Rabu, 10 April 2019

SE

26 April
My job holds me a little bit. It should have finished an hour ago so I could prepare myself to go to the exhibition opening party.
Saya tidak terlalu suka diburu waktu. Terpaksa pergi ke galeri dengan taksi. Jam seperti ini kereta pasti penuh. Kevin messaged me.
Kevin: “Where are you?”
Me: “On a cab.”
Kevin: “You missed the opening ceremony. Too bad.”
Me: “Haha..I’m sure it still ran well. Just spare me some good wine.”
Kevin: “Kekeke...will do. A bottle? A sip? A glass?”
Me: “A valley.”
Then he sends me a voice message
“It will spend an entire of my lucky life to earn a wine valley for you. See you soon.”
I smile. I gain my confidence by looking at the mirror. Make up is good. Hair is good. Outfit checked! I’m using my ripped black jeans, black coat, and my customized tee. It’s sooo damn special tee cos this plain black tee isn’t plain anymore because my artsy friend threaded cat minyak warna warni di bagian depannya. Sedikit membuat supaya seragam dengan kaos itu, ripped jeans saya juga ada percikan cat minyaknya di bagian saku kanan depan.

7:32 pm and I finally arrived in front of the gallery. Mobilisasi di depan galeri super tinggi jadi tidak boleh ada kendaraan yang berlama-lama di depannya. I grab all my belongings, which is cuma my Roxy bag, after that I paid the rate then jump out of the cab.
I’m standing in the lobby for a while. Catching my breath. I messaged Kevin.
Me: “I’m here. Foto saya pasti belum ada yang menikmati.”
Kevin mungkin sibuk, jadi dia tidak membaca pesan singkat saya. Baiklah masuk saja.
Ternyata lumayan ramai, apa karena ini pembukaan kah?
Mencari-cari Kevin tapi gagal. Bagaimana kalau ke lantai 2 saja? Kasian kalau foto-foto saya tidak ada yang menikmati. Setidaknya ada mata saya yang menikmati.
Ternyata anggapan negatif saya tidak terbukti. At least ada satu orang yang sedang berdiri di depan foto-foto saya. Saya terpaku sambil memperhatikan laki-laki itu. Dia membaca informasi tentang penghasil karyanya, kedua tangannya dilipat ke belakang. Sebentar kemudian melihat foto yang paling tengah dengan lebih seksama. Foto sunrise menarik perhatiannya lebih dari foto-foto yang lain. Somehow. Dia bahkan bergerak lebih ke depan, sekarang kedua tangannya dimasukkan ke saku celananya.
Laki-laki itu memakai jas bergaris warna gelap dengan detail gantungan bulu unggas berwarna-warni di saku celana kanannya. His hair is light brown. Using black square glasses dengan rantai di bagian kanan-kirinya. How do I know? Well, he is standing beside me right now.
Setelah entah semenit atau lima menit kami begitu, I dunno the exact time but it seems long enuff for two people just standing next to each other without talking...he realized my existence.
“Oh, hi.” dia tersenyum dan his pierced lower lip attracts me.
“Hi.”
Then silence. He continues his activity.
“Permisi, kenapa sepertinya Anda lebih tertarik dengan foto yang tengah daripada foto-foto yang lain?” kata saya penasaran.
Dia melihat saya dan tersenyum miring.
“Ummm..gimana ya..” He can speak English! Yeay.
“Is it more interesting than the other 5?”
“Well. It was a sunrise when I was celebrating my 27th birthday actually. March 30th, aite?” dia menunjuk keterangan tanggal di bagian informasi karya.
“Oh. Yes it was.”
“Foto di tengah resembles me really well.”
“My lucky shot.”
“Tunggu. Your lucky shot?”
Saya mengangguk. Lalu dia seperti melihat bohlam lampu menyala di kepalanya.
“Dan saya familiar dengan lingkungannya..tapi saya..ummm..” dia memiringkan kepalanya lagi sambil menaruh tangan kanan di dagunya.
Percakapan kami terhenti karena dia didatangi temannya.
“Thank you.” kata saya berusaha sopan.
“For what?”
“Enjoying my works.”
“Who said that?”
“Eh?”
Lalu dia tertawa kecil.
“I did enjoy it. Don’t worry. It’s nice to see you.”
“Nice to see you too.”
Kemudian mereka pergi. Telpon saya berbunyi dan gak lama Kevin datang menghampiri saya. Oh I need something to eat and also desperately need wine.
“Someone already interested in your works.” Kevin’s words got me speechless
“Really???”
“Yes. There are 3 different people who interested in it. You will decide it which one deserves to buy it.”
“Gak bisa seperti itulah, ambil aja yang nawar paling tinggi. It’s for charity after all.”
“You have a point there.”
Pameran ini berlangsung selama seminggu penuh. Ingin rasanya datang lagi ke galeri karena masih belum semua karya seni bisa saya nikmati. Dan saya belum bertemu lagi dengan si pemilik payung dengan mata tersenyum itu.

