Selasa, 12 Juli 2011

Teh Tarik - Chapter 11

Hari-hari selanjutnya mulai jarang ketemu Ardi, tapi masih sms-an atau kadang telpon. Handphone-ku baru! Alhamdulillah.. hari Senin kemarin dia nitipin coklat ke Didit buat gue. Hihihi... asik!! Makin lama, gue makin merasa nyaman sama Ardi, tapi gimana ini? Mau diterusin atau enggak? Dia udah punya semua yang membuat gue nyaman di dalam sebuah hubungan 'laki-laki dan perempuan lebih dari teman'. Tapi kita berbeda agama. Nyokab gue nggak akan suka!! Gue taunya kalau kita pacaran sama seseorang, ada dua hal yang pasti. Putus, atau menikah. Itu doang. Nggak ada yang lain. Masa baru pacaran aja udah mikir akan putus? Kalau nikah... apa akan semudah itu gue ikhlas dia pindah agama untuk gue? Kalau gue sih nggak mau pindah agama, apalagi untuk orang lain. Cuma satu ini egoisnya gue. Agama yang gue anut sekarang ini adalah harga mati. Kalau nggak lanjut... I'm in love with him... already. Deeply.
Rabu itu gue galau. Akhirnya nangis sendiri. Lukita aja yang pernah pacaran dengan orang yang beda agama pernah gue (sok) nasehati.
"Gue tau sedih banget, tapi mending dari awal di-stop aja."
Ingat sama omongan lo sendiri, Dee!!
Hhh... sudahlah. Jalani aja.. yang penting... apa ya? Aaah... bingung sendiri!! Tapi paling cuma sementara, Ardi kan disini cuma koas, paling juga dua bulan. Sekarang aja udah hampir satu setengah bulan dia disini. Abis nangis, rasanya kayak orang patah hati. Kayak diputusin sama Ardi. Padahal lagi sayang-sayangnya. Saat gue menutup mata aja, di bayangan gue cuma ada wajah Ardi, dan sering mimpiin dia juga. Hah... He really got me!! Gue tau dia nggak sengaja... Gue juga tau gue nggak sengaja jatuh cinta sedalam ini sama dia. Hah!! Benar-benar, deh. Ya Allah... mudah-mudahan dia nggak jatuh cinta juga sama saya.

