke wajahnya, lalu akhirnya tersentuh juga. Ardi sepertinya juga menahan napas seperti gue. Just curious, nggak lebih. Jantung gue agak berdetak kencang dan wajahnya panas. Dielus-elus aja.
"Jatuh atau kenapa?"
"Pas masih kecil, kebut-kebutan naik sepeda sama teman-teman sekomplek, terus jatuh. Jadinya begini, deh. Udah observasinya?"
"Eh..."
Omongannya membuat gue sadar kalau tangan gue masih ada di wajahnya. Buru-buru gue tarik tangan gue dari wajahnya. Aduh... gue memalingkan wajah ke kiri, melihat jalanan. Tambah panas wajah gue.
"Nggak takut kan sama gue setelah lihat dan pegang bekas lukanya?" Tanya Ardi.
"Masa begitu aja takut? Aneh."
Gue jadi tahu banyak tentang Ardi hari itu. Disini dia tinggal sama sang Oma yang punya rumah di BSD, kuliah di Pelita Harapan, anak satu-satunya, orangtuanya di Surabaya, dan... hmm... sama-sama orang Jawa. I talk about music a lot. Sepertinya dia kurang update dengan musik-musik baru dan cuma tahu yang sedang popular aja. Gue kasih tahu beberapa musik Indie Indonesia yang keren, seperti Dzeek, Zeke and the Papa, White Shoes, Goodnite Electric, The Trees and The Wild, banyak lah pokoknya.
"Give me all your memory cards, I'll copy it to my laptop." Katanya.
"I will... Gue punya tiga memory card, masing-masing satu giga. Ada sih yang double lagunya. Ntar kalau ada yang nggak suka, tinggal hapus. Listen to Melee. You're gonna love their music."
"Kasih tahu terus yang bagus-bagus..."
"Sip...!"
I really had fun. Senang banget sampai agak kecewa karena udah sampai rumah. Gue turun di depan gang rumah, bilang terima kasih lalu berbalik pulang. Cepat. Harus nganterin makanan ke kost-kostan which is ketemu Dokter Min lagi! Eh... kenapa gue seneng banget ya mau ketemu dia lagi? Padahal barusan juga gue ketemu, hehe. Wajah gue panas...


Senin, 28 Maret 2011

Teh Tarik - Chapter 6

"Menu hari ini apa? Tanya Ardi. Dia sedang ada di dapur waktu itu.
Hari ini hari Rabu. Tumben dia udah di rumah. Dengan laptop di meja makan dan buku-buku berserakan di sekelilingnya. Gue mulai membongkar kotak makanannya agar dia bisa melihat sendiri menu hari ini. Gue pun mulai mengobrol dengan dia.
"Lagi ngerjain tugas, ya?" Tanya Gue.
"Iya, hari ini libur tapi malah harus ngerjain tugas."
"Namanya juga lagi sekolah. Yang lain pada kemana?"
"Nino belum pulang. Yang lain pada di kamar deh, kayaknya."
"Ohh... Eh, kok tumben ada pisang kepok nih?" Gue menunjuk pisang yang ditaruh di atas kulkas satu pintu yang terletak di sebelah kontainer tempat piring-piring.
"Iya. Dari kemaren. Dikasih sama tetangga sebelah, tapi mau diapain ya?"
"Digoreng aja."
"Nggak tahu caranya."
"Tinggal ditepungin doang. Apa dibikin aroma gitu.."
"Siapa yang mau goreng?" Tanya Ardi.
"Assalamualaikum... apanya yang digoreng?" Tiba-tiba Nino datang. Dia tersenyum ke gue. Akhirnya gue menjelaskan yang tadi sedang gue bicarakan dengan Ardi. Tentang pisang kepok itu.
"Ya udah. Ntar gue balik lagi. Daripada ini pisang didiemin doang terus busuk." Kata gue akhirnya.
"Nggak ngerepotin, Dee?" Kata Nino.
"Enggak. Gue nganter ini dulu ya. Nggak lama, kok." Gue tersenyum dan berlekas keluar. Ardi dan Nino tersenyum lebar. Sejak Ibu Bestari tinggal di Kelapa Gading, di rumah ini jadi minim cemilan. Jadi kasihan gue, hehe. 

