Senin, 03 Agustus 2015

Paleo. (Part 2)

Cantik nya Swiss!
Mungkin orang-orang yang stress atau depresi bagus nya pindah ke sini. Terutama ke Nord. Atau daerah mana saja yang masih dekat dengan Alpen.
Saya lihat di line-up hari ini penyanyi internasional nya ada Robbie Williams, tapi terlalu malam. Saya takut pulang sendirian. Walau Stephan sudah berpesan, kalau butuh jemputan saya harus telepon dia.
Banyak juga panggung nya, ada 6! Keren memang Eropa kalau mengadakan festival musik. Selalu megah dan ramai.
La Grande Scène itu panggung utama, artis nya macam Robbie Williams dan Pharell. Ada lagi panggung dengan nama Les Arches. Lalu yang unik Le Club Tent, musik-musik nya kebanyakan disko. Selanjutnya ada La Ruche (the hive), Le Dôme (the Dome) dan yang terakhir panggung yang sering dipakai band lokal untuk tampil dikasih nama Le Détour.
Setelah melihat-lihat semua stage dan beli makanan, saya duduk di dekat panggung utama. Beristirahat dan menenangkan diri. Jakarta, kenapa kau tidak bisa se-menyenangkan ini?
Hhhh..karena satu orang saja Jakarta bisa sangat menyesakkan.
Telepon selular saya berbunyi.
"Cepet pulang! Lu musti ketemu sama orang ini. Biar lu tau Arga yang lu sayang2 itu cuma cowok bangsat."
Editor saya, Kak Nila, kesambet apa ini? SMS begini, bikin inget apa yang mau dilupain. Huh. Malah jadi laper.
Iya, saya nekat pergi ke Swiss sendiri karena patah hati.
Ah sudahlah. Mudah-mudahan pulang dari sini saya bisa kembali jadi diri saya sendiri.
Sandwich sub sudah habis saya makan, lalu seenaknya merebahkan diri di rumput dan ketiduran.
Nyenyak tapi ternyata cuma 35 menit saya terlelap.
Menyaksikan band entah siapa di main stage dengan duduk ternyata menyenangkan juga. Dari awal sampai selesai saya di situ. Tapi kalau terlalu lama duduk rasa nya pegal juga, setelah encore mereka bawakan, saya pun berdiri dan mulai keliling lagi.
Tertarik dengan keunikan satu gimmick di festival ini, kolam lumpur! Iya, kolam lumpur!
Saya duduk tidak jauh dari kolam lumpur itu, tidak berani lebih dekat karena memikirkan keribetan membersihkan diri kalau terkena lumpur. Ikut tersenyum karena banyak orang yang diseret ikut masuk ke kolam itu. Mungkin mereka datang bersama dan teman mereka tidak mau kotor.
Tertawa kalau ada yang berhasil diceburkan ke kolam itu setelah usaha keras teman-teman nya.
Di tepi kolam terdekat saya ada seorang cowok yang dengan riang nya masuk ke sana. Tingginya gak lebih dari 180 cm kaya nya. Memakai jeans dan kaos yang tidak lama kemudian tertutup lumpur semua. Keren nya, dia juga membiarkan wajah dan rambut nya terkena lumpur.
Saya menggeleng-gelengkan kepala tapi tetap tertawa kecil. Umur berapa pun manusia pasti tetap punya sisi anak-anak dalam diri mereka. Stephan menelepon.
"Gak, Stephan. Tidak lebih dari jam 9."
"Telepon kalau berubah pikiran."
"Siap! Thank you."
"No problem. Have fun!"
Memasukan telepon genggam ke tas kecil di pinggang. Tempat barang-barang penting. Di Eropa kalau tidak waspada bisa celaka. Saya memperhatikan sekitar dan tersadar kalau setengah meter di kanan saya ada orang yang baru saja duduk. Dia tersenyum balik waktu saya tersenyum.
"Traveller?"
Saya memandang nya lagi dan sepertinya pertanyaan itu memang ditujukan kepada saya.
"Sort of." kata saya singkat.
"Boleh?"
Dia memberikan isyarat kalau dia akan duduk mendekat. Saya mengangguk. Percaya saja kalau dia orang baik. Dia berdiri dan duduk berjarak kira-kira sejengkal di sebelah kanan saya. Setelah sedekat itu saya baru sadar dia itu laki-laki kaos-jeans yang saya perhatikan tadi.