***

"Apaan? Rese nih. Lagi nonton DVD juga!!" 
"Sana... cepet!!" Kata Nyokab.
Adik gue ngambek sama nyokab dan akhirnya dia nggak mau nganterin katering-an buat anak-anak kost. Haduuuh...
Ganti hotpants dengan rok batik selutut, terus ngaca sebentar, lalu ngambil makanannya. Untung udah sholat maghrib tadi.
Seperti biasa. Kost-nya Nino terakhir aja.. hehe.. Kangen juga sama Ardi. Udah hampir empat hari nggak ketemu, hihihi... Ini hari Kamis, dan biasanya Kamis itu hari dimana banyak kejadian bagus gue alami. I was born on Thursday by the way. Pas gue masuk ke halaman depan rumah Nino aja gue udah merasa deg-degan. Aaah... tangan gue gemetaran!! Parah!!
Tapi kok sepi amat, sih?
"Ssstt... Dee..." Sebuah suara tiba-tiba menyapa telinga gue. Gue menengok kanan-kiri dan menemukan Destu  di depan kamarnya di lantai satu.
"Ngapain disana?"
"Sini!! Jangan ditaruh dulu makanannya. Kita lagi bikin Ardi kesel. Dia kan ulang tahun."
Hah? Ardi ulang tahun? Kenapa gue nggak tau?
"Ada kue nggak?" Tanya gue ke Destu.
"Nggak ada."
"Yang lain kemana?"
"Di rumah depan. Kesana yuk. Gue baru selesai mandi, nih. Yuk."
Destu menawarkan diri membawakan makanan yang gue bawa, lalu kita pelan-pelan keluar. Kayak maling aja. Rumah depan ramai. Semuanya ada disitu. Ternyata mereka berencana ngerjain Ardi nanti. Mandi malam-malam dia.
Nggak ada kue ulang tahun, tapi gue punya ide. Dulu waktu temen gue ulang tahun, dia dapat martabak manis yang nggak dilipat, terus di tengahnya dikasih lilin. Mas Peno pun akhirnya disuruh beli martabak manis yang mangkal di depan rumah sakit. Lilinnya ada di laci dapur rumah depan, sisa lilin dari ulang tahun entah siapa...
"Ntar kalau Ardi curiga gimana?"
"Tenang aja. Dia baru pulang tadi.. lagi mandi kayaknya." Kata Amir.
Terus ntar diapain? Skenarionya, Ardi pasti keluar kamar buat cari makan, tapi karena di meja makan nggak ada apa-apa, Ardi akan tanya ke yang lain, tapi nggak ada orang di rumah. Dia pasti akan ke rumah depan. Nah, sebelum sampai di rumah depan, Ardi akan disergap terus diserang dengan telur, tepung, dan kecap sebanyak-banyaknya. Hahaha... kasihan. Pasti nanti mandi lagi!
"Yang bawa martabaknya elo aja, Dee, biar surprise!" Kata Destu sambil mengedipkan mata. Gue mengangguk. Aaah... kalau tau dia ulang tahun, gue pasti beliin sesuatu. Umurnya 24 tahun, lebih muda setahun dari gue.
Begitu Ardi keluar dari dapur, mereka keluar, berdiri menunggu, menyebar di tiap penjuru mata angin. Mas Peno datang dan gue segera memasang lilin di martabak itu. Satu aja. Nanti waktu gue keluar, barulah dinyalakan lilinnya sama mas Peno.
Beberapa saat kemudian, terdengar suara ribut-ribut dari 'panggung utama'. Cowok-cowok itu pada teriak-teriak, ketawa-tawa, dan suara Ardi juga... hahahaha... pasti keren nih!! Pengin nyeplokin Ardi pakai telur juga rasanya. Agak lama, lalu pintu di depan gue buka, lilin dinyalakan, dan gue pun berjalan keluar. Semua menyanyikan lagu Happy Birthday buat Ardi seiring dengan keluarnya gue sambil membawa martabak ulang tahun itu, hahaha.
Tiba-tiba ada sebuah blitz berkilat ke arah gue, dan ternyata Amir membawa handycam. Ardi agak kaget melihat gue, tapi semakin gue mendekat, senyumnya semakin melebar.
"Make your wish..." Kata gue begitu lagu Happy Birthday selesai dinyanyikan. Ardi menundukkan kepala dan memejamkan mata, dengan hanya cahaya lilin yang menyinari wajahnya, dia terlihat charming sekali. Nggak lama kemudian, Ardi kembali membuka mata dan meniup lilin.
Hihihi... lampu dinyalakan dan Masya Allah... ancur banget penampilannya Ardi. Udah kayak adonan aja. Anak-anak langsung menyiram Ardi dengan air melalui selang terdekat... hahaha... mandi di luar deh dia. Gue menyingkir, ketawa-tawa memperhatikan tingkah cowok-cowok yang kayak anak kecil itu.
"Eh, jangan lama-lama... nanti Ardinya masuk angin itu!!" Kata gue.
"Iya guys, udahan ya. Gue mandi dulu." Kata Ardi yang tampak kedinginan, tapi tersenyum lebar.