Gue tertawa melihat pisang goreng + aroma gue habis dalam sekejap saat gue mulai membuatnya. Satu persatu anak kost pada nongol soalnya. Bahkan Mas Peno aja sampai ikutan. Gue jadi merasa ada di sarang penyamun. Tadi gue pulang ke rumah dulu sebentar karena di rumah ada kulit risol yang udah jadi beberapa lembar, jadi gue ambil aja semuanya. Toh cuma tersisa delapan lembar dan nggak dipakai juga. 
Si Ardi membantu gue memotong-motong pisangnya... so helpful. Destu, salah satu penghuni kostnya juga memperhatikan kita sambil sesekali sibuk dengan Blackberry-nya.
"Pakai keju bisa nggak ya, Dee?" Tanya Ardi. Ini pertama kalinya dia memanggil gue dengan nama.
"Nggak bisa. Kalau keju kan bikin cepat gosong. Kecuali masuk oven atau microwave. Kalau mau, abis digoreng tepung gini, taruh di piring tahan panas, taburi mozarella cheese, terus dimasukin ke microwave. Dua sampai tiga menit sampai kejunya meleleh. Itu enak banget." Gue menjelaskan panjang lebar. Merasa udah jadi master chef, hehe.
"Mozarella itu yang buat pizza ya? Yang ditarik kayak permen karet?" Tanya Ardi.
"Betul banget."
"Hmm... Kapan-kapan bikinin, ya." Katanya.
"Ehem..."
Gue dan Ardi berbarengan nengok ke arah Destu yang menimbulkan suara 'ehem' nggak jelas barusan. Anak itu cuma nyengir sambil menunjukkan jari victorynya. Orang yang aneh.
"Tugas tadi udah selesai?" Tanya gue, ingat kalau tadi sebelum makan malam, Ardi sedang mengerjakan tugasnya.
"Belum. Nanti aja. Agak buntu."
"Eh iya... tadi di buku-buku itu... gue lihat di covernya ada tulisan MSG."
"MGS. Emang Vetsin, MSG?"
"Hehe... Iya maaf. MGS itu apa?"
"Nama gue."
"Kok nggak ada A-nya? Ardi kan nama lo?"
"Iya. Minardi Genta Soehardiyanto."
"Ohh... Ardi-nya dari Minardi? Kayak orang Italia aja."
"Emang diambil dari nama Italia. Tempat orangtua gue bulan madu."
"Apa? Tempat ortu lo bikin elo?" Seru Destu tiba-tiba. Ini anak nyamber aja... teriak pula. Kapan sih ini anak nggak bikin kaget? Ardi nimpuk Destu pakai kulit pisang... Unexpected. Dan terkena mukanya pula. Destu langsung pasang wajah 'berperang'. Gue perhatikan mereka berdua sambil cekikikan doang.
"Terus Genta? Angin berarti ya?" Gue lanjut bertanya.
"Yup... Dari Oma gue."
"Ohhh..."
"Terus nama lo sendiri? Dee beneran? Atau nama panggilan doang?"
Lalu gue beritahu dia nama asli gue. Artinya Dari Hati yang Terdalam kalau kata guru bahasa Inggris SMP gue. Obrolan kita terhenti karena Nino muncul dan mulai membantu gue dengan aroma. Nino yang hobi melipat-lipat soalnya. Loh? Nggak nyambung ya? Hehe...
Delapan orang cowok kayak kesetanan, semuanya habis dalam sepuluh menit. Satu orang satu pisang, aroma, dan pisang goreng. Gue ditawari punya Nino, tapi gue menolak dengan dalih udah kenyang. Lagian, itu kan bagiannya dia.
"Hadiah balasannya... gue buatin milkshake ya?" Kata Nino. Gue mengangguk.
Arka, Paulus, dan Amir mengucapkan terimakasih, lalu pamit naik ke kamar mereka di atas. Mau melanjutkan belajar, katanya. Destu menggoda mereka, pura-pura sewot karena mereka kabur pas makanannya udah abis. Hmm... Nggak nyangka nemu anak-anak kedokteran semenyenangkan mereka. Terutama Destu, Ardi, dan Arka. Gue kira mereka orang-orang yang kaku dan serius karena terlalu banyak belajar. Haha... Mereka juga manusia, Dee. Sorry... My bad! Hehe...
"Gue nggak perlu beresin ini kan? Gue pulang. ya. Udah jam sembilan gini..." Kata gue sambil menunjuk cucian piring di washing sink.
"Biarin aja. Itu nanti gue yang beresin." Kata Nino.
"Oke, gue pulang."
"Gue anterin nggak, Dee?" Tanya Nino.
"Kayak rumah gue jauh aja. Yuk, No...!"
"Makasih, ya, Dee."
"Sama-sama. Yuk, Ardi. Gue pulang dulu."
Ardi mengalihkan pandangan dari laptopnya. 
"Hati-hati ya, Dee. Besok-besok boleh nih pisang goreng mozarella cheese-nya. Hehe..." Dia tersenyum.
"Insya Allah..."
Setelah ngucapin selamat malam, gue keluar dari rumah itu. Sebelum keluar pagar, gue dapat pujian lagi dari Mas Peno.
"Pisang gorengnya enak banget. Nggak kayak yang biasa saya makan."
Oh, pastinya. Kan pakai adonan spesial.
Kalau dilihat-lihat di storage rumahnya Ibu Bestari, sebenarnya bahan makanan instant tersedia, banyak malah. Tapi kenapa nggak pernah ada yang nyoba masak? Padahal bahannya menumpuk gitu. Kan lama-lama bisa kadaluarsa. Sarden, mie instant, mentega, spaghetti siap masak yang ada bumbunya, fetuccini mentah, tersedia lengkap. Di kulkasnya juga penuh. Dressing salad, keju, susu kental manis, telur, bakso, sosis, sayang amat. Mungkin Ibu Bestarinya lagi di rumah, baru digunain kali ya? Atau memang disediakan buat Nino dan anak-anak kost-nya? Tapi... agak salah. Karena pasti jarang yang bisa masak.

Minggu, 27 Maret 2011

Teh Tarik - Chapter 5

Senin yang melelahkan. Banyak yang beli dan nggak berhenti-berhenti dari pagi. Capeknya lumayan, apalagi kalau ada pembeli yang cerewet atau nawar-nawar harga. Ini makanan, ya, bukan pakaian jadi. Kayaknya makanan di warung gue udah serba murah, lebih murah dibanding warung-warung lain yang ada di kanan dan kiri. Gue baru bisa duduk jam sepuluh pagi setelah berdiri dari jam tujuh kurang. Huaaah... Alhamdulillah tinggal nunggu beberapa makanan yang tersisa untuk laku, baru deh tutup.
Menghibur diri dengan pergi ke dunia maya sambil mendengarkan lagu-lagu Indonesia yang mengalun dari radio, perut gue mulai lapar. Tadi nggak sempat makan apapun. Gue baru baca timeline teman-teman gue di twitter sebentar, udah ada pembeli datang. Asik! Dibeli semua. Hore... hore... ayo tutup. Capek. Mau istirahat sebentar, makan. Hohoho... nyokab udah masak sayur sop, perkedel kentang, plus sambal ulek mateng. Nyammm...
Gue tidur sebentar sehabis sholat Dzuhur. Capek banget. Benar-benar sebentar, karena harus bangun, bantuin nyokab siap-siap masak makan malam yang harus dianter ke kost-kostan. Haaah... Ngantuk banget. Bengong nggak penting dulu, baru akhirnya bangun. Gue nyapu dan ngepel rumah sementara nyokab mulai meracik bahan-bahan makanan. Abis Maghrib nanti baru diantar. Ayo semua... cepatlah selesai. I need some time to sleep (again) hehe.

