Senin, 03 Agustus 2015

Paleo. (Part 2)

Cantik nya Swiss!
Mungkin orang-orang yang stress atau depresi bagus nya pindah ke sini. Terutama ke Nord. Atau daerah mana saja yang masih dekat dengan Alpen.
Saya lihat di line-up hari ini penyanyi internasional nya ada Robbie Williams, tapi terlalu malam. Saya takut pulang sendirian. Walau Stephan sudah berpesan, kalau butuh jemputan saya harus telepon dia.
Banyak juga panggung nya, ada 6! Keren memang Eropa kalau mengadakan festival musik. Selalu megah dan ramai.
La Grande Scène itu panggung utama, artis nya macam Robbie Williams dan Pharell. Ada lagi panggung dengan nama Les Arches. Lalu yang unik Le Club Tent, musik-musik nya kebanyakan disko. Selanjutnya ada La Ruche (the hive), Le Dôme (the Dome) dan yang terakhir panggung yang sering dipakai band lokal untuk tampil dikasih nama Le Détour.
Setelah melihat-lihat semua stage dan beli makanan, saya duduk di dekat panggung utama. Beristirahat dan menenangkan diri. Jakarta, kenapa kau tidak bisa se-menyenangkan ini?
Hhhh..karena satu orang saja Jakarta bisa sangat menyesakkan.
Telepon selular saya berbunyi.
"Cepet pulang! Lu musti ketemu sama orang ini. Biar lu tau Arga yang lu sayang2 itu cuma cowok bangsat."
Editor saya, Kak Nila, kesambet apa ini? SMS begini, bikin inget apa yang mau dilupain. Huh. Malah jadi laper.
Iya, saya nekat pergi ke Swiss sendiri karena patah hati.
Ah sudahlah. Mudah-mudahan pulang dari sini saya bisa kembali jadi diri saya sendiri.
Sandwich sub sudah habis saya makan, lalu seenaknya merebahkan diri di rumput dan ketiduran.
Nyenyak tapi ternyata cuma 35 menit saya terlelap.
Menyaksikan band entah siapa di main stage dengan duduk ternyata menyenangkan juga. Dari awal sampai selesai saya di situ. Tapi kalau terlalu lama duduk rasa nya pegal juga, setelah encore mereka bawakan, saya pun berdiri dan mulai keliling lagi.
Tertarik dengan keunikan satu gimmick di festival ini, kolam lumpur! Iya, kolam lumpur!
Saya duduk tidak jauh dari kolam lumpur itu, tidak berani lebih dekat karena memikirkan keribetan membersihkan diri kalau terkena lumpur. Ikut tersenyum karena banyak orang yang diseret ikut masuk ke kolam itu. Mungkin mereka datang bersama dan teman mereka tidak mau kotor.
Tertawa kalau ada yang berhasil diceburkan ke kolam itu setelah usaha keras teman-teman nya.
Di tepi kolam terdekat saya ada seorang cowok yang dengan riang nya masuk ke sana. Tingginya gak lebih dari 180 cm kaya nya. Memakai jeans dan kaos yang tidak lama kemudian tertutup lumpur semua. Keren nya, dia juga membiarkan wajah dan rambut nya terkena lumpur.
Saya menggeleng-gelengkan kepala tapi tetap tertawa kecil. Umur berapa pun manusia pasti tetap punya sisi anak-anak dalam diri mereka. Stephan menelepon.
"Gak, Stephan. Tidak lebih dari jam 9."
"Telepon kalau berubah pikiran."
"Siap! Thank you."
"No problem. Have fun!"
Memasukan telepon genggam ke tas kecil di pinggang. Tempat barang-barang penting. Di Eropa kalau tidak waspada bisa celaka. Saya memperhatikan sekitar dan tersadar kalau setengah meter di kanan saya ada orang yang baru saja duduk. Dia tersenyum balik waktu saya tersenyum.
"Traveller?"
Saya memandang nya lagi dan sepertinya pertanyaan itu memang ditujukan kepada saya.
"Sort of." kata saya singkat.
"Boleh?"
Dia memberikan isyarat kalau dia akan duduk mendekat. Saya mengangguk. Percaya saja kalau dia orang baik. Dia berdiri dan duduk berjarak kira-kira sejengkal di sebelah kanan saya. Setelah sedekat itu saya baru sadar dia itu laki-laki kaos-jeans yang saya perhatikan tadi.