"Bersenang-senang?" kata saya sambil tertawa.
"Selalu. Diusahakan selalu bersenang-senang."
Gigi-gigi nya rapih. Cuma gigi dan mata bagian tubuh nya yang tidak tertutup lumpur.
"Nice."
"Gak mau ikutan?" kata nya menunjuk saya dan kolam secara bergantian.
"No thanks. Saya ke sini sendiri dan hostel saya tidak di dekat sini."
"Oh begitu." dia mengangguk-angguk.
Hening.
"Are you okay?"
Pertanyaan nya bikin saya bingung. Orang asing ini seperti tahu sesuatu.
"Keliatan ya?" kata saya pasrah.
"Mata kamu." dia tersenyum.
"Kenapa mata saya?"
"Terlihat sedih."
"Really? Saya lebih percaya kalau kamu bilang kamu ini peramal."
Kami berdua tertawa. Dua orang asing yang bisa tertawa padahal baru 5 menit ketemu. Ajaib.
"Semua kejadian pasti ada hikmah nya. Memang klise tapi begitu ada nya. Hidup ini mau dibawa senang atau sedih, isi kepala kamu yang menentukan."
Menenangkan, apalagi dia terlihat tulus sewaktu bilang kalimat-kalimat itu.
"Mungkin karena masih belum bisa terima dijahatin sama orang."
Hidung saya mengernyit dan dia terseyum lembut.
"Semua yang kita lakukan di dunia ini akan berbalik pada kita cepat atau lambat. Kamu mau hal-hal baik terjadi sama kamu kan?"
Saya mengangguk dan dia melanjutkan ucapan nya.
"Nah, teruslah berbuat baik. Perbuatan jahat orang lain tidak usah dibalas, cepat atau lambat itu akan berbalik pada dia dan kamu akan lega."
Entah kenapa mendengarkan dia berbicara seperti itu saya merasa lebih tenang. Semua ucapan nya saya proses di kepala.
"Masalah cinta ya?"
Tebakan nya benar lagi.
"Kenapa?" baru kali ini dia bertanya.
"Seperti nya saya sudah berbuat yang terbaik untuk dia, tapi tetap saja.."
"Coba diingat dari awal, apa dia memang into you? Jangan ingat hal-hal yang indah-indah saja. Kamu sepertinya perempuan yang peka, yang punya feeling kuat kalau ada sesuatu yang salah terjadi."
"Iya."
Dia benar. Banyak hal yang bikin saya meragukan kesungguhan Arga sewaktu kami masih berpacaran dulu.
"Kuncinya hanya satu, laki-laki kalau sudah mencintai seorang wanita, dia akan melakukan apa saja untuk wanita nya, tanpa diminta. Kamu pasti bisa merasakan nya. Kalau dia cinta, dia akan memperjuangkan kamu. Apapun cara nya."
Semua yang dia katakan benar. Arga selalu marah kalau saya protes sewaktu saya mendapati perhatian berlebih nya ke 2 teman wanita nya.
Dia selalu marah kalau saya lihat chat bbm nya. Saya ingin lihat karena saya punya perasaan curiga. Arga selalu protes kalau saya pakai display picture foto kami berdua di bbm. Baru sekarang saya sadar saya benar. Dari dulu saya tidak yakin tapi saya pura-pura yakin. Arga tidak sesayang itu sama saya. Itu masalah nya. Kalau dia sayang, dia tidak akan melepas saya dengan mudah dan punya ban cadangan.
Angin berhembus dan baru kali ini saya bernafas dengan lega. Sudah tidak sesak lagi.
"Kamu sepertinya wanita yang baik. Kalau dia meninggalkan kamu, rugi nya ada di dia."
Dia mengedipkan sebelah mata nya dan tersenyum super manis. Menularkan nya ke saya yang sibuk mengangguk-angguk sambil tersenyum.
"Terima kasih...siapa? Daritadi kita ngobrol tapi saya belum tau nama kamu." kata saya sambil mengangsurkan tangan.
Dia menunjukkan tangan nya yang tertutup lumpur setengah kering.
"I don't mind." kata saya sambil menjabat tangan nya.
"Glen. Nama saya Glen."
"Gina."
Kami berdua tersenyum.
Sore yang indah di Nord. Glen sudah membuka mata saya. Orang asing yang baru saya temui tidak lebih dari satu jam yang lalu. Tuhan memang punya cara yang ajaib untuk membuka jalan bagi umat-Nya untuk menjadi lebih baik.
Thank God for Glen.