"Eh, tumben udah ada di rumah, No?" Tanya gue begitu sampai di rumah Bu Bestari dan mendapati Nino ada di rumah.
"Iya nih... Tadi izin bentar, maksud gue izin pulang lebih awal." Jawab Nino.
"Kenapa? Lo sakit?" Tanya gue memandang wajahnya sambil menaruh dan menata makanan di meja makan.
"Enggak, kok. Ada perlu aja. Eh, ternyata urusannya cepat selesai. Ya udah, akhirnya pulang. Wah, balada udang! Asik nih." Katanya dengan wajah sumringah. Gue tersenyum. "Tiap hari elo aja yang nganter, Dee. Kalau Didit mah cuma ditaruh doang di atas meja, kan. "
"Hahaha... Nggak bisa begitulah."
"Seminggu doang ya? Ujian adik lo?"
"Iya. Dua minggu gue harus berkeliaran. Soalnya dia mesti fokus belajar dari seminggu sebelumnya."
"Ohh... gitu." Nino manggut-manggut.
"Eh, gue ke kostan satu lagi dulu, ya?"
"Sip! Thanks ya udah ditatain makanannya."
"Sama-sama."
Padahal cuma gue pindah-pindahin dari box plastik susun yang gue bawa doang. Kalau malam memang nggak dikotak-kotakin. Mereka senang begini. Saat gue keluar rumah, gue nggak sengaja menabrak seorang cowok. Ardi. Cowok Oriental itu.
"Maaf... maaf... Gue buru-buru nih, jadi nggak lihat. Nggak apa-apa kan lo?" Tanyanya.
"Nggak pa-pa. Masih berdiri tegak, kan?!"
"Hehe... iya. Gue masuk dulu, ya."
Gue mengangguk lalu berbalik, masih perlu ke satu tempat lagi. Yukk mari...
Waktu perjalanan pulang dan melewati rumah Bu Bestari lagi, Ardi keluar. Masih memakai jas putih.
"Balik lagi ke rumah sakit?"
"Iya. Pulangnya jam sepuluh. Barusan nih, ambil ini..." Dia tersenyum sambil menunjukkan kotak makanan.
"Ohhh..."
"Kalau nggak gitu, jatah gue diembat sama si Arab, Amir bahlul."
Kami tertawa bareng. Ternyata si Arab itu namanya Amir. Mulai sekarang nyebutnya Amir ya, jangan si Arab. Nanti memicu perkara, hehe. 
Gue mengobrol lumayan banyak karena rumah gue memang di sebelah tempat Ardi magang, training, PKL, atau apalah namanya, makanya kami bisa jalan beriringan. He's a nice guy... so far. Boleh lah... eh, boleh apa nih maksudnya? Haha...

Gue masuk kamar jam sembilan malam. Mau apa ya sekarang? Nggak punya novel baru untuk dibaca. Mau nungguin lanjutan Maryamah Karpov, tapi masih bulan depan. Ada sih, buku yang baru sepertiga bagiannya gue baca, tapi bosan dan gue nggak minat untuk meneruskannya. Judulnya The Host karya Stephenie Meyer. Gue sedang mengincar buku Negeri Lima Menara, nih. Kapan, ya ke toko bukunya? Paling enak sih naik busway ke Gramedia Matraman. Tempatnya kan super gede banget. Pasti lengkap.
Gue mau tidur sebenarnya, tapi sepertinya butuh sedikit hiburan dulu. Gue nyalakan radio dan TV, lalu mencari acara yang menarik. Kalau gelombang radio mah, gue gak pernah gonta-ganti. Sebenarnya mata udah berat, tapi badan capek banget. Saking capeknya, jadi malah nggak bisa tidur. Atau emang udah kebiasaan tidur agak malam? Aaah... Gue harap bulan depan pas ada World Cup, gue bisa lihat semua pertandingannya. Paginya tepar pasti, hehehe.
Saat gue ngecek handphone, ternyata ada telepon dari Sylvia malam itu, merencanakan sesuatu untuk gathering Oz Club Sabtu ini. Aaah... I can't wait to see the girls. I miss them. Sepertinya sih gue bisa datang. Mudah-mudahan bisa, nanti yang nganter dinner ke kost-kostannya adik gue aja, hehe.
Setelah selesai ngobrol, gue ngubek-ubek koleksi novel gue. Mau baca ulang yang mana ya? Hmm... Hmm... Aaah... Eclipse aja deh. Kan sebentar lagi filmnya keluar. Bulan Juni tanggal 30. Mudah-mudahan di Indonesia juga keluar tanggal segitu. Telat satu atau dua hari aja nggak apalah.
Udah jam setengah dua belas aja. Ayo tidur. Mudah-mudahan besok rejekinya lancar. Ahh... besok nganterin sarapan. Aaah... kurang tidur ini saya. Haduuh...
Malam itu gue mimpi udah hari Sabtu dan kita gathering di lantai tiga Oz Radio, terus pindah nonton Backalley perform entah dimana, tapi outdoor gitu. Hehe... udah pengin lihat mereka tampil lagi nih, sepertinya.