"Bersenang-senang?" kata saya sambil tertawa.
"Selalu. Diusahakan selalu bersenang-senang."
Gigi-gigi nya rapih. Cuma gigi dan mata bagian tubuh nya yang tidak tertutup lumpur.
"Nice."
"Gak mau ikutan?" kata nya menunjuk saya dan kolam secara bergantian.
"No thanks. Saya ke sini sendiri dan hostel saya tidak di dekat sini."
"Oh begitu." dia mengangguk-angguk.
Hening.
"Are you okay?"
Pertanyaan nya bikin saya bingung. Orang asing ini seperti tahu sesuatu.
"Keliatan ya?" kata saya pasrah.
"Mata kamu." dia tersenyum.
"Kenapa mata saya?"
"Terlihat sedih."
"Really? Saya lebih percaya kalau kamu bilang kamu ini peramal."
Kami berdua tertawa. Dua orang asing yang bisa tertawa padahal baru 5 menit ketemu. Ajaib.
"Semua kejadian pasti ada hikmah nya. Memang klise tapi begitu ada nya. Hidup ini mau dibawa senang atau sedih, isi kepala kamu yang menentukan."
Menenangkan, apalagi dia terlihat tulus sewaktu bilang kalimat-kalimat itu.
"Mungkin karena masih belum bisa terima dijahatin sama orang."
Hidung saya mengernyit dan dia terseyum lembut.
"Semua yang kita lakukan di dunia ini akan berbalik pada kita cepat atau lambat. Kamu mau hal-hal baik terjadi sama kamu kan?"
Saya mengangguk dan dia melanjutkan ucapan nya.
"Nah, teruslah berbuat baik. Perbuatan jahat orang lain tidak usah dibalas, cepat atau lambat itu akan berbalik pada dia dan kamu akan lega."
Entah kenapa mendengarkan dia berbicara seperti itu saya merasa lebih tenang. Semua ucapan nya saya proses di kepala.
"Masalah cinta ya?"
Tebakan nya benar lagi.
"Kenapa?" baru kali ini dia bertanya.
"Seperti nya saya sudah berbuat yang terbaik untuk dia, tapi tetap saja.."
"Coba diingat dari awal, apa dia memang into you? Jangan ingat hal-hal yang indah-indah saja. Kamu sepertinya perempuan yang peka, yang punya feeling kuat kalau ada sesuatu yang salah terjadi."
"Iya."
Dia benar. Banyak hal yang bikin saya meragukan kesungguhan Arga sewaktu kami masih berpacaran dulu.
"Kuncinya hanya satu, laki-laki kalau sudah mencintai seorang wanita, dia akan melakukan apa saja untuk wanita nya, tanpa diminta. Kamu pasti bisa merasakan nya. Kalau dia cinta, dia akan memperjuangkan kamu. Apapun cara nya."
Semua yang dia katakan benar. Arga selalu marah kalau saya protes sewaktu saya mendapati perhatian berlebih nya ke 2 teman wanita nya.
Dia selalu marah kalau saya lihat chat bbm nya. Saya ingin lihat karena saya punya perasaan curiga. Arga selalu protes kalau saya pakai display picture foto kami berdua di bbm. Baru sekarang saya sadar saya benar. Dari dulu saya tidak yakin tapi saya pura-pura yakin. Arga tidak sesayang itu sama saya. Itu masalah nya. Kalau dia sayang, dia tidak akan melepas saya dengan mudah dan punya ban cadangan.
Angin berhembus dan baru kali ini saya bernafas dengan lega. Sudah tidak sesak lagi.
"Kamu sepertinya wanita yang baik. Kalau dia meninggalkan kamu, rugi nya ada di dia."
Dia mengedipkan sebelah mata nya dan tersenyum super manis. Menularkan nya ke saya yang sibuk mengangguk-angguk sambil tersenyum.
"Terima kasih...siapa? Daritadi kita ngobrol tapi saya belum tau nama kamu." kata saya sambil mengangsurkan tangan.
Dia menunjukkan tangan nya yang tertutup lumpur setengah kering.
"I don't mind." kata saya sambil menjabat tangan nya.
"Glen. Nama saya Glen."
"Gina."
Kami berdua tersenyum.
Sore yang indah di Nord. Glen sudah membuka mata saya. Orang asing yang baru saya temui tidak lebih dari satu jam yang lalu. Tuhan memang punya cara yang ajaib untuk membuka jalan bagi umat-Nya untuk menjadi lebih baik.
Thank God for Glen.