"Ya udah sana!! Dasar..." Kata Amir yang juga tampak puas berhasil ngerjain Ardi. Gue menuju ke ruang makan di rumah depan, menyiapkan makanan buat cowok-cowok itu. Nggak lama kemudian, mereka udah menyusul. Wajahnya kelihatan lapar semua. Ardi gimana ya? Takut dia masuk angin.
"No, ada jahe nggak?" Tanya gue ke Nino.
"Jahe? Nggak ada. Buat apaan?"
"Kasihan Ardi, takut masuk angin."
Dan baru sedetik kata itu meluncur, cowok-cowok itu langsung sibuk batuk-batuk dan ber-prikitiw ria. Haduuuh... orang mau berbuat baik kok digodain, toh?
"Saya tanyain sebelah ya, Mbak." Kata mas Peno.
"Bilang aja mau ketemu Tuti!!" Kata Destu. Mas Peno cuma nyengir. Mbak Tuti itu pembantu rumah sebelah kayaknya, hehe.
Karena jahenya harus dibakar dan nggak mungkin dibakar di dapur sini karena cowok-cowok itu lagi makan, akhirnya gue balik ke rumah belakang. Jahe itu ditusuk garpu, dibakar di kompor gas, gagangnya gue bungkus dengan kain karena makin lama makin terasa panas. Setelah selesai dibakar, jahenya didinginkan, dibersihkan kulitnya dari yang gosong-gosong, terus digeprek, lalu masukkan ke rebusan air. Eh... teh jahe atau susu jahe ya? Apa malah kopi? Ardi udah selesai belum sih mandinya?
Gue naik dan menuju ke kamarnya yang ada di lantai dua karena saat gue cek kamar mandi nggak ada suara apa-apa. Jadi mungkin Ardi udah selesai.
"Dokter Min...!!" Panggil gue sambil mengetuk pintu kamarnya yang berwarna putih. Gue belum ngucapin selamat ulang tahun juga. 
"Susu..." Gue memanggil lagi. Ini anak kemana toh? 
"Pak Min...!!" Akhirnya semua panggilan udah gue sebut.
"Iya, bentar.."
Pintu kamar dibuka. Ardi udah terlihat segar, udah ganti baju dan segala macamnya. Rambutnya ke depan semua, jadi kayak anak kecil.
"Mau teh jahe atau susu jahe?" Tanya gue.
"Hah?"
"Gue takutnya lo masuk angin, jadi gue bikinin susu. I mean, mau apa? Susu jahe atau teh jahe?"
"Umm... teh aja deh, Dee. Pakai susu juga boleh."
"Teh tarik jahe? Tadi ngapain sih? Kok nggak jawab dipanggil berkali-kali?"
"Lagi pake baju."
"Yaa minimal dijawab dulu kali kalau ada yang manggil. Dasar.. Terus kenapa nggak bilang kalau ulang tahun?"
"Tadi kan gue sms lo, minta lo buat dateng kesini."
"Heh? Nggak ada ahh... Apa belum kebaca? Ah, whatever. Maaf yaa... kalau tau pasti gue bawain sesuatu."
"Nggak apa-apa."
"Ya udah... happy birthday ya.." Dan gue beranikan diri maju selangkah, lalu mengecup pipi kirinya. Gue senyum, lalu langsung buru-buru kabur ke bawah. Nggak berani nengok. Malu! Haduh... ini aja gemetaran. Dia itu cowok pertama yang gue cium. Aaa... merah deh pasti  ini wajah gue!! Dan... gue kalau lagi salah tingkah, gemetaran dan sebagainya, punya kebiasaan buruk. Apa yang gue pegang pasti berantakan, jatuh... dan bahkan bikin minuman buat Ardi aja berantakan. Haah... Payah!!
Teh tarik plus jahe itu gue taruh meja, sementara gue membersihkan sekitar nampan gelas dan mencuci alat-alat masak yang tadi gue pakai. Sesekali gue menyeka keringat. Pasti keringetan kalau lagi salah tingkah. Nah... udah selesai. Pulang deh... nanti dicari nyokab.
"Astaghfirullah..." Gue berseru kaget saat berbalik dan menemukan Ardi sudah berdiri di dekat meja makan.
"Eh, sorry sorry... beneran nggak maksud..." kata Ardi. Gue mengelus-elus dada dan bisa merasakan detakan jantung gue sudah melebihi kecepatan gerak jarum detik yang ada di jam. Haduuuh...
"Gue pulang ya... itu minumannya... mudah-mudahan nggak masuk angin." Kata gue buru-buru dan langsung mau kabur.
"Eh, bentar..." Ardi tiba-tiba menahan tangan gue, membuat gue menghentikan langkah gue yang sudah setengah ngebut itu. Dia membenarkan posisi badan gue sehingga kami berhadapan, dan tiba-tiba Ardi memeluk gue, melingkarkan tangannya di bahu gue. Gue kaget. Parah kagetnya.
"Aku kangen sama kamu..." Katanya di telinga gue. Tangan gue pelan dan ragu, tapi akhirnya memeluknya balik. Nggak lama, Ardi melepas pelukannya dan memegang dua rahang gue, seakan wajah gue mudah pecah. Hati gue was-was, jantung gue berdetak semakin kencang. Ardi menatap gue dan tatapannya membuat gue serasa tertelan. Pelan-pelan wajahnya mendekat dan akhirnya gue pasrah. Gue menutup mata sajalah....