Teh Tarik - Chapter 4

Senin pagi tiba. Gue bangun lebih awal dan bantu persiapan buka warung. Yang masak itu Bude gue. Rumahnya nggak jauh, kok, dari rumah gue. Hari pertama dari dua minggu yang harus gue jalani karena adik gue cuti mengantar makanan untuk tiga kost-kostan yang berbeda.
Tempat pertama: Kost Ibu Ami. Rumah Bu Ami bersebelahan dengan rumah kost-kostan miliknya, jadi gue harus ke rumah utama dulu, barulah mengetok kamar-kamar kostnya satu persatu. Kalau nggak dijawab cepat atau dibukakan pintu, tinggal gue taruh pesanan makanannya di meja-meja kecil yang ada di luar kamar. Setiap tempat makan itu ada nomornya masing-masing, sesuai nomor kamar. Disini, ada delapan orang yang kost. Kebanyakan anak-anak dari Sekolah Keperawatan.
Yang kedua: Kostan milik Bu Bestari. Kostan disini agak lebih keren dibanding kostan yang sebelumnya. Lima puluh persen ber-AC, dan lima puluh persen lagi cuma disediakan kipas angin. Kamar yang ber-AC bisa ditempati berdua, karena ruangannya gede banget. Bu Bestari memang lumayan kaya. Dia punya usaha butik dan lebih memilih tinggal di Kelapa Gading, dekat dengan tempat usahanya. Sementara rumah utama disini didiami sama anaknya yang cowok dan seorang penjaga rumah. Disini memang sepi banget, apalagi cowok ini, Nino--teman SD hingga SMP gue--udah bekerja dan selalu berangkat dari jam delapan pagi. Pulangnya saat Maghrib. Kadang dia juga minta dikasih jatah sarapan dan makan malam sama katering gue.
"Assalamualaikum... Mas Peno?!" Gue memanggil penjaga rumah dari luar pagar yang masih digembok. Lalu nggak lama kemudian, yang keluar malah Nino.
"Eeeh... Dee. Waalaikumsalam. Kok elo yang nganter?" Tanya Nino.
"Iya nih, si adik lagi cuti, hehe." Pagar dibukakan dan dia mempersilakan gue masuk. 
"Mas Peno kemana, No?"
"Ada. Lagi mandi kayaknya. Perlu dibantu, nggak?"
"Nggak usah. Nih, jatah lo. Gue ke belakang dulu, ya."
Setelah memberikan satu kotak makanan, gue ke belakang rumah lewat jalan samping. Kalau disini beda. Kamar-kamar kostnya terletak di rumah belakang. Gue cuma perlu menaruh paket kateringnya di meja makan doang. Nanti kalau mereka mau makan, tinggal ambil sendiri. Rumah besar dengan dua lantai, di masing-masing lantai terdapat tiga kamar. Isinya cowok semua, makanya ayuk... buru-burulah keluar dari sini.
Dari kotak-kotaknya, sih, ada lima orang yang kost disini. Entah koas atau yang sekolah di keperawatan. Mungkin koas, karena disini lebih besar dan fasilitasnya juga memadai. Bayarannya juga pasti lebih mahal.
"Mbak... Mbak..." Tiba-tiba ada yang manggil saat gue sudah sampai di pintu, mau keluar. Mudah-mudahan pas nengok ada wujudnya, hehe.
"Eh kenapa, Mas?" Tanya gue begitu menengok dan mendapati seorang cowok berdiri tak jauh dari gue.
"Kalau lihat mas Peno di luar, tolong suruh kesini ya. Bilang aja dipanggil Ardi."
"Oh, iya..." Kata Gue. Dia pun tersenyum.
"Makasih ya."
"Iya, sama-sama. Permisi."
"Mari..."
Dia tersenyum lagi. Heran, bajunya udah rapi: pakai kemeja dan celana panjang bahan, tapi kenapa matanya segaris? Udah bangun atau belum, sih? Haha... emang begitu, kali, Dee.
Eh... tadi itu cowok yang hari Jumat lalu senyum sama gue, ya? Temannya si Arab? Hmm... what the hell, haha.
Di luar, Gue bertemu mas Peno dan langsung menyampaikan pesan cowok dengan mata segaris tadi. Kerjaan gue masih banyak. Ayo... satu tempat lagi, terus kita jaga warung!!


Sabtu, 26 Maret 2011

Teh Tarik - Chapter 3

Huuhhh... ini dua orang koas kenapa sering banget mengganggu waktu gue buat tutup warung, sih? Datang cuma untuk minum dan ngobrol doang aja. Haduuuh... dua hari sekali pasti begitu. Senin, Rabu, dan sekarang Jumat. Selalu begitu. Daripada emosi, mendingan gue lanjutin baca Maryamah Karpov-nya Andrea Hirata. Entah kebiasaan atau apa, gue harus mengulang membaca sebuah buku sebanyak minimal dua kali, baru afdhol. Terdengar lagu Baby-nya Justin Bieber mengalun di radio pada pukul 11.15. His songs always catchy, jadi tanpa sadar kita ikut nyanyi atau goyang.
Dua orang itu, yang satu lagi, yang tingginya nggak beda jauh sama gue, baru hari ini gue melihat wajahnya sekilas. Oriental guy. I'm not that into them, but he is cute, hehe. Tapi, tetap aja gue nggak pernah berani melihat atau memandang wajah orang yang gue nggak kenal.
Tiba-tiba lagu Paramore yang The Only Exception diputar di radio. Huaaa.... Lagu yang indah banget dari mereka. I love their songs dan lagu ini super keren. Di album Riot, gue suka Misery Bussiness dan di album mereka yang kedua, lagu inilah favorit gue. Gue sangat menikmati setiap alunan nadanya. Just beautiful. Gue masih memegang buku Maryamah Karpov, tapi udah nggak gue baca lagi. Sudah cukup bacanya, nanti malam aja gue lanjutkan lagi.
Sepuluh menit kemudian, akhirnya mereka pergi. Masih aja gue mengangguk, I mean... menunduk terus. Tapi saat gue menaruh gelas di tempat cuci piring, gue sedikit menengok ke jalan. Dia, cowok oriental itu baru saja lewat dan dia... tersenyum ke gue. Ehem... hahaha... nggak jadi kesal, deh kalau gitu. Si penghalang gue untuk tutup warung cepat itu senyum ke gue dan ternyata dia lumayan manis. Aduh... baru sekali ini saya bilang cowok Oriental itu lucu. Hahaha...