Paleo. (Part 1)

"Apa yang menarik lagi?" kata saya ke Stephan.
Pemuda Swiss itu memandangi brosur-brosur yang saya pegang. Tempat-tempat yang ditawarkan di brosur tersebut sepertinya sudah saya datangi semua.
"Uuumm..kamu masih muda. Suka musik pastinya kan?"
Saya mengangguk. Pertanyaan retorik karena dia tahu itu.
Dia memberi isyarat lewat telunjuk nya untuk menunggu sebentar lalu menghilang ke balik pintu. Ruangan tempat dia biasa menonton televisi atau membaca buku kalau tidak ada penghuni kamar hostel yang mencari nya.
Pria berumur 35 tahun itu keluar, berdiri di depan saya dan menaruh sesuatu di meja panjang yang menjadi penghalang antara kami.
Saya mengambil kertas persegi panjang itu dan membaca nya.
Paleo festival.
Terdengar familiar dan saya baru sadar kalau di beberapa tempat yang saya kunjungi di Nyon ada pamflet tentang acara ini.
"Ini tiket festival musik kan ya?"
"Iya. Tadi nya saya mau memberikan nya ke adik perempuan saya, tapi dia sepertinya tidak jadi pulang ke Nyon. Sibuk sekali dia tahun ini di Jenewa."
Festival musik nya berlangsung 6 hari dan ini tiket untuk hari pertama, selasa besok.
"Bagaimana cara nya sampai di tempat festival?"
Kami pun pindah ke ruang makan yang sudah mulai dipenuhi orang yang menginap di sini. Sambil makan malam, Stephan menjelaskan dengan detail semua jalur yang bisa saya gunakan untuk sampai di sana. Dia juga menunjukkan beberapa foto sewaktu dia dan adik nya ke Paleo tahun lalu.
Beberapa orang yang menginap di hostel ini bahkan ada yang menghadiri festival ini dari hari pertama sampai hari terakhir. Di sana banyak penjual makanan juga jadi tidak sedikit yang ada di sana sampai berhari-hari.
Stephan, dengan mata biru, muka pucat dan bibir merah tipis nya adalah orang yang sangat menyenangkan untuk diajak mengobrol. Semua informasi tentang Nyon bisa dengan mudah kita dapatkan dari nya sambil makan malam atau hanya sekedar minum kopi.
Pantas saja kalau hostel ini banyak direkomendasikan blog-blog traveller di internet. Tempat nya bersih, terjangkau dan Stephan tanpa disangkal adalah kelebihan hostel ini.
Dia tahu saya ke Nyon sendirian dan malam kedua saya duduk di ruang makan, dia menghampiri dan minta ijin untuk menemani. Mengobrol yang ringan. Saya kira dia mau marah karena kecerewetan saya tentang makanan tanpa daging babi yang selalu saya pesan, tapi ternyata tidak.

"Kenapa Nyon?" kata nya setelah saya cerita kalau ini pertama kali nya saya ke luar negeri. Sendirian pula.
Malam ketiga di Nyon. Malam kedua dia menemani saya makan.
Saya menggeleng sambil memajukan bibir sedikit. Entahlah.
"Random?"
"Mungkin. Atau mungkin saya ingin menjadi presiden UEFA selanjutnya. Mungkin saya bisa jadi ketua UEFA perempuan yang pertama."
Kami tergelak menertawakan hal yang mustahil. Dia tahu saya tertarik dengan sepakbola dan di kota inilah terdapat kantor UEFA. Tapi kan itu saja tidak cukup.
"Kenapa pergi?"
Saya cuma tersenyum.
Mendengarkan nya menggunakan bahasa Inggris, bahasa ketiga yang digunakan di kota ini, membuat saya senang, karena bagaimanapun aksen nya terdengar berbeda tapi unik. Enak didengar.
"Beban pekerjaan atau.....cinta?"
Dia sengaja membuat jeda yang panjang sebelum mengucapkan kata terakhir.
Saya mengedikkan bahu.
"Berarti cinta. Karena kamu bukan tipe orang yang tidak nyaman ada di rumah. Dan kamu juga sepertinya bukan pekerja kantoran."
Dia menebak dengan benar. Mungkin karena banyak memperhatikan para penghuni sementara hostel yang terus berganti setiap saat di tempat ini jadi dia tahu sekali karakter tiap pelancong.
"Dikecewakan?"
Mau tidak mau saya mengangguk.
Tapi setelah itu dia tidak melanjutkan bertanya.
"Cinta bisa merubah segalanya tapi kamu tidak boleh berubah menjadi orang lain karena nya."
Kalimat yang ada benarnya. Karena saya merasa saya berubah menjadi orang lain sewaktu saya bersama 'dia'.
Obrolan kami sempat terhenti karena ada penghuni yang meminta tambahan selimut. Sempat juga karena Tante Stephan yang adalah kepala koki di hostel ini minta dibantu mengambilkan sesuatu di gudang bawah. Anggur tepatnya.
Hostel ini bisnis keluarga, awalnya bisnis kakak-beradik Licht, tapi Martina Licht, ibu Stephan, meninggal beberapa tahun yang lalu, jadilah Stephan yang dipercaya melanjutkan.

Ini malam keempat saya di sini dan malam ketiga dia menemani saya.
Topik utama nya Paleo Festival.
Sounds fun.
Sendiri di festival musik. Duduk memperhatikan orang-orang dan atau menikmati siapapun yang sedang tampil sambil duduk di atas rumput dan memejamkan mata.
Baiklah. Paleo festival adalah keseruan selanjutnya!

