Rabu, 25 Maret 2015

Mahesa Gina - Bab 2



Tepat waktu, Hilman menjemput aku dari kantor sebuah majalah sesuai jam kami janjian, jam 5 sore. Cowok itu masih memakai kemeja kerja nya yang berwarna biru, jeans hitam dan sebuah jaket berwarna sama.
Aku baru saja menjalani sesi wawancara dan foto yang menyenangkan di sini.
"Hai. Cantik banget lu malam ini."
kata nya memuji.
"Cuma make-up plus hair do." kata ku jujur.
I'm not pretty, gak pernah berani berpikir kalau aku ini cantik malahan.
"Gak keberatan kan kalau naik motor?"
"Gak sama sekali."
Untung hari ini aku pake celana jeans, bukan rok.
Sudah lama gak naik motor sama selain tukang ojek, terakhir itu sama...sama siapa ya?
Oh. Sama mantan pacar yang itu.
Kami menuju parkiran motor di basement sambil mengobrol ringan. Motor Hilman jenis motor bebek dan warna nya kombinasi hitam-biru. Dia sudah menyiapkan helm untuk ku. Memutuskan gak pergi terlalu jauh dari gedung tempat majalah itu berada, tau sendiri kan jalanan Jakarta jam segini? 
Kami pun ngopi di salah satu kedai kopi ternama di dalam mall di bilangan Senayan.
Tanpa disangka obrolan kami mengalir begitu saja dan 2 jam sama sekali gak berasa.
"Mau makan?"
"Mau. Tapi gak mau di sini."
"Ikut gue."
"Kemana?"
"Gak keberatan makan di pinggir jalan kan?"
"Haha! Emang gue siapa? Gak keberatan lah."
"Yuk."
Hilman beranjak dari tempat nya duduk dan aku pun mengikuti dia.
Kembali menelusuri jalanan malam kota Jakarta yang kali ini sedikit lengang. Sesekali mengobrol dan merasakan kalau Hilman ternyata memiliki selera humor yang bagus.
Sedikit kaget begitu tersadar kalau kami berbelok ke tempat ini.
Panik menyerang. Udara yang terasa sejuk seperti nya tidak berpengaruh buat ku, butiran keringat mulai muncul di dahi.
Masa mau ke sini?
Tiba-tiba tremor dan benar saja, Hilman membelokkan motor nya ke kiri, memasuki sebuah taman kuliner di depan sebuah taman makam pahlawan di daerah Kalibata.
"Lu ga turun?"
"Eh..iya.."
Aku tergagap menyadari kalau ternyata Hilman sudah turun dari motor nya. Mahesa bodoh.
"Lu kenapa?" kata nya khawatir.
"Oh, gak papa. Hehe.."
"Gak suka? Mau cari tempat lain?"
"Oh..gak papa. Di sini aja."
Aku pun turun dari motor. Dada ini sesak begitu kami jalan ke arah barisan tenda makanan. Setiap langkah seperti mengulang kejadian dulu.
Sebelah kanan ada tenda pisang bakar yang gak begitu aku rekomendasikan, pisang yang disajikan blom terlalu mateng soalnya. Waktu itu kami coba makan di situ karena pisang bakar langganan kami tutup. Aku ingat malam itu aku tantang dia bikin puisi, dan akhirnya dia menunjukan tulisan di notepad bb nya,
"Aku mencintai mu, Mahesa Gina."
Singkat.
" Buat apa panjang-panjang kalau ini aja udah bikin kamu tersenyum." kata nya waktu itu menjawab pertanyaan ku kenapa puisi nya pendek sekali.
Dan malam ini aku tersenyum lagi mengingat hal itu.
"Gina?"
"Eh, iya kenapa?"
"Lu kenapa sih?"
"Emang gue kenapa?" kata ku berlagak bodoh.
"Haha! Lu ini. Dari pas kita jalan melewati tenda pertama, gue kan nanya mulu. Mau makan apa?"
"Eh, sorry. Uummm..ga begitu laper sih, tapi pisang bakar aja yuk?!"
"Eh, pisang? Uuumm.."
"Kenapa? Ga suka?"
"Gak begitu."
"Ya udah makan sate aja di sebelah nya, tapi kita tetep makan di tenda pisang bakar ya?! Tuh di sebelah situ."
"Your wish is my command, Gina."
Penjual nya masih sama, pasangan muda, suami istri asal Bandung yang punya seorang anak perempuan kecil cantik. Tapi hari ini dia sepertinya gak ikut ayah-ibu nya jualan. Padahal aku penasaran juga sudah sebesar apa dia sekarang.
Dari 5 kelompok meja yang disediakan, cuma 2 yang diisi pelanggan, aku dan Hilman memilih duduk di dekat etalase. Kalau dulu, aku dan dia sering nya duduk di meja paling kanan, dekat pintu masuk ke tenda ini. Aku memandangi 'meja kami' itu dengan hati miris, lalu merasakan lubang tak terlihat di dada ku. Sesak. Mungkin aku harus memalingkan muka ke arah lain.
Well, harus nya sih aku pergi saja dari sini.
Teteh yang jualan sepertinya familiar dengan muka ku. Tapi mungkin kah masih ingat? Sudah 4 tahun berlalu, pastinya pelanggan nya pun bukan aku saja.
Hilman memesan sate kambing dari penjual sebelah. Aku memesan pisang bakar plus keju dan teh tarik dingin.
"Suka pisang bakar?"
Aku mengangguk.
"Mau sate nya?" kata Hilman lagi.
Aku menggeleng.
Sebenernya gak begitu suka sama pisang bakar, yang jadi raja monyet mah si Ar..
"Gin?"
"Eh, kenapa Ga?"
Aduh salah manggil.