Hmm... besok weekend ngapain, ya?
Oh iya, Sabtu ini mau nonton Backalley di salah satu SMA di Pejaten. Sebenarnya malas karena ini pensi (pertunjukkan seni) dan nggak kenal satupun anak SMA disitu, tapi demi mereka, jalan deh. Musik keren harus didukung. Gue tahu mereka sejak akhir 2007 lewat Oz Radio. I love their music a lot, dari cuma lagu demo sampai sekarang udah ngeluarin album, gue berusaha untuk datang ke setiap performance mereka. Paling rajin sih setahun belakangan ini. Rajin karena mendukung musik berkualitas, juga mendukung bunch of nice guys. They are nice, apalagi sang vokalis yang memasukkan nama gue di Thanks To cover album mereka and they promised me one of their official merchandise. Hehehe...
"Mbak, nanti Senin kamu yang muter ke kost-kostan, ya. Adik kamu harus fokus belajar." Kata Nyokab.
"Ohh... ya udah." Pasrah, harus mengemban tugas adik gue karena dia harus ikut ujian remedial. Hmm... kerjaan nambah untuk sementara waktu.
Pada dasarnya, gue itu nocturnal : produktif di malam hari dan suka begadang. Nonton DVD, baca buku, or simply just watch the TV until dawn. Tapi cuma berani saat weekend doang, karena gue nggak harus bangun pagi di hari Sabtu dan Minggunya. 

Sabtu, sekitar jam sebelas, gue udah siap-siap mau pergi nonton Backalley. Berangkat setelah Dzuhur, kira-kira jam setengah satu karena mereka akan perform jam dua siang. Gue akan bertemu Sylvia juga disana... alasan lain yang membuat gue semangat adalah juga karena bisa bertemu sahabat gue itu. 
Eh eh... ternyata pensinya sepi parah. Ckckck... ini anak-anak yang buat pensi malah nggak hadir, cuma panitia mereka doang mungkin. Pensi yang menurut gue agak gagal, karena yang perform aja ngaret. Hmm... untung aja band favorite gue itu tetap menunjukkan aksi yang terbaik walau cuma sempat nyanyi dua lagu. Selama menunggu dua jam itu, gue memanfaatkan waktu untuk mengobrol dengan Sylvia. Selalu ngobrol hal-hal tentang percintaan, pandangan hidup, dan prinsip kita berdua. Nggak selalu sama, tapi biasanya setelah kita omongin dan saling berdiskusi, we will end up berkesimpulan yang bisa diterima kita berdua. Hari ini yang kita obrolin adalah hal-hal yang bisa membuat kita, at least berusaha, untuk menyudahi perasaan kita kalau naksir seorang cowok. Ada dua faktor sih yang harus membuat kita menyudahi perasaan kita pada orang tersebut: first: pacar atau suami orang. Second: berbeda agama. Bagi beberapa orang, faktor terakhir kadang diabaikan dan mereka akan tetap menjalani hubungan itu. But for me, itu harga mati. Karena, lebih baik patah hati saat masih sekedar naksir daripada menuruti untuk berpacaran, terus kita makin sayang, lalu masalah tersebut mengemuka. Fatal kalau menurut gue. Lalu alasan lainnya, karena gue nggak mau membuat orang lain pindah agama hanya karena gue atau karena hal seperti cinta laki-laki pada wanita dan sebaliknya. Untukku agamaku, untukmu agamamu. 
Alhamdulillah, sampai sekarang gue selalu bisa membuat perasaan gue nggak berkembang kalau naksir cowok dengan situasi di atas. Agama yang sama juga alasan kenapa gue naksir cowok, selain fisik. Dan... I don't know why, I never fall to oriental look guy. Mungkin karena belum ada cowok oriental yang menarik hati gue. No offense by the way. Kalau cewek-cewek oriental beda. They always look beautiful. Malah kadang kalau melihat pasangan yang sama-sama oriental, pasti ceweknya lebih cantik. Haha... iyalah. Masa lebih ganteng. Benar-benar nggak bermaksud ngomongin etnis, but it's just me. Selera orang beda-beda dan maaf kalau menyinggung. Mungkin aja pendapat gue berubah di kemudian hari. We'll see...
Gue pergi ke berbagai tempat lagi setelah pensi di Pejaten itu, lalu pulang dan santai-santai di malam Minggu. Besok, seperti biasa, bantu-bantu nyokab di pekerjaan rumah dan persiapan membuat makanan yang besok akan dijual. It seems like I only have Saturday to take a rest, right? Makanya gue jarang keluar rumah kalau nggak ada keperluan yang penting-penting banget. Bisnis makanan memang butuh tenaga ekstra. Dan karena itu juga, weekend terasa cepat. Pasti tahu-tahu udah Senin lagi. Huaaa.... I need longer weekend!
Weekend ini agak berbeda pada hari Minggu-nya. Menenangkan. Odiee sedang punya masalah dengan Papanya yang menurut gue terlalu kaku. Selalu begitu. Masalahnya cuma satu, sang Ayah yang lebih memilih mendengarkan dirinya sendiri daripada mendengarkan si anak. Urusan lain mungkin bolehlah, tapi dalam urusan pendidikan, ini kan juga berhubungan dengan minat si anak. Nggak bisa dipaksakan karena akan ada masalah di kemudian hari nanti, entah anaknya yang jadi nggak bersemangat belajar karena pendidikan yang diambil nggak sesuai minatnya, ataupun masalah lain. Untungnya setelah menumpahkan unek-unek di telpon sambil sesekali terisak, adik kecil gue itu bisa tenang dan kita pun melanjutkan komunikasi via sms because she is trying to talk with her father about what she wanted.

