Sabtu, 17 Januari 2015

Teh Tarik - Chapter 15

Hari minggu. Masih rame aja taman monas. Daritadi jalan kaki muter-muter nyari tempat yang agak sepi biar enak ngobrol nya. Setelah merasa capek, entah memang harus diomongin saat ini juga atau apa, gue melihat spot sepi. Tangan Ardi daritadi gak lepas dari tangan gue. Dia ngoceh mulu.
Duduk di atas rumput yang memang boleh didudukin karena gak terlalu banyak.
"Jadi, kamu mau ngomongin apa?" kata nya.
Okay. Here we go.
"Kamu beneran sayang sama aku?" kata gue setelah menghela nafas panjang.
"Iya, aku sayang sama kamu teh manis." caranya dia manggil gue ngegemesin banget! Hah..godaan.
"Aku juga sayang sama kamu susu. Tapi kita beda." gue memberanikan diri menatap mata nya.
"Apa? Agama?" kata nya langsung.
"Iya. Apa mungkin bisa kalo iman kita beda?"
"Oma sama opa bisa kok walau beda."
Pernyataan nya itu bikin gue kaget.
"Maksud kamu?"
"Oma kan muslim, dee."
"Beneran?"
"Iya. Kalo kita datang dari pagi juga pasti kamu liat sendiri oma gak ikut ibadah."
"Oh gitu. Tapi aku sama oma itu beda, Ardi. Agama itu hal prinsip. "
"Iya aku tau. Aku ngerti."
"Would you listen until I am finished?"
"Oooppss..okay. I will."
Gue megang tangan nya. Di tempat temaram seperti ini gue bisa lihat mata nya penasaran, minta penjelasan lebih lanjut.
"Kamu, Minardi Genta Soehardiyanto..aku sayang sama kamu..tanpa rencana dan aku dua kali melanggar pengecualian aku. Aku ga mau terlibat lebih jauh dengan cowok oriental dengan alasan yang aku sendiri gak ngerti, that's first, kedua, aku gak pernah ngebiarin diri aku naksir lebih jauh sama cowok yang beda agama. It's bothering me dan itu hal yang paling berat aku langgar. I've crossed my own boundaries. You are my only exception."
"I love you, dee. "
Those 3 words bikin gue terpana. Sejauh itu? Aduh, gimana ini?
Lalu dia nyium bibir gue.
Dan salah nya gue bales.
Tapi gue langsung sadar dan lepasin bibir gue dari bibir nya.
Dugaan gue bener, makin hari gue akan makin cinta sama cowok ini.
"Ardi, dengerin aku sampe selese bisa?"
"Oke, maaf."
Dia mengangkat kedua tangan nya seperti seorang penjahat yang sudah menyerah.
"Aku bisa liat kita berdua barengan terus. I will love you more and more each day. Tapi...aku gak bisa. Agama itu adalah hal yang terlalu prinsip buat aku. My mom will hate me dan aku gak mau durhaka sama orang tua aku."
"Kalo aku jadi muallaf?"
"Jangan pindah agama karena cinta sama manusia nya, tapi karena cinta sama Tuhan nya."
Kalimat itu cukup mengena, Ardi terdiam.
"Aku tau klo pacaran kita bisa putus. Tapi aku sama sekali gak mau ambil resiko akan jatuh cinta lebih dalam sama kamu, lalu buta dan gak mikirin orang tua aku. Your parent might hate me kalo seandainya kamu jadi muallaf. Aku gak mau bikin kamu jadi anak durhaka."
"Kenapa kamu gak mau mencoba? Sebulan lagi mungkin?"
"Apa beda nya sekarang dan sebulan lagi? Enggak mau. Trust me, selama ini aku udah nyoba, di. Sejak kamu bantu aku di kost-an Nino."
"Trus sekarang mau kamu gimana?"
"I'll let you go. Sebentar lagi juga masa koas kamu di rumah sakit selesa kan? Jalanin dengan tenang, fokus dan selesaikan semua. Be a great doctor. Terus ambil spesialisasi yang kamu mau. Jangan cari aku. I'm not included in your future."