Sabtu, 21 Maret 2015

21st March 2015

Jadi kemaren itu dari sore udah bbm-an sama akang ganteng yang itu..
Rencana nya mau makan bareng karena klinik sore nya libur, drg nya pergi ke luar kota, udah janjian plus ngambek dikit gara2 dia mau nya abis makan langsung beli kue. Mau ngerayain ultah gue sederhana aja. Gue nya bilang gak usah beli kue, cos yang gue mau cuma satu sih, menghabiskan waktu sama dia. Gak, gue gak bilang segamblang itu ke dia kok. :p Setelah kurang lebih 10 hari gak jalan berdua, cuma itu sih yang gue mau.
Dari sore kan udah hujan, walau akhirnya berenti, tapi tiba-tiba jam setengah 7 malem si akang ganteng bbm, bilang di rumah nya hujan deres.
Gue keluar kamar dan langsung hopeless begitu liat langit agak kemerahan, mendung bro.
Ya udah akhirnya bilang..
"Gak jadi aja lah."
"Kok gitu? Jadilah."
Awalnya sih dia tetep keukeuh janjian tapi begitu gue bilang di rumah mulai hujan, petir, angin, badai, barulah dia bilang..
"Kalo ga jadi gpp kan?"
"Iya gpp."
Langsung bete, sedih, haduh..mau beduaan aja susah bener.
Ngapus make up, meluk guling, dengerin The Script lalu nangis.
Matiin bb. Tidur.
Jam 10 kebangun dan mendapati celana jeans gue tiba-tiba ada di atas badan, walau baru banget kebangun tapi gue masih inget kalo ni celana ga gue taroh di deket gue. but what the hell, lanjut tidur.
Gak lama kebangun lagi gara-gara kaya nya ada yang naik tangga menuju kamar dan pas gue nengok..
"Astagfirullah."
Si akang ganteng udah di sana..
And the rest is history..
Thanks for all the birthday wishes. Dari hati yang paling dalam cuma bisa meng-amin-kan dan berterimakasih.
Loved the Juventus jacket, chocolate and the letter, akang ganteng.
Thanks sudah mau datang ke rumah sambil hujan-hujanan, gak pake jas ujan pula. I love you to the moon and back. I know these times are hard, they're making us crazy but don't give up on us, baby.
Besok aku traktir! :*

Rabu, 18 Maret 2015

Mahesa Gina - Bab 1




Apa jadi nya kalau waktu itu aku mendengarkan kamu lebih awal?

