Jumat, 28 September 2012

30 Reasons To Smile - Chapter 74

Pa, aku udah bilang sama Glen tapi dia nya gak ada reaksi. Bahkan sekarang sudah berbulan-bulan setelah hari itu. Kami tetap berkomunikasi seperti biasa, tapi dia sama sekali gak mengungkit masalah itu. Mungkin dia memang menganggap aku teman biasa. Dia udah punya pacar. Oke, baiklah. Aku akan terima ini dengan lapang dada, pa. Setidaknya aku udah ngasih diri aku sendiri kesempatan.
Topik pertama yang keluar dari mulut gue saat berlutut di sana setelah meletakkan 2 buah mawar merah di pusara na and pa yang disatukan.
Sengaja ke London karena buku-buku jurnal pa sama Bill dijadiin sebuah buku novel yang indah sekali. Sudah jadi dan gue naroh satu salinan nya di makam pa. Setelah nya ketemu Danny yang mau liat-liat rumah pa. Akhirnya dia bosen tinggal di apartemen. Rumah ini, klo Danny mau, akan gue jual ke dia. Ini juga dengan catatan, klo dia mau jual rumah ini lagi, harus dijual ke gue. Keuntungan buku dan rumah akan disumbangkan ke yayasan sosial.
Danny suka sekali rumah nya, gak terlalu besar tapi nyaman. Dia juga sempet menanyakan hubungan gue sama Glen yang sepertinya, mengambil istilah nya dia, deket tapi gak berkembang. Glen sendiri sedikit tertutup kalau masalah hubungan nya memang. Gue cuma bilang..
" Yaaaa..begitu lah. "
Sambil tersenyum. Dia geleng-geleng gak ngerti dan ngangkat dua tangan nya dengan telapak tangan terbuka, minta penjelasan. Karena gue diem aja akhirnya dia gak nanya lagi. Dia tau klo gue gak mau cerita, berarti emang gak mau..blom mau tepatnya. Dia bilang sesuatu sebelum kami berpisah, pas dia meluk gue. Membenamkan badan gue di tubuh nya yang tinggi besar itu.
" I'm around, sweetheart. Always. "
" Thanks, Danny. " gue mendongak tanpa lepas pelukan nya.
" And you know my home. "
Kami berdua ketawa. Dia tadi sempet nonjok bahu gue karena gue blom beli album-album nya The Script. Nanti akan dikirim ke kantor gue kata nya.
" Pantesan aja mandek. " kata Danny tadi.
" Apa nya? " jidat gue berkerut.
Gak jawab, dia malah nyengir. Dasar cowok random.
Tidak mampir ke Dublin, selain karena cuma bisa ijin dari kantor 2 hari, gue juga mengurangi intensitas ketemu Luke langsung, takut gak bisa lepas dari dia. Akan aneh kalo gue deket-deket sama anak dari laki-laki yang sangat gue sayang tapi dia udah punya pacar. Awkward. Indeed.
Begitu kembali ke LA situasi agak hectic karena kejadian juga Bill sama C putus. Bill mergokin C berciuman mesra sama seorang cowok di sebuah bar. Kakak gue yang baik itu patah hati karena hubungan C lebih dari sebuah ciuman sama laki-laki itu.
Jadilah yang in charge di kantor adalah wakil direktur sama gue. Kewalahan. Ampun.
Gue juga selalu ke rumah Bill setelah pulang kerja. Dia cuma di kamar seharian, tidur dengan tirai-tirai yang tertutup. Sebentar lagi sakit bisa-bisa. Bukan cuma sakit hati doang. Ternyata angel on a dirty face gue ini bisa hilang pegangan juga yah?! Dikira dia lebih kuat dari gue klo masalah patah hati, ternyata enggak. Kami sama.
" Bill! Makan! "
Mum tadi mampir ke kantor bawa makanan. Dia tau gue tidur di rumah Bill terus sekarang, sejak sehari setelah dateng dari London.