Jumat, 25 Maret 2011

Teh Tarik - Chapter 2

Kegiatan gue selain menjaga kios, hmm... apalagi ya? Biasa aja. Setelah jaga warung, gue menyiapkan katering untuk anak kost  untuk malam hari, lalu tidur sebentar, lalu bantu nyokab beres-beres rumah, lalu... udah. Pastinya saat Isya, kalau nggak ada keperluan warung yang harus dibeli, gue bebas. Paling menghabiskan waktu di kamar, nonton TV, baca buku ditemani radio kesayangan. Yang lebih agak berwarna sih kalau weekend. Kadang ada gathering pendengar radio Oz, gathering Oz Club yang biasanya diadakan di daerah Kemang. Bisa juga jalan-jalan dengan mereka yang gue kenal dari situ, atau juga lihat acara musik. Lihat Backalley perform, itu paling sering. I just love their good music.
Pacar...?! Hmm... I don't have any. Baru putus awal tahun dan langsung ditinggal jauh. Pacaran dua kali seumur hidup, dua-duanya ketemu saat kuliah D1. Nolak cowok dua kali, HTS-an cuma sekali. Haha... parah, lengkap amat. Hihi... Suka-sukaan sama orang, sih, sering, tapi biasanya gugur dengan sendirinya. Because what I can do best is being a secret admirer. Yeah, that's me. Suka atau sayang seseorang tanpa pernah berani bilang. Cuma menikmati kedekatan yang terjalin. Sadar diri kok gue... yang gue taksir biasanya orang yang nggak mungkin suka sama gue. Dua orang yang pernah jadi pacar gue dulu aja membuat gue agak kaget karena mereka akhirnya meminta gue jadi pacar mereka.
I'm not pretty... I'm just sweet and nice. Lumayan tinggi, sedikit gemuk dengan kulit sawo matang. Makanya gue nggak akan percaya kalau ada yang jatuh cinta sama gue karena fisik. Alasan yang lain lebih mungkin sepertinya. Agak moody, spontan, dan cuek tapi sabar banget kalau menghadapi orang. Punya dua adik cowok membuat gue jadi punya kebiasaan dan kesukaan seperti cowok : nonton bola, main bola, manjat pohon, dengerin musik metal sampai head banging. Tapi hal itu justru membuat gue jadi bisa meng-handle semua pekerjaan rumah juga. Because somehow, nyokab akan tetap ngamuk kalau gue nggak melakukan pekerjaan rumah satuuuu aja per harinya. Padahal dua adik cowok gue juga nggak melakukan apa-apa dan mereka cukup besar untuk diajarkan caranya ngepel rumah.
Gue nggak terlalu dekat dengan teman-teman jaman sekolah atau kuliah dulu. Sibuk semua. Teman-teman terdekat gue adalah teman-teman dari radio, baik yang bekerja disana atau yang udah bergabung di perkumpulannya. Di rumah, gue dekat dengan adik gue yang kelas 3 SMP itu. Sedangkan adik yang umurnya setahun lebih muda dari gue lebih dekat dengan..... pacarnya, pak Polisi yang jarang ngomong... kalau di rumah, hehe. Adik gue yang SMP itu, Didit, sedang deg-degan nunggu pengumuman kelulusan. Mudah-mudahan lulus biar gampang cari sekolahnya. Dia sudah akan didaftarkan ke STM. Paling ujung-ujungnya jadi polisi juga, seperti kakak dan bapak gue.Dulu gue juga disuruh jadi polwan (polisi wanita), but I said no. Bukan minat gue dan gue nggak bisa dipaksa.