Jumat, 01 Mei 2015

Mahesa Gina - Bab 5



Seminggu setelah itu, sepasang suami-istri datang ke rumah ku pada malam hari. Mereka mengembalikan dompet beserta isi nya. Aku bersyukur karena masih banyak orang baik di Jakarta. Semua masih ada di sana, termasuk uang ku. Mereka menolak sewaktu aku ingin memberikan uang itu, karena hati ku sudah mengikhlaskan uang itu. Tidak sempat berkenalan mereka langsung pamit karena hari sudah malam.
Aku masuk kamar setelah mereka pergi dan memfoto dompet dan isi nya lalu aku kirim via bbm chat ke Arga.
"Gak usah khawatir lagi, dompet nya udah balik."
Tidak lama kemudian dia balas chat ku.
"Alhamdulillah. Kok bisa?"
Lalu semalaman aku cerita tentang pasangan yang menemukan dan mengembalikan dompet ku itu. Aku ingat kalimat terakhir Arga waktu itu.
"Kamu jangan ceroboh lagi."
Membaca kalimat itu aku seperti bisa melihat nya tersenyum.
Arga jarang tersenyum tapi kalau sudah tersenyum, seorang Mahesa Gina langsung menyerah.
Karena jarang tersenyum itulah semua orang yang gak kenal sama dia akan bilang kalau dia itu pendiam dan penyendiri. Itu yang gak kenal sama Arga ya, aslinya sih anak nya bodor dan suka unpredictably hilarious. Kadang suka joget-joget di depan ku, atau sering nya sih kentut. Yep, dia sama sekali gak jaim di depan aku. Melakukan apa saja dan berdiskusi apa saja. APA SAJA.
Rasa nyaman nya sampai sejauh itu.

                                                                               • • •

Ibu membangunkan ku.
"Kamu kata nya mau makan. Kok malah ketiduran sampe sore gini di sofa?"
Pelan-pelan kesadaran ku kembali.
"Hmmmhh..iya, bu. Capek."
"Ya udah mandi, ibu bikinin nasi goreng ya."
Nasi goreng.
Gue mengangguk. Ibu pergi ke dapur.
Makanan favorit Arga itu pisang, sama nasi goreng. Dua itu gak akan pernah bikin dia bosan. Pisang 1 sisir juga akan dia abisin sendiri, makan siang sama makan malam nya nasi goreng juga dia gak keberatan.
Aku yang tidak begitu konsisten kalau dalam hal masak, pernah dua kali bikinin dia nasi goreng.
Dimakan habis sih, walau dengan masukan ini itu.
Pas pertama kali masak.
"Enak kalau ada irisan kol seger nih, yang. Kecap nya lagi. Kalau tambah ayam enak lagi nih, yang. "
Aku yang masak tapi dia gak tahan juga untuk ikutan.
Kedua kali nya.
" Harus nya kasih garem nya nanti aja pas nasi nya udah mau mateng jangan pas ngulek bumbu, yang. Cepetan aku udah laper banget sampe kepala ku pusing nih, yang. "
Setelah itu diabisin aja itu nasi goreng, aku dibagi nasi goreng nya juga enggak.
Nasi goreng buatan ibu itu enak nya luar biasa, dulu waktu masih sekolah hampir tiap hari aku sarapan nasi goreng.
" Udah ashar kan, nduk? "
Aku mengangguk. Dulu, Arga yang selalu mengingatkan aku untuk tidak lupa solat. Anak jebolan pesantren yang satu itu. Aku tersenyum mengingat pertama kali nya kami solat berjamaah, di rumah seorang teman. Pertama kali nya aku mencium tangan seorang laki-laki selain keluarga ku.
Dan mengingat kalimat indah yang pernah dia kirim via bbm chat..
" Kelak, aku ingin kita dekat.
Saat selembar sajadah dihamparkan, kau berdiri merapat sejengkal ke belakang di sebelah kanan ku. "
Aku cuma bisa meng-amin-kan doa itu. Berjamaah sekali saja terasa indah, apalagi selamanya?
Kalimat yang selalu dia ulang-ulang, lisan maupun tulisan, disampaikan kepada ku cuma satu,
"Aku gak ingin jauh dari kamu."
Dada ku sesak kalau ingat kalimat itu dan kenyataan nya sekarang.
Arga memilih pergi dan menutup semua akses komunikasi dari ku.
Aku benci sekali ketidakpastian dari kalimat yang terakhir kali dia ucapkan waktu itu,
"Kalau kita berjodoh, kita akan ketemu lagi Gina. Jodoh gak akan tertukar."
Aku tahu itu. Tahu sekali. Aku menghormati keputusan nya untuk mapan dulu sebelum memutuskan menikah, aku paham hal itu.
Gagasan ku untuk tetap menjalin hubungan sampai dia siap ditolaknya.
"Kamu bisa mendapatkan yang lebih baik dari aku. Yang lebih mapan dan siap menikah."
Dia lebih suka melihat ku menikah dengan orang lain dalam waktu dekat daripada menunggu nya mapan.
Dia lebih suka melihat ku menemukan laki-laki lain dan pura-pura jatuh cinta dan pura-pura bahagia sementara kebahagiaan ku ada pada nya.
Aku menjadi versi terbaik diri ku saat bersama Arga, aku menyadari hal itu, sahabat dan orang-orang di sekitar ku menyadari hal itu, tapi dia tidak menyadari nya. Ironi.