Teman sekantor yang atapnya saya pinjam menghampiri saya di kantor. Saya sedang bersiap pulang.
“Have you seen this one? Isn't it our neighbourhood area?” katanya sambil kasih tau layar mobile nya.
Sebuah lukisan cat air.
“Dan ini yang bikin saya kaget.” katanya lalu menggeser layarnya ke bagian kiri.
Instalasi seni dengan gambaran utuh seseorang..sepertinya perempuan...berdiri dan bersender di sebuah meja dengan sebuah smartphone di tangannya mengarah ke langit. Semua terbuat dari semacam rangka besi, termasuk meja yang keliatannya saja terbuat dari kayu, padahal itu semua besi.
“This is your ugly winter coat.” dia memperbesar gambar itu, menunjukkan warna kuning terang yang dipake objek tersebut.
“What? Are you kidding me.”
“Loh, kamu gak sempet liat karya ini di galeri waktu pembukaan?”
“Belum sempet. Serius ini di galeri?”
“Iya. Sana liat, besok hari terakhir kan.”
“Ummm..”
“Kamu gak penasaran? Karena dua karya ini yang bikin itu satu orang.”
“Tapi masa sih..”
“Saya tinggal di lingkungan itu selama hampir 10 tahun. Trust me.”
Saya menggigit bibir. Ragu. Sepertinya hari ini enaknya diakhiri dengan bergelung di kamar dan minum shikye.
“Really. You should trust me.”

Cuma butuh waktu 30 menit untuk saya kemudian berdiri di lukisan yang teman saya bilang. Saya memejamkan mata, kembali ke atap gedung kondo saya untuk beberapa saat. Mengingat letak gedung-gedung yang berada di jarak pandang kalau saya berdiri di atap. Lalu membuka mata untuk mencocokan dengan lukisan di depan saya. Cocok. Setalah merasa yakin, kemudian mencari instalasi seni modern gadis bermantel kuning.
Mengitari hasil karya seni itu dengan perlahan sambil memperhatikan tiap detail nya. Even the hair style looks similar. Gak mau ge-er tapi makin dilihat kok makin..
"Good evening."
Suara bening laki-laki mengagetkan saya. Oh, memang dia ternyata.
"I forget to bring your umbrella."
"Kan kamu belom tau kita akan ketemu, wajarlah."
"Oh. Iya."
"I get curious. You really don't work here, right? So why you come here so often?"
"It's my second time actually."
"Really?"
"Yes."
"Soo?"
Kami berpandangan. Profil mukanya cocok kalau dijadikan bintang iklan. Wajahnya menyenangkan, apalagi kalau tersenyum. Saling berpandangan seperti itu membuat kami jengah dan dengan kompak memalingkan muka dengan canggung. Awkward moment fills the air.
"Do you know who made this?"
"Should I tell you? Kamu belum jawab pertanyaan saya tadi."
"Oh. Harus ya?"
"Yaaa..kalau kamu mau tahu yang bikin sih..harus.."
"Haha...oke oke...karena saya pasti gak bisa tidur karena rasa penasaran ini, I'll answer your question." kata saya, teringat bahwa saya sudah search di internet nama "Oxygen" untuk nama seorang seniman tapi hasilnya nihil.
"But wait...jawabannya bisa dipercaya gak?" kata saya lagi.
"Haha..why ask? You can't trust this face?" katanya sambil nunjuk wajahnya. Acting cute.
"Even someone with an angelic face could tell lies." kata saya sinis.
"Ouch." he pretends that he is having a heartache, menyentuh dada bagian kirinya.
"Oh, please. I didn't say that you have an angelic face."
"OUCH!"