Hey, handphone gue berbunyi. Ada sms masuk...
One of my bestfriend from Oz Club. Hehe, dia curhat tentang salah satu gebetannya. Dari puluhan anak Oz Club, gue punya lima sahabat cewek, salah satunya tinggal di dekat rumah. Udah kayak adik sendiri. We've been through a lot of things. Yang menarik dari persahabatan ini adalah variasi umur kita yang berbeda-beda nggak menghalangi kita untuk menjadi sangat dekat. Kita pernah nangis bareng, ketawa bareng, patah hati bareng, dan jatuh cinta bareng. Katanya sih. kalau udah sedekat ini, memang akan suka sehati dalam hal apapun. Lima sahabat gue itu adalah lima orang yang tahu rahasia-rahasia gue.
Sylvia, beda setahun umurnya dengan gue dan yang paling sering berkomunikasi sama gue. Banyak yang bisa di share sama cewek berjilbab ini. Mandiri dan baik hati. Kadang kita pergi berdua kalau sedang patah hati. Entah mall to mall ataupun nonton film di bioskop. Kalau gue suka sama cowok, dia pasti jadi orang pertama yang gue kasih tahu. Kita berdua sangat sering patah hati, hahaha... tapi kadang, Sylvia butuh waktu lebih lama untuk menyembuhkan patah hatinya dibanding gue.
"Kok bisa sih, Dee, terima dia punya pacar?" tanya Sylvia suatu hari. Di salah satu sudut GOR Soemantri Brojonegoro, Kuningan. Kita sedang membahas gue yang sedang suka sama seorang cowok yang udah punya pacar.
"Karena... gue nggak ada apa-apanya dibanding cewek itu. Gue dan cowok itu dekat kayak gini aja udah membuat gue senang, karena itu lebih baik. I'm falling into him, but I'm not planning to have any romance relationship or stuff."
"Nggak jealous lihat dia peluk pacarnya di depan kamu?"
"No, not at all. Because she's so beautiful and kind. Kecuali pacarnya gebetan gue itu sombong dan nyebelin, gue pasti rela."
"Oh, I wish I could be like you."
"Yes, you can. Cuma satu syaratnya. Kamu suka dia karena memang suka dan bukan untuk dijadikan pacar. Kalaupun akhirnya dia jadi pacar, it would be a bonus of your sincere feeling to him. That would be just perfect."
Sylvia mengangguk. Kita saling berpandangan dan tersenyum.
Lalu ada si super sensitif, Lucky. Cewek ini cantik, fashionable, dan paling putih diantara kita. Kalau difoto, dialah yang paling bersinar di antara yang lain. Namanya cocok banget dengan kenyataan hidupnya. Kalau ikut kuis, dia sering banget menang, hehehe. Lucky sudah kuliah tingkat akhir dan tinggal di kostan dekat kampusnya. Jauh dari rumah membuat dia punya waktu banyak untuk sendirian. Kalau dengan dia, pasti yang diceritakan adalah tentang cowok, sang mantan pacar yang udah seperti menaruh dia di wahana roller coaster : kadang baik, tapi kadang bikin pengin nabok. Dari lima sahabat gue, dia ini yang paling sering datang ke gue dan nangis. Like I said, she's super sensitive.
"Kalau mantan lo udah nggak into you anymore, you better move on. Found out a new boy in town." Kata gue ke Lucky suatu hari. But then again, andai saja semudah itu kenyataan dengan perkataan gue.
Ketiga, si remaja penuh kegiatan, Odiee. Perempuan. Iya, cewek. Nama bagus-bagus dan sangat cewek yang diberikan orangtuanya diumpetin. Coba aja panggil dia Claudia, nama aslinya, pasti dipelototin. Hehe... Odiee adalah adik kecil yang mau lulus SMA, tapi cara berpikirnya udah cukup dewasa. Mungkin karena banyak bergaul dengan orang-orang di setiap acara yang dia ikuti atau karena dia anak pertama seperti gue, perempuan satu-satunya. Saking banyaknya kegiatan yang dia miliki, gue sampai nggak hapal apa aja. Yang pasti, Odiee yang selalu takut kalau ada rencana gathering Oz Club, takut bentrok dengan acaranya yang lain. Odiee lebih sering curhat ke gue mengenai masalah pendidikan atau keluarga. Curhat masalah cowok? Hmm... baru belakangan ini aja. Dia sedang suka sama... hmm... ada deh seseorang, hehehe.
Lalu ada Nenno, mahasiswi sekolah keperawatan tingkat satu ini rumahnya dekat banget sama gue. Selemparan batulah. Bareng Sylvia, kita bertiga setahun belakangan ini selalu nonton Backalley manggung. Gue dan Nenno sering berduaan di kamar dan cerita-cerita. Sehari aja nggak ketemu akan terasa agak aneh. Kita juga sering menjelajah bareng untuk cari kuliner enak. Kemana-mana naik motor Mio putih miliknya. Nenno baru aja patah hati karena sang gebetan, si gitaris, punya pacar. Tapi untunglah patah hati biasa dan langsung dapat gebetan baru lagi, hehe. Kadang dia menemani gue jaga warung.
Sahabat perempuan gue yang terakhir... Dia memang orang terakhir yang masuk dalam lingkaran sahabat gue. Cewek cantik berdarah Arab ini namanya Vitha. Pertama ketemu sih dia diam aja. Tapi setelah ketemu tiga kali, ternyata berisik. Parah. Selera musik kita berdua agak beda, jadi kadang kalau ada pertunjukan musik, kita suka berbeda pendapat. Kalau ke gig, Vitha lebih sering pergi bersama Lucky.
Kita berlima sudah seperti saudara perempuan. Kalau ketemu, bahan obrolan nggak pernah habis. Kadang kalau kita selesai bertemu siang harinya, maka malamnya kita masih sering telpon-telponan. Huaah... mudah-mudahan kita berlima akan dekat terus seperti ini. Gue nggak punya saudara cewek. Ada juga sepupu, tapi dia udah menikah dan punya anak. Agak beda dunianya. Gue nggak pernah merasa cukup meluangkan waktu bersama mereka, berbagi bersama mereka, although baru dua tahun ini kita kenal, kecuali sama Nenno. Kalau Nenno mah, kita sudah bersama sejak kecil. Hope this last forever...

Teh Tarik - Chapter 1

Ini cuma kisah cinta biasa. Sepertinya sih begitu... Tapi terserah bagaimana kamu menilainya...