"You don't love me."
"I do love you. Trust me."
"Then stay. Stay with me."
"Aku tau kamu akan lupa sama aku bulan depan kalo udah pindah rumah sakit."
"Kalo enggak? Gak ada obat buat patah hati, dee."
"Kata siapa? Akan ada obat nya, akan ada orang lain."
"Aku gak mau."
"Gak mau tapi pasti bisa. Berdoa saja semoga Allah buka jalan buat kita."
Ardi kaya lagi mikir untuk ngebantah argumentasi gue, tapi bingung mau ngomong apa. Gak punya kata-kata lagi untuk memperbaiki ini semua. Alasan mendasar yang sangat mendasar yang kadang dilupain sama pasangan zaman sekarang.
"Jangan pernah ragu akan satu hal. I love you. I am and will always be. Terima kasih atas semua nya."
Gue peluk Ardi yang seperti mematung, air mata gue jatuh. Dan lalu mulai terisak. Dia meluk gue balik.
Di kepala gue mengalun sebuah lagu.
"I know we can't be together cos something we both know. I'll try to forget for anything that we had ever done."
Somewhere Someone nya Backalley.
Lalu gue berbisik di telinga nya.
"Aku, sedetik pun, gak pernah berpikirn untuk pergi, tapi aku harus."
Melepaskan pelukan kami dan gue menatap dia, mencium rahang dia yang kiri dekat bekas jahitan itu..bagian wajah nya yang pertama kali gue cium dulu.
"Jangan kejar aku. I love you, Minardi Genta Soehardiyanto."
Gue berdiri dan tergesa pergi dari sana. Langit terasa lebih gelap. Udara terasa lebih sesak. Hati dan pikiran sudah tidak sejalan.
Berjalan cepat ke stasiun gambir yang letak nya gak jauh dari sana. Hapus air mata lu, dee.
Di stasiun ternyata sepupu gue gak sendiri. Nyokap juga ikut. Gue bilang sama nyokap klo Ardi nanya bilang aja gak tau. Hp akan gue matiin setelah ini, dan gue janji akan nelpon nyokap begitu sampe. Semua keperluan gue udah dibawain mereka di tas ransel besar.
Nyokap keliatan sedih, tapi beliau tau gue melakukan hal yang benar. Memeluk beliau erat sekali sebelum naik ke gerbong. Berterimakasih sama sepupu gue karena mau repot-repot mencarikan tiket kereta api secara tiba-tiba dan mepet gini.
Pamit dengan berurai air mata lalu mencari tempat duduk di atas gerbong.
Kereta Argo Lawu ini akan membawa gue ke Solo dan gue akan melanjutkan perjalanan ke Magetan dengan bus travel. Desa di kaki gunung lawu itu tempat gue menghabiskan masa kecil dulu.
Ardi sms. Gue memutuskan untuk membaca dulu sebelum nanti akhirnya hp ini gue matikan.
2 paragraf pertama dari lagu Best Regret nya Backalley.
"So you're standing still. My lungs can't feel, you've said to me there's nothing left to save. You left me here then disappear. Without a word to make me understand. You know I can't move on without you near. Feels like the world stop turn. Please don't give up on me. I can not leave without you.
There's not a word for me to say..to make you stay and here's my best regret for the best thing that I've ever get. I love you, dee. I am and will always be."
Gak gue bales. Semua yang mau gue utarakan, udah gue omongin ke dia tadi.
Switching off the cell phone.
Kereta mulai meninggalkan Jakarta. Gue nengok ke arah jendela dan mulai menangis.
I love you to letting go.