Kamis, 09 April 2015

Mahesa Gina - Bab 4



Rumah ibu terlihat lengang. Bapak sedang tidur siang. Sudah pensiun makanya gak terlalu banyak kegiatan.
Kamar ku masih ditata seperti dahulu, dengan hiasan dinding burung merak dan sebuah poster klub sepakbola kesayangan ku. Bercat warna biru dan di lantai terhampar kasur berukuran besar. Aku merebahkan diri di kasur itu dan merasakan nyaman yang selalu aku rasakan kalau sedang di sini. Ini baru terasa seperti rumah.
Aku sebenarnya masih betah tinggal di sini, tapi terlalu banyak kenangan sama Arga sampai akhirnya aku memutuskan mengontrak dan tinggal sendiri.
"Kamu mau makan apa, nduk?" kata ibu yang tiba-tiba masuk kamar.
"Nanti bisa cari sendiri, bu. Udah tidur aja. Aku sampe sore kok di sini."
"Ya udah ibu tidur di sini aja."
Alasan ku pindah dari sini karena ingin lebih dekat dengan kantor penerbit buku mungkin keliatan nya diterima sama ibu, tapi aku tau beliau tau alasan sebenarnya. Beliau tau aku terlalu bergantung sama Arga, makanya waktu semua itu berakhir, ibu tau aku kehilangan pegangan. Walau berat, akhirnya beliau merelakan putri satu-satunya ini meninggalkan rumah, hidup sendiri.
Sudah 4 tahun berlalu dan tadi sewaktu melewati tempat Arga kerja dulu, hati ku sakit. Melihat sofa coklat di rumah ibu pun...aku seperti disirap, bengong seketika. Aku dan Arga selalu duduk di situ kalau kami sedang berduaan di rumah ini.
Kapan ini akan hilang?
Kapan kamu akan membiarkan nya hilang, Mahesa Gina?
Pertanyaan itu lebih tepat dilontarkan sepertinya.
Entahlah, apparently misery is a very good bussiness. Belum tentu aku bisa menulis 9 buku kalau aku tidak patah hati.
9 buku bertema kasih tak sampai yang 3 di antara nya jadi best seller.
Terimakasih, Galang Arga.
Kak Nila tau, kalau aku sedang di rumah ibu berarti aku sedang tidak mau diganggu. Sedang berperan sebagai manusia anti-sosial. Sejak pesan terakhir nya tadi, dia sama sekali tidak menghubungi ku.
Meringkuk di sofa coklat sambil memeluk boneka paddington bear berjaket kuning. Sampai sekarang masih tidak mengerti kenapa dulu aku dan Arga memutuskan kalau hubungan kami baik nya tidak dilanjutkan. Dulu selama sebulan aku seperti mayat hidup, kalau Arga tidak datang dan memeluk ku, aku seperti perempuan yang tidak punya will to live. Bodoh memang. Tapi memang itu rasa nya. Sama sekali tidak melebih-lebihkan.
Aku yang dulu nya bisa melakukan apa-apa sendiri, jadi seperti itu.
Jujur, aku selalu menganggap aneh orang-orang yang bisa sampai bunuh diri karena patah hati. Tapi sekarang, aku tau rasa nya.
Tidak bisa bersama orang yang kita sayangi (dan sayang sama kita) itu terlalu menyakitkan. Dan selama masa-masa menyakitkan itu, kalau kita sampai sendirian, apa saja bisa terjadi, apa saja bisa kita lakukan. Segila apapun itu. Senekat apapun itu.
Dulu yang menemani aku melalui itu semua adalah Arga, walaupun aku tahu dia juga terluka, tapi aku tidak tau musti bergantung pada siapa lagi. Diri sendiri? Sama sekali gak bisa. Rasa nya kalau 24/7 tidur terus bisa dilakukan, maka aku akan memilih hal itu.
Orang yang sedang jatuh cinta lebih suka terjaga, sedangkan orang yang patah hati lebih suka tidur selamanya.