Karena dia semakin terlihat (pura-pura) kena serangan jantung, saya cuma bisa tertawa terbahak-bahak.
"Do you always talk synical like this?" katanya.
"It depends on the situation tho."
"Haha..okay okay. I will not tell lie. I know who made this....because he's my friend. We live in the same dorm."
"Dorm? Are you a high-schooler or something?"
"No. Hehe.. I'm already a man. Pokoknya, you definetely can trust me."
"Okay..okay..a man. Noted. Well, you wanna know why I come here often right?"
"Yes."
"I made one of the works here."
"Really? Which one?" matanya menyipit seperti menyelidik.
"Haha..tebak aja."
"Kalo tebakan saya benar, kamu mau kasih saya apa?" sombong banget mukanya.
"Payung."
"Cuma payung?"
"Iya. Itu juga payung punya kamu."
Mulutnya terbuka, entah kaget karena fakta yang mana. Masa dia gak ingat pernah kasih pinjam payung ke saya?
"Kenapa?" kata saya tidak terima.
"You are so mean."
"So are you. Baru kenal udah minta macem-macem."
Mulutnya kembali melongo.
"Kenapa lagi?" kata saya pura-pura sewot.
"Apa kamu selalu seperti ini? Sinis setiap bicara?"
"The way I act based on how you treat me."
Saking datarnya saya berbicara, dia sampai speechless.
Then I laugh hard. Really hard. Sekarang ekspresinya kaget kaya orang gak nyangka kalo udah dikerjain.
"Oh My God, you're toooo cute." kata saya.
Dia bereaksi, mukanya merona.
"Eh, kenapa muka kamu merah? Cute nya bukan handsome or sejenisnya ya.. Gede kepala."
"I know I am not handsome." mukanya langsung sedih, bibirnya maju.
"Bukan..bukan gitu juga maksud saya."
"So now you tell me that I am handsome, rite?"
Duh. Salah. Walau rambut ikalnya membuatnya makin tampan, terutama poninya yang hampir mengenai mata, tapi biar saja dia berpikir apa saja yang dia mau, tidak usahlah saya berkomentar.
"Molla." kata saya sewot lalu meninggalkan dia yang masih senyum-senyum.
"Eh, kamu gak mau tau jawaban pertanyaan tentang seniman itu?" katanya sedikit teriak dan bikin saya berbalik. Oh, iya. Dia belum jawab pertanyaan itu.
"Jadi siapa?" kata saya setelah berdiri di depannya lagi.
"Bilang dulu..Yoon is handsome. The most handsome man in the world.” katanya sambil tersenyum lebar.
"Molla..." kata saya dengan nada malas sambil menghela napas.

Tetap berjalan menjauhi dia yang tawanya masih terdengar walau saya sudah menuju ke tempat foto saya dipajang.
Langkah saya terhenti. Laki-laki itu lagi. Dia kembali memandangi hasil foto saya di dinding. Entah karena saya fetish-punggung atau gimana, watching his back is so fascinating. Menikmati momen itu beberapa lama dan entah kenapa saya hapal profil nya pdahal baru ini kali kedua kami bertemu.
"Brooooo!!"
Kami berdua otomatis menengok ke asal suara, Yoon ternyata.
Dia menyapa laki-laki itu dengan jabat tangan khusus, sepertinya mereka dekat.
"Kok gak bilang kalo mau kesini? Tau gitu bareng."
"Mau ambil ini. Hard copy nya bagus, lebih bagus daripada ini. Kevin yang kasih tau."
"Really? Mau ditaroh di mana? Dorm kita ya? Ya? Ya?" kata Yoon antusias.
"Sepertinya studio saya aja."
Trus Yoon manyun.
Saya hanya bisa membeku karena dia menunjuk hasil foto saya. Dia beli foto saya?
"Ini siapa?" he said.
"Eh, saya lupa nanya nama kamu.." kata Yoon.
First, his existence makes me speechless ya, kedua kenyataan dia beli hasil foto saya itu..membuat saya makin membeku.
"Ya?" saya terkaget. Tatapan laki-laki itu membuat saya salah tingkah. Berhadapan seperti ini membuat saya sadar kalau aura nya kuat sekali.
"I'm Yoon. Ini sang Oxygen. What is your name?" dia menunjuk dirinya sendiri lalu temannya.
"Oh. I.."
Kenyataan selanjutnya bahwa Oxygen sekarang berdiri di depan saya membuat saya semakin bodoh, saya seperti tidak ingat nama saya sendiri. Perlahan, saya menghampiri papan informasi hasil karya di dinding lalu menunjuk inisial nama saya.
"Ini kamu yang moto?" Yoon terlihat kaget, matanya membulat, pun temannya.
Cuma bisa mengangguk. Situasi ini bikin saya tidak bisa berbicara padahal masih banyak tanya di dalam kepala.
~ ~ ~ ~

