Jumat, 08 April 2011

Teh Tarik - Chapter 9

Sesuai perjanjian with my silly brother, pagi ini gue yang mengirim makanan dulu. Nanti malam barulah dia. Dan seperti kemarin, kostan Nino yang terakhir. Nggak ada yang spesial di dua tempat kost lain. Kebanyakan sih gue nggak kenal dan mereka nggak pernah ngajak ngobrol atau menyapa gue.
Hari ini warungnya libur dan para koas itu sepertinya juga  agak santai karena nggak perlu apel pagi di lapangan. Saat gue sampai tempat Nino, rumah kostnya lebih sepi dari kost-kost yang lain. Cuma Mas Peno yang sedang asyik merapikan halaman depan, menyirami bunga dan tanaman-tanaman yang lain.
"Pada belum bangun, ya, Mas?" Tanya gue ke Mas Peno sambil memandang berkeliling.
"Iya, tapi nggak semua, Mbak. Kalau mas Nino sih pasti bangun siang."
"Oh... saya ke dalem dulu, ya."
"Iya, Mbak...."
Sepi sekali. Gue celingak-celinguk melihat ke lantai atas. Jangan-jangan si Ardi masih molor, tapi ya nggak mungkinlah. Ini makanan gue taruh aja deh di atas meja., nggak usah ditata. Hmm... pulang aja deh kalau begini. Agak kecewa, because I really want to see Ardi. Mau jitak dia karena semalam udah membuat gue nggak bisa tidur cepat.
"Neng..!!" Suara Ardi. Gue menoleh, mengalihkan pandangan ke lantai dua, tempat suaranya terdengar... dan ternyata Ardi ada disana. Gue otomatis tersenyum.
"Mau kemana?" Tanya Ardi lagi.
"Pulanglah. Masa mau disini. Ngantuk. Semalam ada yang bikin gue nggak bisa tidur." Nyindir nih ceritanya. Ardi pun turun.
"Hehehe... nge-teh dulu, yuk. Teh tarik. Kemaren gue minta beliin mas Peno susu cair. Bikinin dong..."
"Bikin sendiri aja. Kan udah sering lihat gue bikin teh tarik. Payah nih, Dokter Min."
"Ya udah. Tapi minumnya temenin. Masih pada molor yang lain. Yuk..." Dia sekarang berdiri di depan gue. Rambutnya belum diatur, sepertinya baru selesai mandi. Terlihat segar sekali.
"Gue yang bikin deh, ya?" Kata Ardi.
"Tumben..."
"Nanti harus dinilai. Ayo sini...!" Ardi tiba-tiba menarik tangan gue dan membawa gue ke dapur. Jantung gue berdegup nggak karuan. Kontak fisik pertama di antara gue dan Ardi. Gue memandangi tangan kita. It feels right... terlihat sangat pas dan indah. Dia menarik salah satu kursi di meja makan, lalu mendudukkan gue disitu. 
"Please jangan kabur..." Katanya.
"I won't. Asal jangan dikasih racun."
"Haha kalau lo keracunan, gue akan rawat lo sampai sembuh. Tenang aja." Katanya sambil mengedipkan sebelah matanya.
"Ih, kedip-kedip kayak om-om genit."
"Hahaha... bentar ya..." 
"Cepet. Keburu disuruh pulang nanti gue..."
"Iya. Eh, Dee... gue lagi suka The Only Exception-nya Paramore, nih." Kata Ardi tiba-tiba. Gue kaget.
"Me too. Liriknya bagus."
"Iya. Karena itu dan karena pas banget sama gue."
"Emang baju? Pas?"
"Haha... elo kalau masih pagi begini lebih kocak, ya?"
"Nggak. Cuma cranky aja gara-gara kurang tidur. Lo berangkat jam berapa sih nanti?"
"Jam delapan kurang."
Nggak lama kemudian, Ardi selesai. Dia meletakkan segelas teh tarik pakai es di hadapan gue. Hmm... kelihatannya enak. Dia juga bikin untuk dirinya sendiri dan kemudian duduk di bangku sebelah kanan gue.
"Ayo coba." Katanya.
"Yakin nggak ada racunnya? Nggak bikin gue sakit perut, kan?"
"Coba dan buktikan..."
I'm just playing around sih sebenarnya... hehehe... Gue menyeruput teh tarik buat Ardi akhirnya... Enak. Tapi gue menunjukkan mimik wajah yang biasa aja.
"Enak nggak?" Tanya Ardi.
"Cobain aja punya lo sendiri." Kata gue sok ketus. Ardi terlihat kaget. Takut teh tarik buatannya nggak enak.