Kamis, 07 Juli 2011

Teh Tarik - Chapter 10

Gue baru bisa membeli handphone hari Senin nanti, jadi untuk sementara, gue memegang handphone adik gue dulu. Sore ini gue akan pergi nonton Backalley di Sky Dinning. Acaranya jam delapan malam. Gue udah bilang sama Nenno kalau handphone gue rusak dan minta dia untuk mengkonfirmasi kedatangan kita berdua ke Vitha dan Bunda Sylvia. Aaah... senangnya hang out bersama mereka lagi. Gue pergi ke Semanggi naik angkot karena nggak bisa naik motor, padahal di rumah ada dua motor nganggur, sedangkan Nenno juga lagi malas bawa motor. Capek mungkin, jadi kita memutuskan untuk jalan setelah maghrib.
"Dit, gue lihat Backalley dulu ya di Sky Dinning.." Kata gue pada Didit sebelum berangkat.
"Dimana tuh, Mbak?" Tanya Didit.
"Plaza Semanggi. Mau ikut?"
"Enggak ah. Ini mau anterin makanan tau. Pulang jam berapa, Mbak?"
"Nggak tau. Acaranya aja baru mulai jam delapan. Paling sebentar doang terus pulang."
"Oh, ya udah hati-hati..."
"Sipp dahh!!"

Hmm... Berangkat!!