DU

25 April

When everyone seems to love sunny weather, I personally love today's weather. It's cloudy, with a chance of little rain tonight. After office hour I went to the galery. Setelah sempet menyegarkan diri dan ganti baju di kantor tentunya. I only changed my blouse with a simple plain shirt and wool sweater. Akan mengecek space saya di galeri dan ketemu sekalian sama Kevin. Katanya space saya ada di lantai 2, sementara untuk karya seniman-seniman yang lebih mumpuni ada di lantai 1. Yaiyalah. Diajak ikutan aja saya sudah merasa bangga. Lantai 1 juga dibagi untuk seni lukis, pahat, dan instalasi seni modern. Untuk foto, yang paling banyak dipamerkan, semua ada di lantai 2. Di setiap karya ada sedikit note yang menerangkan tentang karya seni tersebut plus sedikit informasi tentang yang membuat karyanya. Kevin memberikan pertanyaan melalui email seminggu yang lalu dan sepertinya itu yang akan ditulis di note hasil foto saya. Untuk foto profil sih opsional, tapi saya lebih memilih tidak memakai foto profil. Plus untuk nama saya hanya menggunakan inisial saja, inisial nama depan.

Saya menghubungi Kevin lewat messenger, dia bilang dia ada perlu sebentar di lantai 3 galeri ini, kantor dia, jadi saya hanya perlu masuk sambil memberikan nama lengkap saya ke meja resepsionis. Perempuan muda di meja resepsionis langsung memberikan id card bertali yang langsung saya pakai di leher. Setelah itu kaki saya menjelajah lantai 1 karena sepertinya kalau hanya duduk saja akan terasa membosankan. Melihat-lihat karya yang akan dipamerkan besok sepertinya lebih menyenangkan karena besok pasti akan ramai, tidak seleluasa sekarang.

Nama seniman-senimannya masih asing di telinga saya karena memang saya bukan pemerhati, hanya penikmat seni. Paling suka sama lukisan seperti komik tapi cat air pun akan indah kalau komposisinya cantik.
Di depan saya sekarang ada 3 buah lukisan yang dilukis seseorang. Tidak ada nama jelas tapi ada tulisan "Oxygen" di bawah ketiga lukisan. Kelihatannya penganut ekspresionisme, lukisan yang pada dasarnya mau dibilang nyata tapi tidak nyata. Di sana tergambar balon-balon yang memiliki wajah seseorang dengan berbagai macam ekspresi. Sepertinya sang pelukis sedang curhat, mungkin ini salah satu caranya untuk merilis kegundahannya. It keeps me wandering. My eyes glue for sometimes. Pelukisnya seperti bilang sesuatu dan I desperately want to reach him/her. Maybe he/she needs help but maybe not. Maybe it's just me.

Lalu Kevin datang dan meminta maaf karena dia lama menemui saya. Saya bilang gak papa lalu kami naik ke lantai 2 untuk melihat tempat foto saya dipajang. Jadi ternyata foto-foto saya dipindahkan ke 6 ipad dan ditempelkan di dinding. Sedikit terkejut karena hasilnya jadi terlihat menarik. Keterkejutan saya membuat Kevin senang dan bangga. Ini idenya supaya terlihat more attractive.
"I'm terribly  sorry that I must leave you now. There are too much preparation which still need to be done for tomorrow."
"Ah, no worries. Just do what you have to do."
Setelah dia memberikan undangan untuk event pembukaan besok, dia pun pamit. Saya masih diperbolehkan menjelajahi 2 lantai galeri ini sampai bosan. Sepertinya tidak akan bosan. Di space bagian depan ada karya foto dari seseorang bernama SY yang menarik perhatian saya. Foto 4 musim di spot yang sama tapi perbedaannya sungguh terlihat. Gambarnya jelas, tegas, indah, komposisinya bagus dan setiap saya menatap foto salah satu musim saya seperti sedang ada di musim tersebut. Seperti foto musim gugur, ada ilalang yang agak condong karena tertiup angin, saya bisa merasakan hembusan angin musim gugur. Entah saya terbawa suasana atau memang angin yang saya rasakan berasal dari AC di ruangan ini. Foto-foto ini dan lukisan si "Oxygen" adalah favorit saya.