"Emmm... Ah... payah, nih. Kayaknya tadi gue bikinnya udah bener, deh." Ardi berdiri dan mengeluarkan sesuatu dari kantongnya. What?! Jadi ini teh tarik instant. Gue melongo.
"Sialan. Bukan bikinan elo ini, mah... Udah, ah."
"Hehehe... kan tetap aja gue yang bikin, Dee."
"Gue pulang ah. Merasa ditipu gue."
"Eh, mubazir. Abisin dulu."
Ehem... dia tahu kelemahan gue terhadap makanan dan minuman. Harus dihabiskan, karena akan mubazir kalau enggak. Akhirnya gue habiskan teh tariknya, tandas lalu berencana langsung pergi dari sana. Nggak bisa lama-lama, karena gue tau sebentar lagi Ardi juga akan berangkat.
"Gue balik, ya. Sana berangkat. Ditunggu pasien, Dokter Min." Kata gue siap-siap bangkit dari kursi. Dia tersenyum. Malu kalau digodain begitu.
"Eh, bentar deh."
Gue nggak jadi berdiri dan memandang dia dengan penasaran. Mau ngomong apa lagi dia? Dan semuanya terjadi begitu saja. He kiss my cheek, my right cheek. Agak lama sampai membuat muka gue terasa panas. Pasti merah.
"Maaf, ya semalam." Katanya dengan sangat manis. Manis banget. Ini anak kesambet setan apa. Gue perhatikan, wajah Ardi juga memerah.
"Ah... Iya..." Jawab gue setengah merasa linglung. Rasanya kayak baru dihipnotis. Lalu, seperti adegan di film-film, terdengar alunan lagu The Only Exception-nya Paramore. Gue merasa heran sesaat, tapi ternyata itu bunyi handphone Ardi.
"Gue pulang ya..."
Ardi memberi isyarat 'tunggu sebentar' dengan telunjuknya. Dia menjauh sebentar untuk menjawab telponnya. Kayaknya bakalan agak lama. Gue memutuskan untuk tetap pulang. Pelan-pelan gue berbalik dan berjalan ke arah pintu. Tapi tiba-tiba Ardi memegang tangan gue, menahan gue untuk pergi. Ah, sial. Ini orang kenapa sih? Satu meter lagi gue sampai pintu padahal. Ardi masih mengobrol di telpon. Sepertinya sedang bicara dengan dokter seniornya. Dia menggenggam tangan gue erat banget. Gue merasa seperti ada sesuatu dari genggaman tangan itu yang pelan-pelan menjalar naik ke seluruh tangan gue, lalu ke jantung sehingga membuatnya berdetak lebih kencang, lalu lanjur menjalar ke perut, membuatnya merasa dikelitik. Wajah gue memerah lagi, makin lama makin merah. Ditambah lagi si Ardi kadang memandang mata gue. Tatapan yang belum pernah gue lihat sebelumnya dari dia: tajam, tegas, dan dewasa tapi terasa nyaman. Seolah menyiratkan kalau dia akan melakukan apa aja untuk gue. Wah, gue mulai berhalusinasi.
"Oke. Terimakasih, Dok. Have a nice trip..." Kata Ardi pada orang di sebrang telpon. Hmm... apa udah selesai telponnya?
"Apa?" Tanya gue setelah Ardi menjauhkan handphonenya dari telinganya.
"Aah... umm..."
"Lah, gagap, Dokter Min?"
"Hehe... umm... nggak apa-apa. See you when I see you..." Katanya lembut, lalu dia melepas tangan gue. Hih, gue kira mau ngapain tadi dia nahan gue kayak tadi.
"See ya, Dokter Min." Gue tersenyum dan berbalik.
Kali ini gue sukses keluar dari rumah, lalu pulang. Sepanjang jalan, gue memegang pipi kanan gue. He kissed me? Am I just had daydreaming or what? Ahh... paling juga memang kebiasaan dia. Peluk atau cium sebagai tanda terimakasih atau minta maaf, lifestyle mungkin. Tapi sumpah, saya nggak biasa seperti ini. Yang boleh peluk atau cium saya cuma pacar. Tidaaaak... Loh?! Hehe... tapi kenapa daritadi gue senyum-senyum melulu? Kenapa dari tadi rasa menggelitik di perut masih ada? Kenapa wajah gue masih terasa panas? Dan kenapa jantung gue berdetak lebih cepat daripada biasanya?
Ada sms masuk begitu gue sampai kamar.