Kita berangkat naik bus Jepang,bus ini agak menyenangkan daripada bus patas biasa, lebih lega, terang, dan murah. Jadi inget dulu waktu masih kerja di Grogol. Kita sampai di Sky Dinning jam setengah delapan malam, tapi Sylvia belum datang, apalagi Vitha. Akhirnya gue dan Nenno duduk di salah satu kelompok kursi yang kosong, di dekat teman-teman personel Backalley yang lain, termasuk pacar-pacar mereka. Pacar vokalisnya paling baik dan dekat sama kita.
Huaah... mana nih Sylvia? Backalley udah siap-siap mau tampil, tapi dia nya belum sampai. Katanya tadi macet di jalan. Ayolah cepat!! Kalau si puding, I mean, Vitha, sih emang mau lihat performance yang lain, jadi wajar kalau dia santai-santai dulu. Dan Sylvia datang pas banget saat intro lagu pertama mengalun. Yes! Asik! I Will Never Find Someone Like You mengalun. I kiss her cheeks dan kita pun mulai bernyanyi dan goyang sedikit-sedikit, hehe. I just love their music! I've been saying it like... many times. Hahaha...
Kita berdiri di depan panggung, agak di sebelah kanan sih dan agak jauh juga, but it's fun. Lalu setelah itu, Best Regret, Wondering, Never Be The Same, dan terakhir Somewhere Someone. Selalu terhibur dengan penampilan mereka. Musik yang berkualitas. Sayang, aliran indie agak susah untuk cepat dikenal luas. Mudah-mudahan banyak yang minta mereka tampil setelah ini. Amin.
"Lihat deh cowok itu.." Kata Sylvia tiba-tiba. Gue baru mau menoleh, tapi tau-tau Vitha datang. Benar-benar nggak lihat Backalley tampil nih, dia.
"Cowok yang mana, Bun?" Tanya gue.
"Yang pakai kemeja, rambut berdiri, di belakang kamu." Kata Bunda agak berbisik.
"Kenapa dia?"
"Kok dia kayaknya hapal lagu Somewhere Someone ya? Tapi aku belum pernah lihat dia sebelumnya."
Hmm... cowok berkemeja, rambut berdiri...? Ciri-ciri yang familiar. Gue menoleh dan bersamaan dengan cowok itu melihat gue. Gue kaget.. Cowok itu tersenyum dan melambaikan tangan ke gue. Dia Ardi.
"Loh, kok dia melambai? Kamu kenal?" Tanya Sylvia.
"Sebentar ya, Bun."
Gue berjalan ke arah cowok itu.
"Hey, what are you doing here?" Tanya gue, deg-degan parah dengan kejutan tiba-tiba ini.
"Katanya harus lihat mereka live.. kebetulan hari ini bisa. Sombong ya?" Balas Ardi.
"Siapa?"
"Teh manis sombong."
"Gue? Kenapa?"
"Telpon nggak diangkat-angkat."
"Loh, kok bisa telpon? Kan telpon gue rusak."
"Hah? Masa sih?"
"Iya. Emang sms delivered?"
"Umm... Kayaknya sih... pending."
"Huh! Dasar susu basi."
"Hehehe... pantesan nggak sms beberapa hari ini."
"Iya, maaf ya nggak ngasih tau. Eh, kesini sama siapa?"
"Sendirian. Bawa mobilnya Nino. Kamu mau pulang jam berapa?"
"Sebentar lagi, kok. Umm... tadi udah dimakan jatah-jatahnya?"
"Belum. Nanti aja. Pulangnya bareng aja, ya."
"Umm... tapi gue sama Nenno.  Rumahnya yang ada warungnya itu, lho. Keponakannya pak Haji."
"Ohh, ya udah nggak apa-apa. Sekalian aja."
"Yuk, gue kenalin ke temen-temen gue. Dan ke anak-anak Backalley juga."
"Eh, nggak usah. Gue disini aja."
"Udah... ayoo..." Gue menarik tangan Ardi. Nenno dan Sylvia memasang tampang penasaran saat melihat gue menarik Ardi ke arah mereka. Wajah gue udah panas, pasti merah. Untungnya disini agak gelap. Gue pun mengenalkan Ardi ke Sylvia, Nenno, dan Vitha. Tiga sahabat gue itu kayak dapat moment "aha!" saat si Susu menyebutkan namanya. Gue cuma senyum-senyum aja.
"Dokter Min aja ya manggilnya." Kata gue setelah Ardi berkenalan dengan mereka.
"Hissh... neng teh manis berisik, deh." Kata Ardi.
"Huuu... susu!!"
Nggak lama kemudian, vokalis Backalley mendekati kita untuk menyampaikan terimakasihnya karena kita udah datang. Kebiasannya memang kalau kita datang nonton, pasti dia menyempatkan diri untuk mengucapkan terimakasih secara langsung.
"Dha, ini kenalin temen gue. Udah gue racunin sama album kalian." kata Gue.
"Hai, Dhydha." Si vokalis mengulurkan tangannya ke Ardi.
"Ardi. Musik kalian keren. Selera musiknya Dee emang bisa dipercaya." Kata Ardi bersemangat.
"Wah makasih." Dhydha memandang gue dan Ardi bergantian dengan alis naik-turun. Ngapain sih, nih anak?! Suka aneh. Dhydha emang suka ngeledek gue.
Selagi Sylvia menanya-nanyai Ardi, gue penasaran dengan maksud gerakan mata Dhydha tadi.
"Apa?" Tanya gue ke Dhydha.
"Apanya?" Tanya Dhydha balik. Haduh, dudul juga nih anak.
"Tadi, mata mengisyaratkan hal yang tidak jelas." Kata gue sambil memperagakan gerakan mata Dhydha yang naik turun tadi.
"Ihihi... tumben sama cowok. Pacar ya?" Katanya agak berbisik di telinga gue. Saat gue lihat wajahnya, alis mata vokalis ini sudah naik-turun lagi sambil nyengir. Gue cuma melet, lalu mengalihkan topik dengan ngomongin penampilan mereka barusan.

