Kamis, 09 April 2015

Mahesa Gina - Bab 4



Rumah ibu terlihat lengang. Bapak sedang tidur siang. Sudah pensiun makanya gak terlalu banyak kegiatan.
Kamar ku masih ditata seperti dahulu, dengan hiasan dinding burung merak dan sebuah poster klub sepakbola kesayangan ku. Bercat warna biru dan di lantai terhampar kasur berukuran besar. Aku merebahkan diri di kasur itu dan merasakan nyaman yang selalu aku rasakan kalau sedang di sini. Ini baru terasa seperti rumah.
Aku sebenarnya masih betah tinggal di sini, tapi terlalu banyak kenangan sama Arga sampai akhirnya aku memutuskan mengontrak dan tinggal sendiri.
"Kamu mau makan apa, nduk?" kata ibu yang tiba-tiba masuk kamar.
"Nanti bisa cari sendiri, bu. Udah tidur aja. Aku sampe sore kok di sini."
"Ya udah ibu tidur di sini aja."
Alasan ku pindah dari sini karena ingin lebih dekat dengan kantor penerbit buku mungkin keliatan nya diterima sama ibu, tapi aku tau beliau tau alasan sebenarnya. Beliau tau aku terlalu bergantung sama Arga, makanya waktu semua itu berakhir, ibu tau aku kehilangan pegangan. Walau berat, akhirnya beliau merelakan putri satu-satunya ini meninggalkan rumah, hidup sendiri.
Sudah 4 tahun berlalu dan tadi sewaktu melewati tempat Arga kerja dulu, hati ku sakit. Melihat sofa coklat di rumah ibu pun...aku seperti disirap, bengong seketika. Aku dan Arga selalu duduk di situ kalau kami sedang berduaan di rumah ini.
Kapan ini akan hilang?
Kapan kamu akan membiarkan nya hilang, Mahesa Gina?
Pertanyaan itu lebih tepat dilontarkan sepertinya.
Entahlah, apparently misery is a very good bussiness. Belum tentu aku bisa menulis 9 buku kalau aku tidak patah hati.
9 buku bertema kasih tak sampai yang 3 di antara nya jadi best seller.
Terimakasih, Galang Arga.
Kak Nila tau, kalau aku sedang di rumah ibu berarti aku sedang tidak mau diganggu. Sedang berperan sebagai manusia anti-sosial. Sejak pesan terakhir nya tadi, dia sama sekali tidak menghubungi ku.
Meringkuk di sofa coklat sambil memeluk boneka paddington bear berjaket kuning. Sampai sekarang masih tidak mengerti kenapa dulu aku dan Arga memutuskan kalau hubungan kami baik nya tidak dilanjutkan. Dulu selama sebulan aku seperti mayat hidup, kalau Arga tidak datang dan memeluk ku, aku seperti perempuan yang tidak punya will to live. Bodoh memang. Tapi memang itu rasa nya. Sama sekali tidak melebih-lebihkan.
Aku yang dulu nya bisa melakukan apa-apa sendiri, jadi seperti itu.
Jujur, aku selalu menganggap aneh orang-orang yang bisa sampai bunuh diri karena patah hati. Tapi sekarang, aku tau rasa nya.
Tidak bisa bersama orang yang kita sayangi (dan sayang sama kita) itu terlalu menyakitkan. Dan selama masa-masa menyakitkan itu, kalau kita sampai sendirian, apa saja bisa terjadi, apa saja bisa kita lakukan. Segila apapun itu. Senekat apapun itu.
Dulu yang menemani aku melalui itu semua adalah Arga, walaupun aku tahu dia juga terluka, tapi aku tidak tau musti bergantung pada siapa lagi. Diri sendiri? Sama sekali gak bisa. Rasa nya kalau 24/7 tidur terus bisa dilakukan, maka aku akan memilih hal itu.
Orang yang sedang jatuh cinta lebih suka terjaga, sedangkan orang yang patah hati lebih suka tidur selamanya.