Gue tarik selimut nya. He's sleeping dan make penutup mata pulak. Buka tirai kamar nya, at least lampu jalanan masuk ke dalem. Kamar ini masih rapih tapi aura nya suram. Bill narik selimut nya lagi. Gue ambil selimut itu dan gue hempaskan di sudut kamar. Lalu mulai cerewet, berkicau kaya burung sambil berjalan mondar-mandir di kamar nya. Mengulangi kalimat-kalimat nya pas dia tahu Glen lah penyebab gue berontak dulu.
Tapi lama-lama capek karena Bill gak berkutik. Kepala gue penat sama kerjaan dan Bill blom makan lebih dari 2 hari. Gue duduk di atas tempat tidur king size nya itu, bersila menghadap kakak cowok gue.
" I miss you. I miss my brother. You must eat something. "
Lalu mata gue mulai berkabut. Nangis sesenggukan sambil berulang-ulang ngomong 3 kalimat itu.
Lebih baik diisengin ratusan kali sama Bill di kantor. Dikasih banyak kerjaan, disuruh mondar-mandir ke percetakan daripada kaya gini.
" I'm lost without you. " I kiss his forehead.
Lalu menyusut hidung dan berdiri, butuh air untuk menjernihkan pikiran. Cuci muka akan terasa cukup untuk saat ini.
Antara seneng, haru, dan kaget liat Bill di dapur, manasin makanan bikinan mom seperti nya. Dia nyuruh gue duduk di kursi tinggi tanpa senderan dengan isyarat jarinya, lalu naroh piring di meja keramik depan gue dan ngisi pake makanan dari microwave. Ambilin gue minum juga. Dia ngelakuin yang sama buat diri nya dan kami pun makan dalam diam. I couldn't ask for more. This is enough for today. Progress.
Besok malem nya, lebih baik lagi ternyata. Ini malem pertama gue sampe sana tanpa liat dia masih tidur dan ada bau masakan enak memenuhi rumah. Makan malam lalu kami duduk di sofa ruang tamu sambil minum red wine. Malam ini saya akan menjadi pendengar buat Bill. Gak ngelakuin yang lain.
Malam berikut nya, iseng, gue make gaun C yang ternyata ada di closet lebar nya Bill, semua dikembaliin aja gtu.
C sedikit lebih kurus daripada gue tapi baju itu pas bener di badan.
" Ini baju mau diapain? " kata gue sambil pose. Bill motret gue.
" Buang aja. "
" Disumbangin aja gimana? Ada loh yayasan yang emang bergerak di hal kaya gini. Boleh? "
" Lebih baik gtu yah? "
Gue ngangguk dan dia setuju. Sepatu Manolo nya sayang tapi..gue gak suka sih pake high heels. Tapi mau diapain juga sepatu ini? Agak gila malam itu karena gue ambil pisau di dapur, difoto dengan tema mad bride. Bill sampe ketawa terbahak-bahak. Well, at least I can hear it again.
Luke protes karena gue udah lama gak skype sama dia. Begitu udah ngerasa bisa ninggalin Bill sendiri, gue tidur di flat lalu langsung bertatap muka di dunia maya sama Luke. Miss him too!
Baru lega setelah hari yang seharusnya hari pernikahan Bill dan C lewat. Sudah tanggal 27 April sekarang.
" Packing! " kata Bill jam 11 pagi pas gue baru aja selesai ngerjain email-email yang masuk. Berdiri di depan cubicle.
Melongo.
" Kapal pesiar 5 hari nya sayang. Ayok ke Florida sekarang! 3 jam lagi pesawat nya berangkat. "
" What? "
Ditarik-tarik sama Bill, berdebat apapun tetep aja dipatahkan dengan argumentasi nya. Kerjaan gue ada yang megang lah, dia udah bilang sama mum lah, semua beres klo gue ikut dia naik kapal pesiar.
" Ayo cepet! "
" Bentar! " gue hampir ngelupain paket yang baru dateng tadi, dari Danny dan blom sempet gue buka.