Sabtu, 03 Januari 2015

Teh Tarik Chapter - 14

Gue yang daritadi kebelet buang air kecil, pamit dulu ke toilet. Dianter Ardi sampe depan toilet. Agak berlebihan nih anak emang.
Baru sadar klo Odiee sms, nanyain gue ada di mana. Dia mau cerita sesuatu. Gue bales dan bilang posisi gue, eh, malah diledekin dan akhirnya dia nunda cerita.
Makan malam yang penuh sama cerita nostalgia oma dan opa. Opa nya Ardi itu ganteng sekali. Keturunan korea-jepang tapi lebih banyak darah korea nya. Sangat mirip Ardi. Dulu beliau kerja di bank swasta tapi sekarang udah pensiun. Jadi WNI sejak umur 25 tahun dan sekarang kerjaan nya ngulik saham dari rumah. Mereka sudah lama menikah dan cuma punya satu anak, ibu nya Ardi. Karena ortu nya Ardi sibuk sama bisnis mereka di Surabaya, Ardi pun diaasuh oma nya dari kecil.
Makan malam selesai dan opa pamit istirahat. Beliau hari ini hampir seharian berkebun jadi agak ngerasa capek. Sedangkan gue, oma dan mbak Narti sibuk lagi di dapur. Rasa bulgogi yang tadi dihidangkan di meja bener-bener masih berasa enak nya di lidah
Kami bertiga sibuk bikin tahu-tempe bacem, buat bumbu ayam bakar plus ngupas telur yang baru selesai direbus. Telur pindang dan bikin kuah opor buat tambahan gudeg nya.
Setelah semua selesai gue baru sadar klo Ardi gak keliatan daritadi. Tiba-tiba ngerasa ga nyaman karena penghubung gue ke keluarga ini gak ada. Mbak Narti sama oma sih menyenangkan tapi klo Ardi gak ada rasanya kurang.
"Kamu nyari Ardi?" kata oma ngagetin gue.
"Iya, oma. Dia kemana ya?"
"Tadi kata nya ada perlu mau keluar sebentar. Kamu udah mau pulang, dee? Gak mau nginep aja? Udah jam 12 loh ini.."
"Iya, oma. Gak papa pulang telat, tadi udah bilang sama ibu, klo nginep malah gak boleh."
"Ohh...ya udah. Nanti klo Ardi balik, biar dia yang anter kamu pulang ya?"
Gue mengangguk. Semua udah beres, tinggal ngasih instruksi ke mbak Narti buat besok. Warna gudeg nya cokelat kemerahan yang cantik, besok tinggal dikasih santan.
Gak lama Ardi nongol, mulai cerewet nyuruh oma nya istirahat lalu setelah oma nya bilang iya pak dokter berulang-ulang, dia pun pamit.
"Besok kalo mau dateng aja, dee. Gak usah pas kebaktian nya, atau gak papa dateng pas kebaktian, kamu bisa ngadem di halaman belakang." kata oma tadi.
Gue sih cuma tersenyum, Ardi bilang arisan tapi oma nya bilang ibadah, atau memang dua-duanya?
Di mobil udah kaya setengah sadar, ngantuk nya sama sekali gak bisa ditahan.
"Udah kamu tidur aja.."
"Hmmmm.."
Mata gue udah terpejam. Ardi nyalain radio Oz dengan volume yang gak terlalu kenceng. Kursi gue sempet dikebelakangin sama dia, jadi gue bisa bersandar dengan nyaman.
"Maaf ya gak bisa nemenin kamu."
"Udah,tidur aja sayang.."
Gue sadar kalo gue udah masuk alam mimpi pas denger Ardi manggil gue 'sayang'.
Gue terbangun dari tidur yang di rasa singkat itu sambil memperhatikan kondisi di luar. Udah masuk jalan ke rumah sakit aja ini.
"I slept like a pig." kata gue ke Ardi dengan suara sedikit parau.
He's smiling.
"No,you slept like a princess."
"Yeah rite." kata gue sinis.
Gue ambil minum di tas, menghabiskan sebotol air mineral itu berdua.
"Ke rumah Nino aja dulu. Nanti abis itu aku anter sampe rumah."
"Gak usah,aku turun sini aja. Kamu capek kan?Istirahat aja sana.Besok kan kita ke Serpong lagi."
Berhenti di depan gang rumah.
"Dee,besok beneran ikut lagi?" kata Ardi sambil nahan tangan gue.
"Insha Allah.Thanks ya,di.Nite."
Gue tersenyum lalu keluar dari mobil.