Nostalgia merebak begitu aku memasuki gedung ini. Bertingkat 10 dan 3 tingkat awal dijadikan sebuah toko buku besar.
Dulu, waktu pertama kali novel ku diterbitkan, tempat ini menjadi saksi mata di mana cuma 3 orang saja yang duduk di kursi yang disediakan panitia untuk semacam acara promosi nya. Mereka terdiri dari 1 sahabat ku, 1 editor ku dan 1 orang yang mungkin hanya terpaksa duduk di situ. Orang terakhir terus saja menunduk sambil membaca pesan yang ada di smartphone nya. Sejak tadi dia sibuk menengok ke kanan ke kiri, seperti sedang menunggu seseorang datang.
Karyawan toko ini masih sama ramah nya. Toko buku ini masih sama bau nya. Perasaan ini masih sama berdebar nya.
Naik ke lantai 2 dan mencari perempuan galak yang selalu meneror ku dari dulu.
"Kak Nila!"
Aku memeluk wanita yang tinggi nya hanya beda 2cm dari ku itu.
"Kangen nya gue sama elu. Terus gimana Bromo? Cukup bikin lu relaks kan sebelum menjalani agenda promosi kali ini?" kata nya ceriwis.
"Cukup...kalo setelah ini selesai gue boleh kabur lagi ke sana sebulan. Haha.."
Langsung tangan nya sibuk mencubit pipi kiri ku.
"Asal balik dari sana lu ngasih gue 3 buku yang siap edit aja."
"Wah, penyiksaaan. Gue ke sana kan mau refreshing. Enak aja disuruh kerja."
"Tolong ya tuan putri Mahesa Gina...capek gue diberondong pertanyaan fans lu yang terus2an nanya kelanjutan Inferno di twitter."
"Haha..rasakan."
Aku tertawa cekikikan dan langsung menutup mulut begitu ingat kami ada di mana.
"Besok-besok gue minta kenaikan gaji kalau gini cara nya. Editor, PR, teman, sahabat, kakak, admin akun lu, tempat sampah.."
Makin keras lah ketawa ku.
"Monyet lu. Seneng banget kaya nya. Iya, gue emang tempat sampah lu kan?"
"Elitan dikit kenapa bahasa nya. Tempat curhat. Tempat menumpahkan segala keluh kesah."
"Preeeettt.. Sekali tempat sampah tetap tempat sampah. Hidup tempat sampah."
"Hahaha.. Aduh kakak ku yang satu ini. Besok gue bilang deh ke akang Armand yang keren banget itu supaya gaji lu dinaikin."
Aku mencium pipi nya. Gemes.
"Gue sih gak perlu dinaikin gaji nya kalo sama dia, cukup dia naikin gue aja.." kata nya di telinga ku.
Orang gila.
Kami berdua cekikikan sampai-sampai semua pengunjung dan karyawan toko itu memperhatikan kami.
Menemui salah seorang manager toko ini yang memang selalu ambil bagian kalau aku lagi promosi buku baru.
Hilman nama nya. Tinggi, kurus, tipikal eksekutif muda tapi entah kenapa malah kerja di toko buku.
"Makanya tanya. Elu diajak keluar sama dia nolak terus, giliran penasaran nanya nya sama gue."
Itu omongan Nila yang ke-seribu-delapan-ratus-empat-puluh-lima kali nya selama kami kenal 3 tahun belakangan ini.
Nila yang semangat banget jadi mak comblang ala-ala antara aku dan siapa pun cowok yang keliatan nya menaruh minat sama penulis buku yang kaya nya merana banget karena gak punya pacar 4 tahun belakangan ini.