Sabtu, 15 September 2012

30 Reasons To Smile - Chapter 73

Cinta.
Semua orang punya cerita cinta masing-masing. Tapi cinta pastilah berakhir dengan perpisahan, entah karena cinta yang berkurang sampai hilang dan memutuskan untuk berpisah atau bisa juga perpisahan yang paling tidak diinginkan, perpisahan karena kematian.
Itu hal yang membuat gue termenung hari ini.
Na hanya bisa hidup tanpa pa seminggu saja. Sekali lagi gue bersyukur karena sehari setelah pa dimakamkan, gue mengikuti kata hati gue dengan memperpanjang masa tinggal di London. Tadi nya mau dua minggu, tapi ternyata gak sampai selama itu.
3 wanita 3 generasi duduk di beranda setiap hari selama 2 jam tiap habis makan siang dan malam. Kami bertiga berbagi cerita tentang 1 laki-laki yang sangat kami cintai itu. Kadang menangis tapi lebih sering tertawa. Hidup pa adalah sesuatu yang perlu dirayakan, jadi air mata kesedihan itu lebih jarang muncul dibanding tawa lepas kami.
Semakin banyak yang diceritakan mum and na tentang pa, gue semakin sayang sama beliau. Dan beliau ternyata mewariskan sebuah buku jurnal nya yang sudah usang, 3 buku. Menceritakan 3 era. Sebelum dan sesudah menikah dengan na. Dan era yang terakhir yang paling spesial, buku yang disebutnya era gue. Iya! Ternyata pa selama ini selalu menuliskan apa saja yang kami berdua alami. Perasaan pa dituangkan dengan indah waktu mum bilang pa akan dapet cucu perempuan 20-an tahun yang lalu, sampai momen terakhirnya sama gue kemaren, setelah kami ngobrol di malam itu.
Sama sekali gak nyangka gue akan dapet warisan seberharga ini! Cara pa menulis juga sangat apik, mengalir seperti cerita para penulis handal, mungkin ini yang dinamakan bakat. Buku-buku itu terlalu menarik sampai delay pesawat tujuan Dublin yang sedang gue alami sekarang sama sekali gak terasa. Pandangan gue menerawang lagi, jauh ke New York. Di mana sepertinya akan terjadi perpisahan karena keadaan.
Sebelum Bill berangkat ke New York dia cerita klo entah mengapa dia merasa ada yang lain sama diri C. 'Lain' nya adalah mereka sangat susah punya quality time lagi. Gue menghibur Bill dengan bilang klo C pasti sibuk, EO nya itu kan sedang banyak dipake orang karena sebulan yang lalu dipercaya sama salah satu selebriti hollywood untuk merancang pesta pernikahan nya, termasuk pesta lajang nya yang mengundang banyak kolega sesama artis maupun pelaku bisnis hiburan. Gue selalu menyebutkan pemikiran-pemikiran positif yang gue harap memang terjadi, sementara jauh di sudut hati juga merasakan bahwa ada yang berubah dari C yang sudah jarang sekali berkomunikasi via sms sama gue. Klo masalah ini gue belom bisa jujur sama Bill, masalah nya gue blom punya cukup bukti konkrit untuk mendukung asumsi gue.

Dari 2 itu, kisah gue sama Glen akan berakhir seperti yang mana?