Setelah menikmati foto musim dingin lebih lama, saya melihat jam di smartphone, kereta terakhir sebentar lagi beroperasi. Saya harus bergegas kalau tidak mau mengeluarkan biaya tambahan untuk ongkos pulang.
“Holy shsss..”
Terkaget karena begitu berbalik ada seorang laki-laki berdiri tepat di sana. Sejak kapan dia berdiri di sana? His classic white boeing sunglasses-nya tidak bisa menutupi kalau di juga kaget. Entah karena ekspresi atau ucapan saya yang hampir kelepasan.
“Maaf..maaf kalo saya mengagetkan Anda.” katanya sambil menggerakkan kedua tangannya. Seperti bilang “tidak” dengan bahasa tubuhnya.
“No, it’s fine. Cuma kaget kok.”
“Saya sungguh minta maaf.”
Saya tersenyum, mungkin karena wajah saya masih terlihat kaget makanya dia sepertinya merasa tidak enak.
“Tidak apa-apa. Sungguh.”
Laki-laki yang tingginya cuma beda sekitar 5 cm dari saya ini pun akhirnya tersenyum. Pakaiannya kasual sekali. Jeans, kaos dengan tudung dan bomber jacket. Telinganya dihiasi anting. Terlihat lebih muda dari umur saya.
He said something with local language which I don't understand.
"I mostly speak English." kata saya sambil tersenyum.
“Oh, I see. I mean, Anda karyawan di sini?” now he spoke English.
“Bukan. Kenapa memang?”
“Tidak tidak.. just asking. ”
“Baiklah. Saya pergi dulu ya..I need to catch the last train. Senang bertemu Anda.”
Saya tersenyum dan buru-buru turun. Tapi di lobi langkah saya terhenti. Hujan. Mengaduk-aduk isi tas karena sepertinya saya bawa payung. Kalau musim sudah berubah seperti ini saya selalu sedia payung di tas, tapi...ah.

“You’re sooooo damn stupid.”

Mengutuki diri sendiri karena waktu ganti pakaian di kantor tadi sempat mengeluarkan payung, ditaroh di atas meja dan lupa dimasukkan kembali ke tas. Melihat hujan yang turun, gak bisa kalau jalan dengan hujan lumayan deras seperti ini. Walau cuma 10 menit jalan tapi yang ada bisa sakit. Besok pembukaan pameran kan..
“Why on earth you become this stupid!”
“Permisi..”
Dan untuk kedua kalinya laki-laki itu bikin saya kaget. Dia tiba-tiba ada di sebelah kanan saya.
“Maaf..maaf..saya bikin Anda kaget lagi.”
“Gak kok. Gak papa.”
“Anda bukannya mau kejar kereta terakhir?”
Saya mengangguk. Lalu kami terdiam. Saya mencoba maju untuk merasakan air hujan di tangan saya. Terlalu deras untuk berjalan di bawahnya. Saya tidak terlalu pandai bersosialisasi, apalagi sepertinya he is more comfortable using his own language than English. Kami berdua cuma berdiri di situ dalam diam. Lalu ada seorang pria datang dari arah kanan jalan.
Ternyata teman laki-laki di sebelah saya. Dia memberikan sebuah payung, sementara payung yang dia pakai ada di tangan kirinya.
Ah sudahlah, lari saja. Saya tidak akan bisa mengejar keretanya kalau tidak pergi sekarang.
“Tunggu!” laki-laki itu menarik lengan coat saya.
This is the third time! What’s wrong with him??
Saya ingin dia tahu kalau saya sekarang marah.
Tangan kanannya mengangsurkan payung yang masih kering. Dengan gerakan mata, bibir dan tangannya dia seakan bilang, “nih, ambil.”
Saya yang masih sungkan melihat payung itu dan wajahnya secara bergantian. Sedikit merasa bersalah karena sudah berpikiran negatif tentang dia.
Lalu dia memajukan bibir dan payung itu bersamaan. Pelan dan ragu saya memajukan tangan hendak meraih payung itu. Lama sekali. Tanpa disangka dia mengambil tangan saya yang terulur dan membuatnya menggenggam payung itu.
“Hurry or you will miss the train. Saya bisa pakai payung yang lain.”
Ding! Ucapannya membuat saya sadar, ingat kalau harus mengejar kereta. Oh iya!!
Saya berbalik untuk membuka payung itu, baru melangkah satu kali saya langsung berbalik. Membungkuk sambil bilang terimakasih dengan semangat. Dia tersenyum lebar. Senyum yang tergambar di bibir dan matanya. Entah kenapa matanya bisa tersenyum seperti itu. Kemudian saya berlari.
Kebodohan yang saya lakukan hari ini cukup banyak, hal bodoh terakhir adalah tidak menanyakan nama pemilik payung ini. Bagaimana saya bisa kembalikan kalau saya tidak tahu namanya? Pasti Kevin atau siapapun di galeri itu ada yang kenal kalau saya sebut namanya. Apa perlu saya minta putar ulang rekaman CCTV malam ini untuk kasih tahu Kevin wajah laki-laki itu?
Ah sudahlah, yang penting kereta terakhir berhasil saya kejar. Tentang payung ini, pasti akan ada caranya untuk kembali kepada pemiliknya.