Tapi dulu ada titik di mana tidur dan terjaga rasa nya sama saja. Kepala ku tidak berhenti memikirkan Arga walaupun aku sedang tertidur. Sempat berpikir untuk menemui dokter ahli, biar aku bisa diberi obat anti depresi atau obat tidur, tapi aku takut akan efek ketergantungan nya.
Patah hati memang efek nya sedahsyat itu. Pun jatuh cinta.
Memang ada laki-laki yang lebih baik dari Arga, banyak mungkin. Tapi kalau hati sudah memilih, apa artinya jumlah yang banyak itu?
Arga memang seperti laki-laki kebanyakan, tapi pemikiran nya akan hidup membuat ku jatuh cinta. Rencana-rencana nya jelas, sosok lelaki yang bertanggung jawab. Aku jadi ingat kali pertama dia membuat ku jatuh cinta sepenuh nya.
Malam itu dia pulang kerja jam 10 malam tapi dia mengajak ku keluar untuk makan, kami belum berpacaran saat itu. Setelah menjemput ku di rumah, kami mampir dulu ke pom bensin. Karena pom bensin pertama yang kami datangi antrian nya cukup panjang, akhirnya kami pun pergi ke pom bensin lain, tidak jauh dari perempatan dewi sartika.
Arga mematikan mesin motor nya dan aku pun turun. Sewaktu aku merogoh kantung jaket, aku pun panik, dompet ku hilang.
"Dompet ku ga ada." kata ku panik.
"Hah? Kamu yakin bawa?" kata nya kaget.
"Iya. Tadi inget kan di lampu merah ada pengamen? Tadi nya aku mau kasih uang, tapi gak jadi. Aku inget itu terakhir aku pegang dompet ku." kata ku sambil mengingat.
Dompet kulit warna coklat pemberian teman waktu aku masih SMP. Uang nya sama sekali ga aku pikirin, KTP, SIM dan segala perintilan nya lah yang jadi masalah.
"Ya udah abis ini kita cari, isi bensin dulu." kata Arga tenang.
Setelah isi bensin, kami menyusuri jalanan yang kami lewati secara terbalik, lalu berakhir di lampu merah tempat aku terakhir merasakan keberadaan dompet ku di saku jaket.
2 kali. 3 kali. Sampai 5 kali bolak-balik hasil nya nihil. Sudah malam, aku yang tadi nya bersemangat ingin menemukan dompet itu berakhir pada pasrah. Ikhlas kan saja. Tapi Arga yang kepikiran.
"Uang nya ada berapa?" kata nya.
"Kaya nya 200-an. Udah diikhlas-in. Yuk cari makan." kata ku.
"Udah lemes aku, mana ketelen. Kamu mau makan?" kata nya, aku mengelus punggung nya.
"Gak mau kalo kamu gak mau makan." nafsu makan ku sudah hilang.
"Ya udah ga usah. Trus mau ke mana? Eh, udah jam berapa?"
"Jam 12 kurang 10." aku melihat jam di bb.
"Ya udah aku anterin pulang. Uang kamu nanti aku ganti. Yang masalah sih ATM nya."
"Ngapain ganti uang aku? Kan bukan kamu yang salah, aku yang ceroboh."
"Kan aku yang ngajak kamu jalan. Malem-malem gini juga."
"Ga usah, Ga."
"Kamu nih. Ga ngerti apa ya? Aku yang ngajak kamu jalan, aku yang harus tanggungjawab." nada nya meninggi, baru kali ini dia begitu.
"Gak papa, Ga."
"Aku anter pulang, abis itu aku muter sekali lagi."
"Hah? Gak. Ini udah jam 12, Ga."
"Gak papa."
"Arga, ga usah. Aku ikhlas."
"Iya aku pulang abis anterin kamu."
Gak berenti di situ, ternyata Arga bohong dan masih saja mencari dompet ku sampai jam setengah 2 dini hari.
Laki-laki ini bikin aku speechless. Dia marah waktu aku telepon menyuruh dia pulang, dan akhirnya dia baru pulang begitu hari makin malam tapi dompet ku ga ketemu juga. Harusnya kan kami makan. Harusnya dia istirahat.
"Maaf ya, gara-gara aku dompet kamu hilang. Nanti uang kamu aku ganti."
Malam itu Galang Arga membuat ku jatuh cinta sepenuhnya.