"Ciee... kece ya, Susumu itu!!" Sylvia sms, padahal dia ada di depan gue.
Kebiasaan dia banget memang. Suka begitu, kadang iseng, kadang memberi komentar melalui sms kalau ada sesuatu yang nggak enak diomongin langsung. Gue cuma cengar-cengir dan melet ke dia.
"Mau pulang?" Tanya gue ke Ardi.
"Ha?" Ardi bertanya balik. Maklum, ramai banget disini. Apalagi ada live music-nya. Gue mendekatkan wajah gue ke wajahnya dan mendekatkan bibir gue ke dekat telinganya.
"Mau pulang sekarang? Pasti lo laper, deh." Kata gue, lalu memandang Ardi. Ardi mengangguk. Pasti dia laper. Biasanya makan jam setengah tujuh, eh ini udah hampir setengah sepuluh dan dia belum makan apa-apa.

"Tante... laper!!" Kata Nenno.
Kita bertiga, gue, Ardi, dan Nenno sudah di dalam lift. Sylvia dan Vitha masih di rooftop, nunggu Soul ID tampil.
"Burger mau?" Tanya gue ke Nenno. Dia mengangguk. Akhirnya kita ke salah satu gerai fast food di mall itu. Gue nggak lapar, tapi gue beli satu. Ardi menemani tanpa komplain. Sebenarnya tadi gue sempat melihat dia memegang perutnya. Nggak tega. Mungkin sayang sama makanan jatah dia yang di rumah, jadi dia nggak jajan disini. Dari sana, kita langsung ke tempat parkir mobil karena akan pulang bareng Ardi. Gue sempat bingung mau duduk di bangku depan atau di bangku tengah. Nenno kan' di tengah, kalau gue di tengah juga, Ardi jadi kayak supir. Kalau di depan... ah, malu gue. Pasti diledekin sama Nenno.
"Udah, depan aja!!" Kata Nenno di telinga gue sambil melotot. Haduh...
"Gue duduk dimana nih, Pak Min?" Tanya gue ke Ardi.
"Di depan aja, temenin gue. Butuh navigator nih, udah agak ngantuk." Kata Ardi.
"Tuh, dengerin kata Pak Min." Timpal Nenno.
Sial!!
Akhirnya gue duduk di bangku depan juga. Canggung banget. Nenno sengaja banget duduk di belakang Ardi dan mulai ngeledek dengan memasang mimik wajah yang lucu saat gue menoleh ke arahnya sedikit. Mobil mulai meninggalkan basement. Sylvia sms lagi.


"Cieeeh... pulang bareng! He's nice by the way. Ayo, sikat!!"

Gue tertawa kecil.

"Sikat gigi? Aduh, aku deg-degan nih. Duduk di sebelah dia, sementara Nenno di belakang Ardi."


"Ciee... nggak bisa tidur deh!!"