Paleo. (Part 1)

"Apa yang menarik lagi?" kata saya ke Stephan.
Pemuda Swiss itu memandangi brosur-brosur yang saya pegang. Tempat-tempat yang ditawarkan di brosur tersebut sepertinya sudah saya datangi semua.
"Uuumm..kamu masih muda. Suka musik pastinya kan?"
Saya mengangguk. Pertanyaan retorik karena dia tahu itu.
Dia memberi isyarat lewat telunjuk nya untuk menunggu sebentar lalu menghilang ke balik pintu. Ruangan tempat dia biasa menonton televisi atau membaca buku kalau tidak ada penghuni kamar hostel yang mencari nya.
Pria berumur 35 tahun itu keluar, berdiri di depan saya dan menaruh sesuatu di meja panjang yang menjadi penghalang antara kami.
Saya mengambil kertas persegi panjang itu dan membaca nya.
Paleo festival.
Terdengar familiar dan saya baru sadar kalau di beberapa tempat yang saya kunjungi di Nyon ada pamflet tentang acara ini.
"Ini tiket festival musik kan ya?"
"Iya. Tadi nya saya mau memberikan nya ke adik perempuan saya, tapi dia sepertinya tidak jadi pulang ke Nyon. Sibuk sekali dia tahun ini di Jenewa."
Festival musik nya berlangsung 6 hari dan ini tiket untuk hari pertama, selasa besok.
"Bagaimana cara nya sampai di tempat festival?"
Kami pun pindah ke ruang makan yang sudah mulai dipenuhi orang yang menginap di sini. Sambil makan malam, Stephan menjelaskan dengan detail semua jalur yang bisa saya gunakan untuk sampai di sana. Dia juga menunjukkan beberapa foto sewaktu dia dan adik nya ke Paleo tahun lalu.
Beberapa orang yang menginap di hostel ini bahkan ada yang menghadiri festival ini dari hari pertama sampai hari terakhir. Di sana banyak penjual makanan juga jadi tidak sedikit yang ada di sana sampai berhari-hari.
Stephan, dengan mata biru, muka pucat dan bibir merah tipis nya adalah orang yang sangat menyenangkan untuk diajak mengobrol. Semua informasi tentang Nyon bisa dengan mudah kita dapatkan dari nya sambil makan malam atau hanya sekedar minum kopi.
Pantas saja kalau hostel ini banyak direkomendasikan blog-blog traveller di internet. Tempat nya bersih, terjangkau dan Stephan tanpa disangkal adalah kelebihan hostel ini.
Dia tahu saya ke Nyon sendirian dan malam kedua saya duduk di ruang makan, dia menghampiri dan minta ijin untuk menemani. Mengobrol yang ringan. Saya kira dia mau marah karena kecerewetan saya tentang makanan tanpa daging babi yang selalu saya pesan, tapi ternyata tidak.

"Kenapa Nyon?" kata nya setelah saya cerita kalau ini pertama kali nya saya ke luar negeri. Sendirian pula.
Malam ketiga di Nyon. Malam kedua dia menemani saya makan.
Saya menggeleng sambil memajukan bibir sedikit. Entahlah.
"Random?"
"Mungkin. Atau mungkin saya ingin menjadi presiden UEFA selanjutnya. Mungkin saya bisa jadi ketua UEFA perempuan yang pertama."
Kami tergelak menertawakan hal yang mustahil. Dia tahu saya tertarik dengan sepakbola dan di kota inilah terdapat kantor UEFA. Tapi kan itu saja tidak cukup.
"Kenapa pergi?"
Saya cuma tersenyum.
Mendengarkan nya menggunakan bahasa Inggris, bahasa ketiga yang digunakan di kota ini, membuat saya senang, karena bagaimanapun aksen nya terdengar berbeda tapi unik. Enak didengar.
"Beban pekerjaan atau.....cinta?"
Dia sengaja membuat jeda yang panjang sebelum mengucapkan kata terakhir.
Saya mengedikkan bahu.
"Berarti cinta. Karena kamu bukan tipe orang yang tidak nyaman ada di rumah. Dan kamu juga sepertinya bukan pekerja kantoran."
Dia menebak dengan benar. Mungkin karena banyak memperhatikan para penghuni sementara hostel yang terus berganti setiap saat di tempat ini jadi dia tahu sekali karakter tiap pelancong.
"Dikecewakan?"
Mau tidak mau saya mengangguk.
Tapi setelah itu dia tidak melanjutkan bertanya.
"Cinta bisa merubah segalanya tapi kamu tidak boleh berubah menjadi orang lain karena nya."
Kalimat yang ada benarnya. Karena saya merasa saya berubah menjadi orang lain sewaktu saya bersama 'dia'.
Obrolan kami sempat terhenti karena ada penghuni yang meminta tambahan selimut. Sempat juga karena Tante Stephan yang adalah kepala koki di hostel ini minta dibantu mengambilkan sesuatu di gudang bawah. Anggur tepatnya.
Hostel ini bisnis keluarga, awalnya bisnis kakak-beradik Licht, tapi Martina Licht, ibu Stephan, meninggal beberapa tahun yang lalu, jadilah Stephan yang dipercaya melanjutkan.

Ini malam keempat saya di sini dan malam ketiga dia menemani saya.
Topik utama nya Paleo Festival.
Sounds fun.
Sendiri di festival musik. Duduk memperhatikan orang-orang dan atau menikmati siapapun yang sedang tampil sambil duduk di atas rumput dan memejamkan mata.
Baiklah. Paleo festival adalah keseruan selanjutnya!