Pesawat ini sebentar lagi akan mendarat di Dublin, kepala gue berputar di pertanyaan itu dari gue buckle up sabuk pengaman sampai pengumuman klo pesawat sudah berhasil mendarat mengudara.
Mana pun yang digariskan Tuhan, gue gak akan pernah menyesal pernah kenal sama Glen. Mencintai dia dengan sepenuh hati, tulus dan cukup. Laki-laki terindah, luar-dalam, yang pernah mencintai gue.
Menikmati siang sampai sore di Grafton Street. Malam ini akan ke rumah ma and da nya Glen, mau anter Luke setelah kami akan jalan-jalan dulu seperti waktu itu. Glen nya sendiri gak ada di Dublin, lagi ke luar negeri touring kata Luke, entah ke negara mana kali ini. Masih gak yakin apa gak ketemu Glen itu lebih baik buat gue atau enggak.
" Kay?! "
Mendongak dan menemukan wajah Nina. Gue meluk dia erat sekali. Lalu kami duduk di deket Molly Malone statue sambil makan kentang goreng.
" One more chance. "
Gue tersenyum setelah menceritakan apa yang dibilang pa tentang Glen.
" Tau kenapa kaya nya lu gak bisa jauh dari dia? Selain karena sayang yaaa... "
Gue menggeleng.
" Dia itu memperlakukan lu spesial, protektif seperti ayah ke anak nya. Lu kenal dia setelah ayah lu meninggal, jadi wajar lah lu gak bisa lepas dari dia. "
" Bisa jadi. "
" Give yer heart a chance. One more chance. Say that ye love him. Setelah itu lu akan tau kemana langkah selanjutnya. "
" Gue ngumpulin keberanian dulu. "
" Iya. It's not that easy I know. Gue sih tetep anggap kalian udah satu pasang. "
Gue tersenyum.
Memeluk Nina lalu berpisah, will catch Luke at his school. Just like our last met. Already told his na and da earlier.
" Just like our last one! " kata Luke begitu liat gue di depan sekolah nya. Sekolah yang beda dari 2 tahun-an yang lalu.
" Nice to meet you again too.. " gue tersenyum.
" Haha! Sorry. Get too excited. "
Peluk anak itu. Sudah besar. Lebih tinggi dan lebih tampan. Dan harum.
" Sudah besar sekali kamu, dear. "
" Iya dong. Nenek kan jago masak. Dad juga. " lalu dia nyengir.
" No doubt about it. Let's go. "
" Where? You're not gonna show up then leave again, aite? " wajah nya berubah cemas.
" Sorry. I'm leaving tomorrow. I hope I could take you to New York. "
" I wish. Dad said it's the best city in the world..well, after Dubz. "
" Yea. Kind of. " tersenyum lalu merangkul bahu nya.
Luke sudah makan, kami pun pergi ke karnival, semacam pasar malam. Bersenang-senang sampai beberapa jam kemudian lalu pulang. Sudah janji akan makan malam bersama di rumah orang tua Glen. Rumah yang waktu itu gue singgahi sehabis bertengkar sama mum, iya, rumah yang gue kira rumah Glen itu. Rumah di mana pertama kali nya gue..yeah, sudahlah.
Akan aneh kalau gue tidur di kamar Glen. Akhirnya gue minta Luke tidur di kamar Glen sementara gue tidur di kamar nya. Dia setuju tanpa banyak bertanya, he almost knew everything about me and his dad.
Tidur gue nyenyak malam itu. Luke sempet pamit pergi ke sekolah dianter kakek nya sementara gue masih setengah sadar. Gue cuci muka dan sikat gigi lalu keluar kamar untuk ambil minum di kulkas.
Tersedak hebat karena pas gue berbalik sambil minum, Glen masuk ke area dapur. Kata nya di luar negeri?
" Are you okay, Kay? " Glen mendekati gue dan menepuk-nepuk punggung gue pelan.
Sekuat tenaga menetralisir tenggorokan dan dada gue..ngangguk-ngangguk sambil terbatuk-batuk kecil.
" Harus nya kamu gak kaget, aku kan tinggal di sini. Aku yang harus nya kaget. "
Lalu dia ketawa. Kenceng dan lama. Tapi begitu liat gue cemberut karena ngerasa dia ngetawain gue, dia pun gak enak dan diam. Hening sejenak..lalu kami pun ketawa bareng-bareng. Kejadian yang aneh tapi lucu.
Selanjutnya..
Seperti mimpi indah. Sarapan bareng. Dia cerita klo pulang ke Dublin lebih awal karena kangen sama Luke. Dia anterin gue nemuin Shane untuk ambil titipan gitar akustik yang akan gue hadiahkan untuk Luke.
" You don't have too. "
" Kata kamu. He's my bestfriend. Masa gak boleh ngasih hadiah ke sahabat sendiri? Iri yah aku kasih dia gitar? "
" Bukan iri sama gitar nya. " kata Glen.
Kami lagi di perjalanan ke Graffton.
" Trus? Iri sama apa? "
" Iri dan lega sih sebenernya. "
Jidat gue berkerut.
" Kenapa bisa? "
" Iri sama hubungan kalian yang sedekat itu. I used to be your bestfriend, you know. "
" We were. But you know we can be bestfriend again. "
" Mau nya begitu. "
" Kenapa pake kata 'mau nya'? "
Glen diam. Kami baru ngobrol lagi setelah sampai tujuan dan duduk di restoran favorit kami berdua. Ngobrol yang ringan-ringan sampai akhirnya dessert kami datang.
" I'm so sorry about your grands. "
" They're together again now. That's all that matter. "
" True. " tersenyum manis sekali laki-laki di depan gue ini.
Karena dia menyinggung na and pa, gue jadi pengen cerita tentang malam terakhir pa sama gue waktu itu.
Baru mau cerita, Glen sudah bersuara lagi..
" I'm seeing someone now. "
Seketika semua terasa berhenti bergerak. Dada gue seperti disedot sehingga paru-paru jadi hampa udara. Tangan gue yang baru menyendokan tiramisu ke mulut lumpuh. Di mulut pahit lebih terasa dominan.
" Oh, well. Great news then. " gue tersenyum 2 detik. Palsu.
Berbohong. Menyendokan tiramisu lebih banyak sampai mulut penuh sehingga gue gak perlu bersuara dan menunjukan kalo tenggorokan ini tercekat karena menahan tangis.
Entah jago akting atau memang Glen gak liat gue sedikit berbeda dari 30 menit yang lalu, tapi setelah nanya basa-basi yang langsung gue belokan ke topik lain, akhirnya kami memutuskan untuk pulang.
Ketemu Luke lalu Glen akan anter gue ke bandara. Tahan tangis mu sampai di pesawat, dee.
Luke seneng banget liat ayah nya dan tambah seneng dengan hadiah dari gue. Sedikit sedih begitu tau gue akan pulang.
Berpikir sepanjang jalan. Omongan pa supaya gue bilang ke Glen klo gue sayang sama dia, omongan Nina..
" Thanks udah anterin aku. " kata gue sambil meluk Glen.
" No problem. See ye around. "
Ragu gue melepaskan pelukan nya dan tersenyum. Melambai lalu berbalik..kapan lagi klo gak sekarang? Wajah kakek melintas.