Itu bahasa nya dia ya..
Aku sih santai gak punya pacar..
Kadang..
Hehe..
Di titik ini sudah merasa terlalu capek untuk memulai semua dari awal lagi. Bertemu orang baru, mengeksplorasi perasaan sendiri, entahlah, sepertinya sudah malas memulai sebuah hubungan percintaan.
"Ngibul. Mana ada perempuan yang gak perlu diperhatiin? Disayang? Emang lu apa? Frigid? Oh iya baru inget, nama nya gak bisa move on."
Wajah itu muncul di kepala ku.
Nila selalu bisa menebak dengan benar. Kesimpulan yang terakhir ya, bukan frigid nya.
Gaya bicara nya yang ceplas-ceplos udah gak bikin aku kaget lagi, dulu pas pertama kenal? Tiap abis ketemu dia aku pasti nangis.
"Monyet lu. Iya deh yang selalu punya orang buat dibelai-belai...minimal."
"Hahaha..dodol."
Dodol. 'Dia' dulu selalu manggil aku dengan kata itu.
Hush udah ah.
Fokus, Mahesa!
Novel ke-8 ku ini cerita nya terlalu sedih kalau dibandingkan dengan 7 novel terdahulu. Judul nya Mati Hati. Hilman ada di sana sampai pertanyaan terakhir dijawab dan sesi pemberian tandatangan selesai. Selalu begitu setiap aku ada acara di sini.
"Makasih ya atas bantuan nya."
Aku menjabat tangan nya setelah kerumunan terakhir membubarkan diri.
"Sama-sama. Abis ini mau ke mana, Gina?"
"Kenapa?"
"Ngopi dulu yuk."
Nila nyikut perut ku. Mukanya jahil.
"Makasih, tapi udah ada janji sama orang dari PH."
"Oh, buku ketiga nya ya mau dibikin film ya?"
"Iya Insha Allah."
"Orang PH yang ma.."
"Duluan ya, man."
Aku membekap mulut Nila dan menarik dia dari sana.
Iya itu tadi bohong.
Lalu Nila mengantar ku sampai depan rumah dengan mobil sedan nya. Dia daritadi cerewet banget ceramahin aku tentang Hilman. Sampai akhirnya 1 meter di deket rumah dia bilang.
"Sorry ya, gue ngasih nomer telpon lu sama dia tadi."
Kampret ni anak!
Dan begitu sampai kamar langsung deh, ada panggilan dari nomer yang gak dikenal.
Males ngangkat tapi gimana.
"Sore, Gina."
Hilman.
"Sore. Ini siapa ya?"
"Hilman. Maaf ya, tadi gue minta nomer lu dari Nila."
"Oh, Hilman. Kenapa, Man?"
"Eh, gue ganggu ya? Ketemuan sama orang PH nya udahan?"
"Oh, iya. Kenapa?"
"Malem ini ada acara gak?"
"Uuummm.."
Untung nya ada.
"Sibuk ya, Gin?"
"Iya. Mau ada tamu."
"Oh gitu. Siapa?"
"Saudara."
Please jangan tanya saudara yang mana. One lie leads to another.
"Oh ya udah kalau begitu."
"Iya. Maaf ya."
"Gak papa kok. Mungkin lain kali."
Ada nada pengharapan di suara nya Hilman. Bikin gak tega.
Coba sekali aja gak ada salah nya kan, Mahesa? Toh cuma keluar, makan, ngobrol.
Jatuh cinta?
Tidak.
"Gimana kalau besok aja?" kata gue tiba-tiba.
"Eh, serius?"
"Iya."
"Mau di mana?"
Akhirnya janjian juga ngopi sama Hilman. Pertama kali nya sejak putus 4 tahun lalu sama seorang cowok.