~ ~ ~ ~

HANA

"Keberatan gak?"

Saya tidak tahu darimana dia mengetahui perihal kegemaran saya mengabadikan senja, tapi ini pertemuan pertama kami setelah series of direct messages on IG. He's not even one of my followers until 2 weeks ago. Dia bilang foto-foto senja di akun IG pribadi saya indah. Kevin, itu namanya, adalah salah satu staf di sebuah galeri seni di kota ini. Di sebuah coffee shop di pusat kota kami bertemu untuk pertama kalinya dan dia menawarkan sebuah proyek. Sudah jelas terlihat bahwa saya ragu akan tawarannya.

"Sayang sekali kalau ini cuma dipajang di IG. Kebetulan galeri tempat saya kerja mau ada pameran yang temanya "One in a Million", jadi beberapa orang yang karyanya layak pamer akan dipajang di sana. Mereka submit beberapa karya yang serupa lalu ada satu yang sama sekali beda. Besides, Anda bukan orang yang lahir di sini, tapi bisa mengabadikan senja cantik di kota kami dengan begitu baik. It is also one in a million." katanya panjang lebar.
"Is it just based on profit or is there something else? Pamerannya."
"Charity.  Kami punya nama 2 yayasan yang akan kami sumbang, keuntungan penjualan murni untuk mereka. Satu yayasan anak-anak korban KDRT, satu yayasan perempuan penderita kanker payudara. Bisa saja nama yayasannya akan bertambah. Anda punya ide?"
"Apa? Yayasan?"
Kevin mengangguk. Well, saya bukan orang yang aktif berkegiatan amal di yayasan. Cuma rutin melakukan sesuatu hal kecil yang mudah-mudahan berarti melalui yayasan kecil milik teman. Sepertinya itu tidak akan masuk hitungan karena untuk acara seperti ini biasanya mereka kerjasama dengan yayasan berbadan hukum kan ya?
"Sayangnya gak ada. Tapi 2 yayasan itu kedengarannya oke kok. " 
"It means "YES", right?"
Eh, maksudnya gimana?

Dua bulan ini saya berburu senja dengan sangat niat di atas gedung kondo saya. Pemiliknya adalah teman sekantor saya yang punya hak penuh penggunaan teras atap karena dia menyewa lantai paling atas gedung ini. Alat yang saya pakai? Cuma smartphone keluaran perusahaan tertentu yang sudah saya miliki 2 tahun belakangan ini dan panca indera (sense). Senja sudah terlihat indah tanpa kita tangkap dengan alat canggih. Itu yang saya percaya. Kevin pun setuju setelah sedikit terkejut karena saya hanya memotret menggunakan kamera smartphone, bukan kamera digital ataupun kamera canggih macam LSR ataupun kamera analog lainnya. Dia bilang kalau daya tarik foto saya terletak pada alat untuk menangkap momen senja itu sendiri, alat biasa yang awam, bukan alat yang harus dibeli dan diberikan perlakuan khusus.

Banyak foto yang bagus dan saya agak kesulitan mendapatkan 6 yang paling bagus. Pemandangan senjanya sama tapi yang membedakan adalah warnanya. Langit cerah, berawan atau hujan, semua berbeda komposisi warnanya. Itulah uniknya senja, jembatan indah antara limpahan cahaya dan kegelapan yang pekat. I'm not a morning person so I think it is the reason why I love sunset more than sunrise. The thing is, I need to capture one sunrise for this project. Apabila diharuskan bangun untuk berkegiatan di pagi hari on weekdays, biasanya saya bangun minimal 1 jam sebelum berangkat, maksimal 30 menit. Dan 2 bulan ini saya selalu terlambat bangun pagi dan matahari pasti sudah tinggi.  Lalu weekends? Jangan harap. Weekends adalah waktunya bangun lebih siang.