" Kalau dia memang the love of your life, yang seperti nya memang ada nya begitu, fight for him, lof. Say it at least one more time. Klo dia gak merasa hal yang sama, yang klo pa lihat gak mungkin, ya sudah berarti bukan dia jodoh kamu. "
 

Cuma bilang perasaan lu doang, dee.
Lalu wajah Luke setelah meluk gue tadi, sebelum gue masuk mobil yang disupiri ayah nya..
" Tell him. Just tell him. Apapun yang terjadi, jangan ragu. " lalu dia mencium pipi gue sementara gue masih memikirkan apa maksud anak itu dengan kalimat barusan. Apa dia tau gue sayang sekali sama ayah nya dan berusaha untuk bilang hal itu? Oh, little furze..
Gue berhenti berjalan, menarik nafas lalu berbalik. Glen baru saja mau balik badan, jalan ke arah pintu keluar bandara.
" Elvis! " gue manggil dia sambil jalan mendekat.
Glen langsung menoleh dan begitu dia liat gue jalan ke arah nya, dia diam. Tersenyum.
" Masih ada panggilan itu? "
" Always. "
" Ada yang ketinggalan? " kata Glen pas gue ada di depan nya, berdiri mengatur degupan jantung yang interval nya semakin naik.
" Iya. "
" Apa? Di rumah atau di mobil? Klo di rumah nanti aku paketin aja. " kata nya serius.
" Gak bisa. Harus diambil di sini. "
Jidat Glen berkerut.
Gue mendekat kan muka ke muka Glen lalu mencium nya. Lama dan penuh passion. He's kissing me back.  I didn't expect this tapi gak dipungkiri gue seneng juga. Bernafas adalah hal yang menghalangi gue untuk meneruskan. Gue taroh satu telapak tangan gue di rahang nya, menatap dia lembut lalu meluncurlah kalimat-kalimat ini, yang gue pendam sejak malam itu di London.
" Glen, di kepala ku berkecamuk macam-macam kalimat yang ingin aku lontarkan. Tapi entah kenapa mulut ku gak bisa berucap. Sebelum aku naik pesawat aku harus bilang ini dulu supaya aku lega. Glen Joseph Power, I love you. Always am and always will. "
Muka Glen terlihat kaget.
" Don't say anything. I just want you to know that there's no one but you. Cuma kamu. Aku gak berharap kamu kembali, sekarang kamu punya seseorang yang aku tau dia pasti yang terbaik. Aku cuma mau kamu tau. Itu aja. "
" Aku tau. " kata nya mengangguk lalu tersenyum.
Panggilan pesawat ke London pun bergema. Sekali lagi kami berpelukan. Glen mencium jidat gue sebelum melepaskan pelukan nya.