Tapi dulu ada titik di mana tidur dan terjaga rasa nya sama saja. Kepala ku tidak berhenti memikirkan Arga walaupun aku sedang tertidur. Sempat berpikir untuk menemui dokter ahli, biar aku bisa diberi obat anti depresi atau obat tidur, tapi aku takut akan efek ketergantungan nya.
Patah hati memang efek nya sedahsyat itu. Pun jatuh cinta.
Memang ada laki-laki yang lebih baik dari Arga, banyak mungkin. Tapi kalau hati sudah memilih, apa artinya jumlah yang banyak itu?
Arga memang seperti laki-laki kebanyakan, tapi pemikiran nya akan hidup membuat ku jatuh cinta. Rencana-rencana nya jelas, sosok lelaki yang bertanggung jawab. Aku jadi ingat kali pertama dia membuat ku jatuh cinta sepenuh nya.
Malam itu dia pulang kerja jam 10 malam tapi dia mengajak ku keluar untuk makan, kami belum berpacaran saat itu. Setelah menjemput ku di rumah, kami mampir dulu ke pom bensin. Karena pom bensin pertama yang kami datangi antrian nya cukup panjang, akhirnya kami pun pergi ke pom bensin lain, tidak jauh dari perempatan dewi sartika.
Arga mematikan mesin motor nya dan aku pun turun. Sewaktu aku merogoh kantung jaket, aku pun panik, dompet ku hilang.
"Dompet ku ga ada." kata ku panik.
"Hah? Kamu yakin bawa?" kata nya kaget.
"Iya. Tadi inget kan di lampu merah ada pengamen? Tadi nya aku mau kasih uang, tapi gak jadi. Aku inget itu terakhir aku pegang dompet ku." kata ku sambil mengingat.
Dompet kulit warna coklat pemberian teman waktu aku masih SMP. Uang nya sama sekali ga aku pikirin, KTP, SIM dan segala perintilan nya lah yang jadi masalah.
"Ya udah abis ini kita cari, isi bensin dulu." kata Arga tenang.
Setelah isi bensin, kami menyusuri jalanan yang kami lewati secara terbalik, lalu berakhir di lampu merah tempat aku terakhir merasakan keberadaan dompet ku di saku jaket.
2 kali. 3 kali. Sampai 5 kali bolak-balik hasil nya nihil. Sudah malam, aku yang tadi nya bersemangat ingin menemukan dompet itu berakhir pada pasrah. Ikhlas kan saja. Tapi Arga yang kepikiran.
"Uang nya ada berapa?" kata nya.
"Kaya nya 200-an. Udah diikhlas-in. Yuk cari makan." kata ku.
"Udah lemes aku, mana ketelen. Kamu mau makan?" kata nya, aku mengelus punggung nya.
"Gak mau kalo kamu gak mau makan." nafsu makan ku sudah hilang.
"Ya udah ga usah. Trus mau ke mana? Eh, udah jam berapa?"
"Jam 12 kurang 10." aku melihat jam di bb.
"Ya udah aku anterin pulang. Uang kamu nanti aku ganti. Yang masalah sih ATM nya."
"Ngapain ganti uang aku? Kan bukan kamu yang salah, aku yang ceroboh."
"Kan aku yang ngajak kamu jalan. Malem-malem gini juga."
"Ga usah, Ga."
"Kamu nih. Ga ngerti apa ya? Aku yang ngajak kamu jalan, aku yang harus tanggungjawab." nada nya meninggi, baru kali ini dia begitu.
"Gak papa, Ga."
"Aku anter pulang, abis itu aku muter sekali lagi."
"Hah? Gak. Ini udah jam 12, Ga."
"Gak papa."
"Arga, ga usah. Aku ikhlas."
"Iya aku pulang abis anterin kamu."
Gak berenti di situ, ternyata Arga bohong dan masih saja mencari dompet ku sampai jam setengah 2 dini hari.
Laki-laki ini bikin aku speechless. Dia marah waktu aku telepon menyuruh dia pulang, dan akhirnya dia baru pulang begitu hari makin malam tapi dompet ku ga ketemu juga. Harusnya kan kami makan. Harusnya dia istirahat.
"Maaf ya, gara-gara aku dompet kamu hilang. Nanti uang kamu aku ganti."
Malam itu Galang Arga membuat ku jatuh cinta sepenuhnya.