Teh Tarik Chapter - 13

Turun dari mobil dan gue terpaku. Rumah oma nya Ardi terlihat sangat nyaman, halaman nya luas. Rumah ini bertingkat dua namun terlihat sangat sederhana, gak berlebihan. Ardi tiba-tiba udah berdiri di sebelah gue. Klo dari obrolan via telpon sih oma nya Ardi terdengar ramah, tapi siapa yang tau?
Tangan Ardi menggenggam tangan gue, mata gue memandangi jalinan tangan kami lalu arah pandangan gue makin lama makin naik, dan akhirnya menatap dia yang terrsenyum lembut. Dia mencondongkan badan nya dan berbisik di telinga gue..
"No need to be worry. Kan ada aku." lalu dia nyium pipi gue.
Seperti dihipnotis, gue cuma bisa ngangguk. Setuju.
Sedikit menarik tangan gue, dia mengajak gue ke dalam. Baru masuk udah tercium bau masakan dengan dominasi bumbu ketumbar,lengkuas dan daun salam. Sangat Indonesia.
Gue seneng liat cara tangan kami terjalin. Terlihat pas. Kecuali warna kulit kami yang agak kontras. Hehe..
"Omaaaa..." Ardi manggil oma nya dengan nada kerinduan, seperti anak yang kangen sama ibu kandung nya.
Blom ada jawaban dan dia narik tangan gue ke bagian lebih dalam rumah itu. Rumah nya luas ke belakang, rapih dan gak terlalu banyak perabotan.
Ternyata oma nya ada di halaman belakang. Dapur nya di bagian belakang rumah dan karena hari ini masak besar jadi nya agak dilebarin lagi makanya ngambil halaman belakang sedikit. Sudah ada panci besar nangkring di atas kompor. Oma sendiri sepertinya lagi ngebersihin kacang tolo, salah satu bahan yang dipakai buat bikin sambel goreng krecek nya.
"Oma sayang.."
Ardi nyium tangan oma nya lalu nyium kedua pipi wanita cantik itu..terakhir dipeluk. Sangat sayang keliatan nya.
Gue kira oma nya berwajah oriental, tapi ternyata malah seperti wanita jawa keturunan keraton solo. Ayu dan anggun sekali, plus awet muda.
"Kamu ya, sombong banget baru pulang lagi. Mentang-mentang oma udah tambah keriput, udah ga pernah ditemenin."
"Oma perempuan paling cantik,apa nya yg keriput? Sibuk, oma? Tekanan darah gimana? Jantung normal? Ada keluhan?" Ardi megang pergelangan tangan oma nya sambil ngeliat jam di tangan nya.
Maklum aja ya, dokter, jadi concern bener sama kesehatan, apalagi ini oma nya. Dia pernah bilang klo memang merawat oma lah tujuan dia jadi dokter.
"Daripada meriksa oma yang baik-baik aja, mending kamu kenalin oma sama dee."
Gue tersenyum, Ardi sepertinya lupa kalo dia dateng sama gue. Memperkenalkan diri sambil nyium tangan oma, kebiasaan gue kalo berhadapan sama siapa pun orang yang lebih tua.
Setelah itu Ardi dicuekin sama oma nya yang sibuk menjelaskan ke gue apa aja yang sudah beliau lakukan pada isi panci besar itu. Mbak Narti, perempuan yang membantu oma di rumah ini lagi ambil kerupuk kulit yang sudah dipesan sejak tadi sore. Gue melihat jam di telpon seluler gue, jam 8 malam.
"Eh,kalian makan dulu yuk! Maaf ya, oma sampai lupa."