Tepat waktu, Hilman menjemput aku dari kantor sebuah majalah
sesuai jam kami janjian, jam 5 sore. Cowok itu masih memakai kemeja kerja nya yang berwarna biru, jeans hitam dan sebuah jaket berwarna sama.
Aku baru saja menjalani sesi wawancara dan foto yang
menyenangkan di sini.
"Hai. Cantik banget lu malam ini."
kata nya memuji.
"Cuma make-up plus hair do." kata ku jujur.
I'm not pretty, gak pernah berani berpikir kalau aku ini
cantik malahan.
"Gak keberatan kan kalau naik motor?"
"Gak sama sekali."
Untung hari ini aku pake celana jeans, bukan rok.
Sudah lama gak naik motor sama selain tukang ojek, terakhir
itu sama...sama siapa ya?
Oh. Sama mantan pacar yang itu.
Kami menuju parkiran motor di basement sambil mengobrol ringan. Motor Hilman jenis motor bebek dan warna nya kombinasi hitam-biru. Dia sudah menyiapkan helm untuk ku. Memutuskan gak pergi terlalu jauh dari gedung tempat majalah itu berada, tau sendiri kan jalanan Jakarta jam segini?
Kami pun ngopi di salah satu kedai kopi ternama di dalam mall di
bilangan Senayan.
Tanpa disangka obrolan kami mengalir begitu saja dan 2 jam
sama sekali gak berasa.
"Mau makan?"
"Mau. Tapi gak mau di sini."
"Ikut gue."
"Kemana?"
"Gak keberatan makan di pinggir jalan kan?"
"Haha! Emang gue siapa? Gak keberatan lah."
"Yuk."
Hilman beranjak dari tempat nya duduk dan aku pun mengikuti
dia.
Kembali menelusuri jalanan malam kota Jakarta yang kali ini sedikit lengang.
Sesekali mengobrol dan merasakan kalau Hilman ternyata memiliki selera humor
yang bagus.
Sedikit kaget begitu tersadar kalau kami berbelok ke tempat
ini.
Panik menyerang. Udara yang terasa sejuk seperti nya tidak berpengaruh buat ku, butiran keringat mulai muncul di dahi.
Masa mau ke sini?
Tiba-tiba tremor dan benar saja, Hilman membelokkan motor
nya ke kiri, memasuki sebuah taman kuliner di depan sebuah taman makam pahlawan
di daerah Kalibata.
"Lu ga turun?"
"Eh..iya.."
Aku tergagap menyadari kalau ternyata Hilman sudah turun
dari motor nya. Mahesa bodoh.
"Lu kenapa?" kata nya khawatir.
"Oh, gak papa. Hehe.."
"Gak suka? Mau cari tempat lain?"
"Oh..gak papa. Di sini aja."
Aku pun turun dari motor. Dada ini sesak begitu kami jalan
ke arah barisan tenda makanan. Setiap langkah seperti mengulang kejadian dulu.
Sebelah kanan ada tenda pisang bakar yang gak begitu aku
rekomendasikan, pisang yang disajikan blom terlalu mateng soalnya. Waktu itu
kami coba makan di situ karena pisang bakar langganan kami tutup. Aku ingat
malam itu aku tantang dia bikin puisi, dan akhirnya dia menunjukan tulisan di
notepad bb nya,
"Aku mencintai mu, Mahesa Gina."
Singkat.
" Buat apa panjang-panjang kalau ini aja udah bikin
kamu tersenyum." kata nya waktu itu menjawab pertanyaan ku kenapa puisi
nya pendek sekali.
Dan malam ini aku tersenyum lagi mengingat hal itu.
"Gina?"
"Eh, iya kenapa?"
"Lu kenapa sih?"
"Emang gue kenapa?" kata ku berlagak bodoh.
"Haha! Lu ini. Dari pas kita jalan melewati tenda
pertama, gue kan nanya mulu. Mau makan apa?"
"Eh, sorry. Uummm..ga begitu laper sih, tapi pisang
bakar aja yuk?!"
"Eh, pisang? Uuumm.."
"Kenapa? Ga suka?"
"Gak begitu."
"Ya udah makan sate aja di sebelah nya, tapi kita tetep
makan di tenda pisang bakar ya?! Tuh di sebelah situ."
"Your wish is my command, Gina."
Penjual nya masih sama, pasangan muda, suami istri asal
Bandung yang punya seorang anak perempuan kecil cantik. Tapi hari ini dia
sepertinya gak ikut ayah-ibu nya jualan. Padahal aku penasaran juga sudah
sebesar apa dia sekarang.
Dari 5 kelompok meja yang disediakan, cuma 2 yang diisi pelanggan, aku dan Hilman memilih duduk di dekat etalase. Kalau dulu, aku dan dia sering nya duduk di meja paling kanan, dekat pintu masuk ke tenda ini. Aku memandangi 'meja kami' itu dengan hati miris, lalu merasakan lubang tak terlihat di dada ku. Sesak. Mungkin aku harus memalingkan muka ke arah lain.
Well, harus nya sih aku pergi saja dari sini.
Teteh yang jualan sepertinya familiar dengan muka ku. Tapi
mungkin kah masih ingat? Sudah 4 tahun berlalu, pastinya pelanggan nya pun
bukan aku saja.
Hilman memesan sate kambing dari penjual sebelah. Aku
memesan pisang bakar plus keju dan teh tarik dingin.
"Suka pisang bakar?"
Aku mengangguk.
"Mau sate nya?" kata Hilman lagi.
Aku menggeleng.
Sebenernya gak begitu suka sama pisang bakar, yang jadi raja
monyet mah si Ar..
"Gin?"
"Eh, kenapa Ga?"
Aduh salah manggil.