Gue sendiri disini, dengan buku Negeri van Oranje di tangan. Jaga kios makan kecil setiap hari dari pagi sampai siang. Kios, atau warung makan kecil mungil sederhana ini adalah milik gue, Dee. Hasil dari kerjasama antara Bude, nyokab, dan gue juga.Umur gue 25 tahun. Dulu pernah kerja tapi lalu keluar karena kontrak dua tahun nggak diperpanjang lagi. Setelah itu bingung, menganggur. Ijazah D1 nggak terpakai dan nggak ahli dalam komputer. Hufft.... Bukannya gue malas cari kerja, tapi setiap interview (I through it a lot) pasti ujung-ujungnya ditanya "Kenapa cuma D1? Nggak lanjut lagi? Nanti tunggu telpon, ya..." (Telpon yang mana?)
Well, gue anak pertama. Gue punya adik dua, semuanya cowok. Biarlah biaya pendidikan dialokasikan untuk mereka berdua. Gue mengenyam pendidikan seadanya saja. Jadi, daripada nggak melakukan apa-apa, nggak produktif, gue relakan tabungan terakhir gue, gaji selama dua bulan untuk investasi di kios kecil ini. Keuntungan dibagi tiga, gue cuma dapat 20 % perbulan. Lumayanlah, semua itu gue tabung. Enak, karena kios dekat rumah yang artinya nggak perlu ongkos dan kalau lapar tinggal makan, hehehe...
Kios ini dekat rumah sakit, jadi pelanggan gue terdiri dari beberapa macam golongan: Pegawai rumah sakit, tetangga, pasien rawat jalan atau rawat inap, dan orang-orang yang kebetulan lewat, lalu lapar atau butuh tempat untuk singgah sebentar. Menu makanannya pun sederhana, macam-macam masakan Jawa. Yang utama dan selalu ada adalah gudeg dan bacem tahu tempe. Murah kok, lo bisa kenyang hanya dengan enam ribu rupiah saja. Alhamdulillah, kios ini sudah berdiri selama dua tahun dan pelanggannya banyak. Waktu buka nya aja cuma setengah hari, paling lama adzan dzuhur udah tutup. Kadang kita menerima katering juga tapi dalam skala kecil. Paket kardusan gitu.
Tiba-tiba dua orang cowok berjas putih masuk sambil ngobrol. Gue taruh buku orange itu setelah sempat menandakan sampai mana gue membacanya tadi. Sepertinya mereka koas (dokter yg sudah lulus kuliah, sudah melakukan sumpah dokter dan sedang dalam semacam training di rumah sakit) di rumah sakit dekat kios gue. Cowok yang duduk menghadap gue berwajah Arab, wajahnya kecil, sedangkan yang satu lagi kulitnya putih, nggak tahu wajahnya kayak apa karena dia duduk memunggungi gue.
"Teh manis dua ya, Mbak. Anget aja..." Kata si wajah Arab.
Gue senyum dan mengangguk, lalu berdiri dan membuatkan pesanannya. Sambil menyeduh teh hangat itu gue mengamati si wajah Arab, tampangnya bad boy banget. Nggak cocok jadi dokter, hehe. Gue mendengarkan mereka mengobrol, tapi gue nggak terlalu ngerti apa yang mereka obrolkan. Akhirnya gue memilih fokus ke radio di depan gue. Selalu dipasang di gelombang yang sama, stasiun radio kesayangan. Gue meletakkan dua gelas teh hangat itu di meja mereka sambil menunduk. Kebiasaan kalau bertemu orang yang nggak dikenal atau nggak di ajak ngobrol. Atau itu ciri rendah diri gue? Hmm.... Entahlah. 
Gue melanjutkan membaca karena sepertinya mereka cuma mau cari tempat nge-teh dan ngobrol doang, nggak makan. Jangan lama-lama kalau gitu yaaa... It's almost 12 in the afternoon dan makanan di lemari displaynya juga tinggal sedikit. Lagu Somewhere Someone-nya Backalley mengalun dari radio. Familiar. Gue otomatis nyanyi karena lagunya yang enak dan gue mengenal personil band indie ini. Ada seseorang yang datang dan membeli makanan dan dibungkus. Alhamdulillah, yang sisa dibeli semua, hehe. Tapi... dua orang itu... masih ngobrol ajaaa. Hmmm... mau lanjut membaca tapi udah capek. Dari tadi baca melulu. Akhirnya gue ambil telpon selular dan masuk ke dua jejaring sosial yang gue punya. Supaya banyak tahu dan tetap terhubung sama teman-teman dan sahabat-sahabat gue. 
Sejak jadi pendengar setia radio Oz dan gabung di perkumpulan pendengarnya, gue jadi punya banyak teman dan kadang bertemu artis kalau sedang nongkrong di kantor Oz nya. Guess I'm just lucky, hehe. Musik dan buku selalu mempunyai tempat spesial di hidup gue. Makanya, walau pendidikan gue nggak tinggi-tinggi amat, tapi alhamdulillah nggak bego-bego amat juga. Kalau masalah sekitar yang sedang ramai dibicarakan atau masalah global, gue cukup tahu banyaklah.
Nggak ada yang menarik lagi di twitter atau facebook. Ngantuk. Dua koas itu masih aja ngobrol. Hadeuuh.... numpang ngobrol dan ngadem ini mah. Agak kesal juga gue dibuatnya. Kalau begini, gue mulai beres-beres aja deh. Ntar juga mereka sadar sendiri, hehe. Ngomong-ngomong, setelah diperhatikan, sepertinya mereka koas baru, karena gue nggak pernah lihat tampangnya. At least yang Arab. Sudah setahun belakangan ini bisnis makanan gue juga merambah ke paket untuk anak-anak kost di dekat rumah. Jadi, ada beberapa kost-kostan yang bekerja sama. Yang ngekost disana dapat makan dua kali, bisa pilih. Kebanyakan sih sarapan dan makan malam karena siangnya mereka semua di rumah sakit. Ada koas, ada juga perawat. Wajar juga sih kalau gue nggak familiar dengan wajah mereka, karena adik gue yang masih SMP kelas 3 lah yang bertugas mengantar makanan ke kost setiap pagi, atau kapan saja sesuai pesanannya. 
Udara bulan Mei yang aneh. Panas banget pagi hingga siang, setelah itu tiba-tiba berawan dan mendung lalu hujan. Blame the human nature.
Nyokab datang, kadang memang berdua jaga kiosnya, tapi kalau sepi, nyokab pulang, masak, dan melakukan pekerjaan rumah tangga lainnya.
"Minum doang..." Kata gue ke Nyokab. Uuuh... kebelet pipis. Akhirnya gue pulang sebentar dan pas balik lagi, dua koas itu sudah pergi. Tanpa gue tahu kalau mereka akan jadi pelanggan penting di kehidupan gue mendatang. Gue pun menutup kios untuk hari ini.
***



Rabu, 09 Maret 2011

Kamu

Datang tak diduga tahun lalu.

Rindu. Kompromi. Pengecualian. Kamu.
Bisa buat aku terjaga karena rindu.
Tidak Biasa. Hebat. Ramah. Kamu.
Bisa buat aku melakukan yang bukan aku.

Banyak pertimbangan nya,
padahal hati yang disana saja tidak tahu seperti apa.
Banyak kontra nya,
tapi mungkin saja seorang aku sedang tuli dan buta.

Suara Hati atau Permainan Pikiran?

Ragu..

Aku. Sayang. Kamu.


(thanks for the inspiration,panda.)




newbie

well...first entry.
thanks to pupu n my twin,denisa..yang buat saya akhirnya jadi juga bikin blog. :)