Jumat, 03 April 2015

Mahesa Gina - Bab 3



"Sorry, lagi gak konsen." kata ku kikuk.
"Gak papa. Uuumm..emang nya 'Ga' itu siapa?" kata Hilman penasaran.
"Itu...temen yang lagi ngobrol di bb chat sama gue."
"Oh." kata Hilman datar.
Aku tersenyum. Bagus kalau Hilman percaya sama alasan ku yang sekenanya itu.
Setelah nya obrolan kami pun berjalan biasa, tapi lebih ke basa-basi. Mungkin Hilman berpikir badan ku di sini tapi pikiran dan hati ku ke orang bernama 'Ga'.
Teteh pemilik warung itu tersenyum ramah waktu aku bilang terima kasih sebelum pergi dari sana.
Mungkin dia belum ingat pernah lihat aku di mana...dan sama siapa.
10:15 malam Hilman mengantarku sampai depan rumah.
"Terimakasih ya..atas semua nya." aku tersenyum, berdiri di sebelah nya setelah mengangsurkan helm yang aku pegang.
"Sama-sama. Terimakasih karena akhirnya sudah mau diajak keluar."
"Iya."
"Oke. Pulang dulu ya, Gina. Selamat malam. Selamat istirahat."
"Iya."
Hilman menyalakan mesin motor, tersenyum dan berlalu.
Baru buka pagar rumah, ada panggilan telepon dari Kak Nila.
"Pasti mau kepo." kata ku setelah menekan tombol 'accept'.
"Hahaha..menurut lo? Terus gimana gimana? Any progress I shud know?"
"What kind of progress, Mam?"
"Did he kiss you goodnite? Did he hold your hand?"
"None for those questions."
"Ah. Lame."
"You know I am."
"Kenapa Mahesa?"
"Apanya yang kenapa?"
"Hilman kurang nyambung sama lo? Dia gak gentleman? Gak nyaman lu jalan sama dia?"
"Nyambung. Gentleman. Nyaman."
Aku merebahkan badan di kasur. Tau-tau sudah sampai kamar aja.
"Then?What's wrong?"
"Nothing. It's just...I didn't hear a 'klik' yet..."
"Tadi di kepala lu ada siapa?"
"Gak ada siapa-siapa."
"Bohong. Pasti Arga."
"Ah?"
Denger orang menyebut nama nya saja..tangan kanan ku yang bebas sekarang memegang jantung.
Sesak lagi.
"Mahesa?"
"Iya, Kak."
"Kenapa lo?"
"Gak papa. Capek kaya nya."
"Ya udah mandi trus tidur. Lusa kita radio tour."
"Iya, Kak."
Sialnya insomnia malah menyerang.
Kepala ku memutar ulang semua kenangan bareng Arga.
Satu persatu. Per adegan. Sesak makin menjadi. Aku menangis tanpa mengeluarkan air mata sampai subuh.
Pagi nya, well jam 10 buat ku masih tergolong pagi, memandangi wajah di kaca wastafel kamar mandi dan terkejut sendiri. Dalam semalam wajah ku terlihat 10 tahun lebih tua.
Seperti ini juga tampang ku 4 tahun lalu, saat Arga memutuskan pergi setelah dia lihat aku sudah menerima kalau kami berdua harus putus.
Sebenarnya dia salah karena saat dia pergi itulah sekali lagi aku merasa patah. Lebih patah dari saat dia menyerah melanjutkan hubungan kami.
Saat kami bertemu, dan dekat, umur ku hampir 30 tahun sedangkan dia hampir 24 tahun. Awal nya kami tak mempersoalkan hal itu, karena masih merasa nyaman akan satu sama lain.
Mudah sekali jatuh cinta sama Arga. Walau kadang cuek nya setengah mati tapi makin lama perhatian nya makin terlihat. Dulu dia mengaku kalau di awal kami pacaran dia masih suka biasa aja sama aku.
Aku tertawa mengingat malam itu, malam di mana setelah sekian lama kami jalan tanpa ikatan apapun dan tiba-tiba dia mencium ku. Di sebuah kedai bakso. Iya di kedai bakso.
"Tapi kan sepi, yang."
Itu yang dia bilang waktu kami mengobrol setelah beberapa bulan kami pacaran.
"Tetep aja di depan umum. Kamu nih." gue mencubit perut gendut nya.
Kami berdua tertawa. Dia selalu bilang aku yang menyatakan cinta duluan dan ngajak pacaran pertama kali.
"Yaiyalah, kasian amat gue, udah diajak jalan, dicium tapi tetep aja dibilang cuma temen."
"Hehehe.."
Cowok pisces pemikir itu cuma nyengir. Hubungan kami hubungan yang penuh dengan diskusi. Banyak hal yang bisa kami bicarakan dan dia bilang cuma sama aku saja dia bisa terbuka diskusi apa pun.
Aku sendiri gak tau kenapa bisa begitu. Yang pasti, aku selalu suka kalau ada orang yang cerita sama aku, rasa nya dipercaya dan itu menyenangkan. Sangat menyenangkan.
Dan salah satu cara mendapatkan ide menulis adalah dengan hal itu, mendengarkan orang lain bercerita.
Dering telepon masuk membuyarkan lamunan ku. Aku meraih bb yang aku taruh di atas laci di sebelah tempat tidur.
Hilman.
"Ya, Man?"
"Hey, gue kira masih tidur. Chat gue blom dibalas-balas."
"Oh iya, sorry. Baru aja dari kamar mandi. Kenapa?"
"Gak papa. Cuma mau ngecek."
"Oh."
"Sama mau bilang, selamat pagi Gina dan selamat menjalankan aktifitas."
"Iya. Thank you."
"Hari ini jadwal nya apa?"
"Jadwal? Haha..udah kaya artis aja ditanya jadwal."
"Kan lu lagi promo buku baru."
"Oh..iya sih. Tapi hari ini ga ada jadwal apa-apa. Sepertinya mau ke rumah nyokap."
"Di mana?"
"Daerah timur."
"Sendiri?"
"Iya."
Setelah satu menit basa basi berikut nya aku memutuskan sambungan telepon.
Aku mau ke rumah ibu.
Arga, andaikan kamu masih kerja di dekat rumah ibu, sudah pasti aku akan melihat kamu.
Lalu kalaupun itu terjadi kamu mau apa Mahesa?