"Eh, nggak marah kan, Dee? Maaf kalau gue lancang udah nyium pipi lo."

Gue cuma membalas dengan emoticon senyum. Dia sms lagi.

"Ih, teh manis mah gitu. Gue dimaafin ka, neng? Semalem udah bikin lo nggak bisa tidur?"
"Iya susu. Bawel nih. :p"
"Hehe... thanks ya, teh manis. Gue berangkat dulu.."
"Selamat bekerja dan belajar, Dokter Min... :)"
"Thank you, neng teh manis. :)))"

Ngeselin. Masih ya manggil gue 'neng'?! Hahaha... gue tertawa sendiri mendapati diri gue kesal tapi malah senyum-senyum. Hoaahmm... I need more sleep.
Okay, gue tau kalau ini mimpi. Ardi mencium gue... bukan di pipi, tapi kali ini di bibir. Huaaa... what a dream. Sepertinya gue naksir beneran sama dia.

Tidur sebentar, terus bangun, mandi (lagi) dan pergi ke Kemang untuk ketemu sahabat-sahabat gue. Kalau bersama mereka, waktu terasa cepat. Sebenarnya nggak mau pulang, tapi udah jam sembilan malam. Udah kenyang abis makan pecel ayam yang ada di depan radio kesayangan kami itu.
Curhat-curhat dan saling meledek. Hahaha... selalu menyenangkan kalau bersama mereka. Sayangnya, Odiee sedang ada di Medan dan Nenno nggak bisa ikut. Gue pun pulang. Capek... Hoaahm... Ngantuk parah. Heran. Giliran weekend, gue gampang banget ngantuknya. Mandi, langsung tertidur begitu menyentuh kasur.
Malam itu gue mimpiin Ardi. Rasanya kok gue kangen banget ya sama dia? Gue terbangun lagi. Ahh... setelah dipikir-pikir, hari ini gue sama sekali nggak berhubungan sama dia via sms atau telpon, atau ketemu pun juga enggak. Gue ambil handphone di tas. Loh, kok mati? Bareteinya abis kayaknya. Okay, di-charge dulu. Hmm... tapi kok nggak berfungsi juga meski udah di-charge. Nggak ada tanda-tanda baterei handphone ini terisi. Mampus! Mati HP gue. Di charge juga nggak ada gambar baterei di layarnya. Sial. Nggak punya HP deh gue sekarang. Totally!! Kalau online masih bisa pinjem HP adik gue, tapi untuk sms dan telpon juga nggak bisa. Fuck up. Marah awalnya... tapi ya udahlah. Besok aja dipikirinnya. Sekarang tidur dulu.