Proyek saya harus diserahkan kepada Kevin 14 hari dari sekarang dan pamerannya sendiri akan diadakan pada tanggal 26 April untuk memperingati Hari Kekayaan Intelektual Sedunia (World Intellectual Property Day). Haruskah saya berburu sunrise setelah begadang semalaman? Cuma itu satu-satunya cara supaya tidak terbangun di saat matahari sudah tinggi. Dengan sigap saya melihat kalender di smartphone saya, mencari tanggal yang pas. Baiklah setelah pertimbangan ini-itu, saya akhirnya dapat tanggal yang pas buat begadang. Kalau gagal, mari ulangi begadang lagi sebelum penyerahan proyek. At least jangan terlalu mepet sama deadline sih, takutnya kan masih ada yang kurang dari foto-fotonya, mengikuti naluri manusia yang tidak pernah puas.

I bring my iced americano with me. Kind of crazy thing to do cos in the outside is freezing like hell. Berada di atap gedung ini jam 4 pagi adalah kegilaan plus. Sepi, dingin, dan mistis. Lampu-lampu LED penghias atap ini menyala cantik, itu pemandangan yang membantu mengurangi kesunyian malam. Teman se-kantor saya mendekorasi tempat ini dengan sangat cantik. Bahkan dia memiliki alat panggang bbq sendiri dan tenda model Indian yang terkadang dipakai kalau sedang ada pesta untuk merayakan hari spesial. Saya mengenakan pakaian berlapis dan sebuah jaket musim dingin super tebal. Satu-satunya jaket musim dingin yang berwarna terang, ehem kuning, karena itulah tidak pernah saya pakai keluar rumah. I’m not into bright colors..not that bright. Walaupun jaket ini paling nyaman dari semua jaket yang saya punya di lemari. Penghangat telinga, hidung, syal, penghangat tangan, semua saya pakai. Demi sebuah foto sunrise 2 jam lagi. Kurang lebih.

Mengerjakan beberapa tugas kantor yang masih tersisa, sengaja disisakan lebih tepatnya, supaya saya tidak tertidur. Lalu kalau bosan lansung mengedit foto-foto sunset yang belum sempat saya sunting.
Suara hasil karya Melomance memonopoli telinga dan pikiran saya. Musik mereka terlalu menyenangkan untuk membuat saya tertidur.

Pandangan mata saya tertumbu pada gedung di sebelah utara, entah kenapa gedung yang terlihat gelap itu menarik. Lebih tinggi daripada gedung yang saya tempati dan kondo di sana itu sewanya lebih mahal. Dahulu saya pernah ditawari untuk tinggal di sana oleh agen properti saya, tapi langsung mundur begitu mengetahui harga sewanya. Lebih baik tapi juga lebih mahal.

Iseng, saya menghitung ada berapa lantai di gedung itu. Berdiri dan agak menari karena lagunya membuat saya tanpa sadar menggerakkan badan.
"Itu pasti lantai satu..itu lantai dua.." jari telunjuk saya menari di udara, mengira-ngira dengan imajinasi di mana letak per lantainya. Lalu berhenti di lantai 7. If I can afford it, I will stay on the 7th floor. Gak terlalu di atas tapi juga gak terlalu di bawah. Pemandangan jembatan dan sungai pasti terlihat dari sana. Pas. Kemudian berkhayal. Kebiasaan.

Bersiap mengambil sudut terbaik sambil berdiri menghadap matahari terbit, pemandangannya tidak secantik senja karena agak terhalang bangunan. Kalau senja, arah barat dari sini membentang sejauh horison. Tapi mudah-mudahan dapat foto terbaik hari ini, minimal satu jepretan lah. Jepretan dimulai sejak sinar matahari pertama menodai langit sampai akhirnya matahari meninggi sejauh 5 derajat dari garis horisontal. Setelah dirasa cukup, sepertinya baiknya foto-foto ini langsung pindahkan ke laptop saja dan mulai bekerja.

~ ~ ~ ~ ~ ~