Rabu, 25 Maret 2015

Mahesa Gina - Bab 2



Tepat waktu, Hilman menjemput aku dari kantor sebuah majalah sesuai jam kami janjian, jam 5 sore. Cowok itu masih memakai kemeja kerja nya yang berwarna biru, jeans hitam dan sebuah jaket berwarna sama.
Aku baru saja menjalani sesi wawancara dan foto yang menyenangkan di sini.
"Hai. Cantik banget lu malam ini."
kata nya memuji.
"Cuma make-up plus hair do." kata ku jujur.
I'm not pretty, gak pernah berani berpikir kalau aku ini cantik malahan.
"Gak keberatan kan kalau naik motor?"
"Gak sama sekali."
Untung hari ini aku pake celana jeans, bukan rok.
Sudah lama gak naik motor sama selain tukang ojek, terakhir itu sama...sama siapa ya?
Oh. Sama mantan pacar yang itu.
Kami menuju parkiran motor di basement sambil mengobrol ringan. Motor Hilman jenis motor bebek dan warna nya kombinasi hitam-biru. Dia sudah menyiapkan helm untuk ku. Memutuskan gak pergi terlalu jauh dari gedung tempat majalah itu berada, tau sendiri kan jalanan Jakarta jam segini? 
Kami pun ngopi di salah satu kedai kopi ternama di dalam mall di bilangan Senayan.
Tanpa disangka obrolan kami mengalir begitu saja dan 2 jam sama sekali gak berasa.
"Mau makan?"
"Mau. Tapi gak mau di sini."
"Ikut gue."
"Kemana?"
"Gak keberatan makan di pinggir jalan kan?"
"Haha! Emang gue siapa? Gak keberatan lah."
"Yuk."
Hilman beranjak dari tempat nya duduk dan aku pun mengikuti dia.
Kembali menelusuri jalanan malam kota Jakarta yang kali ini sedikit lengang. Sesekali mengobrol dan merasakan kalau Hilman ternyata memiliki selera humor yang bagus.
Sedikit kaget begitu tersadar kalau kami berbelok ke tempat ini.
Panik menyerang. Udara yang terasa sejuk seperti nya tidak berpengaruh buat ku, butiran keringat mulai muncul di dahi.
Masa mau ke sini?
Tiba-tiba tremor dan benar saja, Hilman membelokkan motor nya ke kiri, memasuki sebuah taman kuliner di depan sebuah taman makam pahlawan di daerah Kalibata.
"Lu ga turun?"
"Eh..iya.."
Aku tergagap menyadari kalau ternyata Hilman sudah turun dari motor nya. Mahesa bodoh.
"Lu kenapa?" kata nya khawatir.
"Oh, gak papa. Hehe.."
"Gak suka? Mau cari tempat lain?"
"Oh..gak papa. Di sini aja."
Aku pun turun dari motor. Dada ini sesak begitu kami jalan ke arah barisan tenda makanan. Setiap langkah seperti mengulang kejadian dulu.
Sebelah kanan ada tenda pisang bakar yang gak begitu aku rekomendasikan, pisang yang disajikan blom terlalu mateng soalnya. Waktu itu kami coba makan di situ karena pisang bakar langganan kami tutup. Aku ingat malam itu aku tantang dia bikin puisi, dan akhirnya dia menunjukan tulisan di notepad bb nya,
"Aku mencintai mu, Mahesa Gina."
Singkat.
" Buat apa panjang-panjang kalau ini aja udah bikin kamu tersenyum." kata nya waktu itu menjawab pertanyaan ku kenapa puisi nya pendek sekali.
Dan malam ini aku tersenyum lagi mengingat hal itu.
"Gina?"
"Eh, iya kenapa?"
"Lu kenapa sih?"
"Emang gue kenapa?" kata ku berlagak bodoh.
"Haha! Lu ini. Dari pas kita jalan melewati tenda pertama, gue kan nanya mulu. Mau makan apa?"
"Eh, sorry. Uummm..ga begitu laper sih, tapi pisang bakar aja yuk?!"
"Eh, pisang? Uuumm.."
"Kenapa? Ga suka?"
"Gak begitu."
"Ya udah makan sate aja di sebelah nya, tapi kita tetep makan di tenda pisang bakar ya?! Tuh di sebelah situ."
"Your wish is my command, Gina."
Penjual nya masih sama, pasangan muda, suami istri asal Bandung yang punya seorang anak perempuan kecil cantik. Tapi hari ini dia sepertinya gak ikut ayah-ibu nya jualan. Padahal aku penasaran juga sudah sebesar apa dia sekarang.
Dari 5 kelompok meja yang disediakan, cuma 2 yang diisi pelanggan, aku dan Hilman memilih duduk di dekat etalase. Kalau dulu, aku dan dia sering nya duduk di meja paling kanan, dekat pintu masuk ke tenda ini. Aku memandangi 'meja kami' itu dengan hati miris, lalu merasakan lubang tak terlihat di dada ku. Sesak. Mungkin aku harus memalingkan muka ke arah lain.
Well, harus nya sih aku pergi saja dari sini.
Teteh yang jualan sepertinya familiar dengan muka ku. Tapi mungkin kah masih ingat? Sudah 4 tahun berlalu, pastinya pelanggan nya pun bukan aku saja.
Hilman memesan sate kambing dari penjual sebelah. Aku memesan pisang bakar plus keju dan teh tarik dingin.
"Suka pisang bakar?"
Aku mengangguk.
"Mau sate nya?" kata Hilman lagi.
Aku menggeleng.
Sebenernya gak begitu suka sama pisang bakar, yang jadi raja monyet mah si Ar..
"Gin?"
"Eh, kenapa Ga?"
Aduh salah manggil.