Antrian untuk keluar mall lumayan panjang. Nenno mulai makan burgernya. Gue mengingatkan dia supaya nggak mengotori mobil karena ini mobil Nino. Suasana hening sesaat... lalu suara aneh muncul. Haduh, perutnya Ardi minta diisi. Gue memandang cowok yang sekarang terlihat salah tingkah itu, lalu pelan-pelan tawa kami meledak. Gue mengambil burger yang tadi gue beli, gue buka bungkusnya, lalu gue sodorin ke Ardi. Ardi memandang gue dan burger itu bergantian.
"Eh, gimana makannya?" Tanya Ardi.
"Udah tinggal buka mulut, terus gigit, telen, kalau seret, gue bawa minum kok. Ayo.." Gue mengangguk meyakinkan, tapi Ardi kayaknya masih bingung. Aneh kali ya...
"Daripada kena maag, ayoo! Tangan gue pegel nih lama-lama."
Agak ragu, kepalanya maju mundur, tapi akhirnya dia gigit juga, lalu dia menengok dan tersenyum ke gue.
"Elo nggak laper, Dee?" Tanya Ardi. Mulutnya sudah kosong. Gue menggeleng dan menyuapi burgernya lagi ke mulut cowok itu, begitu terus sampai akhirnya habis. Gue tersenyum lebar sambil memberikan tisu ke Ardi.
"Sini tisunya, jangan dibuang sembarangan." Gue menukar tisu dengan botoh air mineral yang sudah gue kasih sedotan. Gue menyatukan sampah yang gue pegang di tempat Nenno duduk, lalu mengambil air mineral yang diangsurkan Ardi ke gue.
"Makasih, ya.." Kata Ardi.
"You're very welcome."
Sudah sampai Dewi Sartika, sebentar lagi perempatan Kalibata, nggak terlalu macet, tapi entah nanti di jalan raya Bogor gimana.
"Mereka keren, ya. Orangnya juga baik-baik. Humble." Kata Ardi.
"Siapa?"
"Backalley."
"Iya dong, dokter. Apalagi vokalisnya, ya nggak, tante?" Kata Nenno. Agak rese yaa... udah tau ada gebetan gue. Ardi memandang gue, sepertinya bertanya-tanya gitu.
"Adhe juga baik, ya, No? Paling keren malah. Aaaa... kak Adhe!!" Gantian gue meledek Nenno.
"Ah, tante... dia kan punya pacar."
"Hehehe... cari lagi yang lain. Jadi suka kan sama mereka?" Tanya gue ke Ardi.
"He? Backalley? Gue normal, kok. Suka sama cewek, hehehe..."
Gue tonjok bahu kirinya.
"Musiknya laaah.... payah nih, pak supir."
"Haha... Keren, kok. Live-nya mereka... kualitas internasional."
"Setujuuu..."
Ternyata sedikit padat di jalan raya Bogor. Kita terus mengobrol. Aaah... Seru banget malam itu. He is super nice. Kalau masih jam 9, gue pasti mampir dan bikinin dia teh tarik. Ini udah hampir setengah sebelas malam. Ardi menurunkan gue dan Nenno di gang rumah kita. Nenno turun duluan.
"Makasih, ya... tumpangannya." Kata gue.
"Iya. Makasih juga burgernya. Disuapin pula." Balas Ardi.
"Hehe... yuk. Duluan ya.."
"Iya. Malam, Dee."
"Selamat malam, dokter Min."
Gue pun turun dari mobil dan Ardi jalan lagi menuju rumah kosnya. Aaah... Nenno masih belum masuk ke rumah. Dia malah cengar-cengir gitu. Aaaah... Jadi ikut-ikutan cengar-cengir deh. Wajah gue memerah. Mungkin malam itu telinga Ardi panas karena gue dan Nenno terus membicarakan dia, belum lagi sama Sylvia di telpon. Mau tau cerita setelah kami pamit katanya.
Sebelum tidur, gue mengulang terus lagu The Only Exception-nya Paramore di musicplayer handphone adik gue. Tuh anak udah tidur nyenyak, jadi dia nggak akan mencari-cari hp-nya.

I've got a tight grip an reality, but I can't let go of what's in front of me here... I know you're leaving in the morning when you wake up... leave me with some kind of proof, it's not a dream.... you are the only exception...