Jumat, 03 April 2015

Mahesa Gina - Bab 3



"Sorry, lagi gak konsen." kata ku kikuk.
"Gak papa. Uuumm..emang nya 'Ga' itu siapa?" kata Hilman penasaran.
"Itu...temen yang lagi ngobrol di bb chat sama gue."
"Oh." kata Hilman datar.
Aku tersenyum. Bagus kalau Hilman percaya sama alasan ku yang sekenanya itu.
Setelah nya obrolan kami pun berjalan biasa, tapi lebih ke basa-basi. Mungkin Hilman berpikir badan ku di sini tapi pikiran dan hati ku ke orang bernama 'Ga'.
Teteh pemilik warung itu tersenyum ramah waktu aku bilang terima kasih sebelum pergi dari sana.
Mungkin dia belum ingat pernah lihat aku di mana...dan sama siapa.
10:15 malam Hilman mengantarku sampai depan rumah.
"Terimakasih ya..atas semua nya." aku tersenyum, berdiri di sebelah nya setelah mengangsurkan helm yang aku pegang.
"Sama-sama. Terimakasih karena akhirnya sudah mau diajak keluar."
"Iya."
"Oke. Pulang dulu ya, Gina. Selamat malam. Selamat istirahat."
"Iya."
Hilman menyalakan mesin motor, tersenyum dan berlalu.
Baru buka pagar rumah, ada panggilan telepon dari Kak Nila.
"Pasti mau kepo." kata ku setelah menekan tombol 'accept'.
"Hahaha..menurut lo? Terus gimana gimana? Any progress I shud know?"
"What kind of progress, Mam?"
"Did he kiss you goodnite? Did he hold your hand?"
"None for those questions."
"Ah. Lame."
"You know I am."
"Kenapa Mahesa?"
"Apanya yang kenapa?"
"Hilman kurang nyambung sama lo? Dia gak gentleman? Gak nyaman lu jalan sama dia?"
"Nyambung. Gentleman. Nyaman."
Aku merebahkan badan di kasur. Tau-tau sudah sampai kamar aja.
"Then?What's wrong?"
"Nothing. It's just...I didn't hear a 'klik' yet..."
"Tadi di kepala lu ada siapa?"
"Gak ada siapa-siapa."
"Bohong. Pasti Arga."
"Ah?"
Denger orang menyebut nama nya saja..tangan kanan ku yang bebas sekarang memegang jantung.
Sesak lagi.
"Mahesa?"
"Iya, Kak."
"Kenapa lo?"
"Gak papa. Capek kaya nya."
"Ya udah mandi trus tidur. Lusa kita radio tour."
"Iya, Kak."
Sialnya insomnia malah menyerang.
Kepala ku memutar ulang semua kenangan bareng Arga.
Satu persatu. Per adegan. Sesak makin menjadi. Aku menangis tanpa mengeluarkan air mata sampai subuh.
Pagi nya, well jam 10 buat ku masih tergolong pagi, memandangi wajah di kaca wastafel kamar mandi dan terkejut sendiri. Dalam semalam wajah ku terlihat 10 tahun lebih tua.
Seperti ini juga tampang ku 4 tahun lalu, saat Arga memutuskan pergi setelah dia lihat aku sudah menerima kalau kami berdua harus putus.
Sebenarnya dia salah karena saat dia pergi itulah sekali lagi aku merasa patah. Lebih patah dari saat dia menyerah melanjutkan hubungan kami.
Saat kami bertemu, dan dekat, umur ku hampir 30 tahun sedangkan dia hampir 24 tahun. Awal nya kami tak mempersoalkan hal itu, karena masih merasa nyaman akan satu sama lain.
Mudah sekali jatuh cinta sama Arga. Walau kadang cuek nya setengah mati tapi makin lama perhatian nya makin terlihat. Dulu dia mengaku kalau di awal kami pacaran dia masih suka biasa aja sama aku.
Aku tertawa mengingat malam itu, malam di mana setelah sekian lama kami jalan tanpa ikatan apapun dan tiba-tiba dia mencium ku. Di sebuah kedai bakso. Iya di kedai bakso.
"Tapi kan sepi, yang."
Itu yang dia bilang waktu kami mengobrol setelah beberapa bulan kami pacaran.
"Tetep aja di depan umum. Kamu nih." gue mencubit perut gendut nya.
Kami berdua tertawa. Dia selalu bilang aku yang menyatakan cinta duluan dan ngajak pacaran pertama kali.
"Yaiyalah, kasian amat gue, udah diajak jalan, dicium tapi tetep aja dibilang cuma temen."
"Hehehe.."
Cowok pisces pemikir itu cuma nyengir. Hubungan kami hubungan yang penuh dengan diskusi. Banyak hal yang bisa kami bicarakan dan dia bilang cuma sama aku saja dia bisa terbuka diskusi apa pun.
Aku sendiri gak tau kenapa bisa begitu. Yang pasti, aku selalu suka kalau ada orang yang cerita sama aku, rasa nya dipercaya dan itu menyenangkan. Sangat menyenangkan.
Dan salah satu cara mendapatkan ide menulis adalah dengan hal itu, mendengarkan orang lain bercerita.
Dering telepon masuk membuyarkan lamunan ku. Aku meraih bb yang aku taruh di atas laci di sebelah tempat tidur.
Hilman.
"Ya, Man?"
"Hey, gue kira masih tidur. Chat gue blom dibalas-balas."
"Oh iya, sorry. Baru aja dari kamar mandi. Kenapa?"
"Gak papa. Cuma mau ngecek."
"Oh."
"Sama mau bilang, selamat pagi Gina dan selamat menjalankan aktifitas."
"Iya. Thank you."
"Hari ini jadwal nya apa?"
"Jadwal? Haha..udah kaya artis aja ditanya jadwal."
"Kan lu lagi promo buku baru."
"Oh..iya sih. Tapi hari ini ga ada jadwal apa-apa. Sepertinya mau ke rumah nyokap."
"Di mana?"
"Daerah timur."
"Sendiri?"
"Iya."
Setelah satu menit basa basi berikut nya aku memutuskan sambungan telepon.
Aku mau ke rumah ibu.
Arga, andaikan kamu masih kerja di dekat rumah ibu, sudah pasti aku akan melihat kamu.
Lalu kalaupun itu terjadi kamu mau apa Mahesa?