Rabu, 18 Maret 2015

Mahesa Gina - Bab 1




Apa jadi nya kalau waktu itu aku mendengarkan kamu lebih awal?

Nostalgia merebak begitu aku memasuki gedung ini. Bertingkat 10 dan 3 tingkat awal dijadikan sebuah toko buku besar.
Dulu, waktu pertama kali novel ku diterbitkan, tempat ini menjadi saksi mata di mana cuma 3 orang saja yang duduk di kursi yang disediakan panitia untuk semacam acara promosi nya. Mereka terdiri dari 1 sahabat ku, 1 editor ku dan 1 orang yang mungkin hanya terpaksa duduk di situ. Orang terakhir terus saja menunduk sambil membaca pesan yang ada di smartphone nya. Sejak tadi dia sibuk menengok ke kanan ke kiri, seperti sedang menunggu seseorang datang.
Karyawan toko ini masih sama ramah nya. Toko buku ini masih sama bau nya. Perasaan ini masih sama berdebar nya.
Naik ke lantai 2 dan mencari perempuan galak yang selalu meneror ku dari dulu.
"Kak Nila!"
Aku memeluk wanita yang tinggi nya hanya beda 2cm dari ku itu.
"Kangen nya gue sama elu. Terus gimana Bromo? Cukup bikin lu relaks kan sebelum menjalani agenda promosi kali ini?" kata nya ceriwis.
"Cukup...kalo setelah ini selesai gue boleh kabur lagi ke sana sebulan. Haha.."
Langsung tangan nya sibuk mencubit pipi kiri ku.
"Asal balik dari sana lu ngasih gue 3 buku yang siap edit aja."
"Wah, penyiksaaan. Gue ke sana kan mau refreshing. Enak aja disuruh kerja."
"Tolong ya tuan putri Mahesa Gina...capek gue diberondong pertanyaan fans lu yang terus2an nanya kelanjutan Inferno di twitter."
"Haha..rasakan."
Aku tertawa cekikikan dan langsung menutup mulut begitu ingat kami ada di mana.
"Besok-besok gue minta kenaikan gaji kalau gini cara nya. Editor, PR, teman, sahabat, kakak, admin akun lu, tempat sampah.."
Makin keras lah ketawa ku.
"Monyet lu. Seneng banget kaya nya. Iya, gue emang tempat sampah lu kan?"
"Elitan dikit kenapa bahasa nya. Tempat curhat. Tempat menumpahkan segala keluh kesah."
"Preeeettt.. Sekali tempat sampah tetap tempat sampah. Hidup tempat sampah."
"Hahaha.. Aduh kakak ku yang satu ini. Besok gue bilang deh ke akang Armand yang keren banget itu supaya gaji lu dinaikin."
Aku mencium pipi nya. Gemes.
"Gue sih gak perlu dinaikin gaji nya kalo sama dia, cukup dia naikin gue aja.." kata nya di telinga ku.
Orang gila.
Kami berdua cekikikan sampai-sampai semua pengunjung dan karyawan toko itu memperhatikan kami.
Menemui salah seorang manager toko ini yang memang selalu ambil bagian kalau aku lagi promosi buku baru.
Hilman nama nya. Tinggi, kurus, tipikal eksekutif muda tapi entah kenapa malah kerja di toko buku.
"Makanya tanya. Elu diajak keluar sama dia nolak terus, giliran penasaran nanya nya sama gue."
Itu omongan Nila yang ke-seribu-delapan-ratus-empat-puluh-lima kali nya selama kami kenal 3 tahun belakangan ini.
Nila yang semangat banget jadi mak comblang ala-ala antara aku dan siapa pun cowok yang keliatan nya menaruh minat sama penulis buku yang kaya nya merana banget karena gak punya pacar 4 tahun belakangan ini.
Itu bahasa nya dia ya..
Aku sih santai gak punya pacar..
Kadang..
Hehe..
Di titik ini sudah merasa terlalu capek untuk memulai semua dari awal lagi. Bertemu orang baru, mengeksplorasi perasaan sendiri, entahlah, sepertinya sudah malas memulai sebuah hubungan percintaan.
"Ngibul. Mana ada perempuan yang gak perlu diperhatiin? Disayang? Emang lu apa? Frigid? Oh iya baru inget, nama nya gak bisa move on."
Wajah itu muncul di kepala ku.
Nila selalu bisa menebak dengan benar. Kesimpulan yang terakhir ya, bukan frigid nya.
Gaya bicara nya yang ceplas-ceplos udah gak bikin aku kaget lagi, dulu pas pertama kenal? Tiap abis ketemu dia aku pasti nangis.
"Monyet lu. Iya deh yang selalu punya orang buat dibelai-belai...minimal."
"Hahaha..dodol."
Dodol. 'Dia' dulu selalu manggil aku dengan kata itu.
Hush udah ah.
Fokus, Mahesa!
Novel ke-8 ku ini cerita nya terlalu sedih kalau dibandingkan dengan 7 novel terdahulu. Judul nya Mati Hati. Hilman ada di sana sampai pertanyaan terakhir dijawab dan sesi pemberian tandatangan selesai. Selalu begitu setiap aku ada acara di sini.
"Makasih ya atas bantuan nya."
Aku menjabat tangan nya setelah kerumunan terakhir membubarkan diri.
"Sama-sama. Abis ini mau ke mana, Gina?"
"Kenapa?"
"Ngopi dulu yuk."
Nila nyikut perut ku. Mukanya jahil.
"Makasih, tapi udah ada janji sama orang dari PH."
"Oh, buku ketiga nya ya mau dibikin film ya?"
"Iya Insha Allah."
"Orang PH yang ma.."
"Duluan ya, man."
Aku membekap mulut Nila dan menarik dia dari sana.
Iya itu tadi bohong.
Lalu Nila mengantar ku sampai depan rumah dengan mobil sedan nya. Dia daritadi cerewet banget ceramahin aku tentang Hilman. Sampai akhirnya 1 meter di deket rumah dia bilang.
"Sorry ya, gue ngasih nomer telpon lu sama dia tadi."
Kampret ni anak!
Dan begitu sampai kamar langsung deh, ada panggilan dari nomer yang gak dikenal.
Males ngangkat tapi gimana.
"Sore, Gina."
Hilman.
"Sore. Ini siapa ya?"
"Hilman. Maaf ya, tadi gue minta nomer lu dari Nila."
"Oh, Hilman. Kenapa, Man?"
"Eh, gue ganggu ya? Ketemuan sama orang PH nya udahan?"
"Oh, iya. Kenapa?"
"Malem ini ada acara gak?"
"Uuummm.."
Untung nya ada.
"Sibuk ya, Gin?"
"Iya. Mau ada tamu."
"Oh gitu. Siapa?"
"Saudara."
Please jangan tanya saudara yang mana. One lie leads to another.
"Oh ya udah kalau begitu."
"Iya. Maaf ya."
"Gak papa kok. Mungkin lain kali."
Ada nada pengharapan di suara nya Hilman. Bikin gak tega.
Coba sekali aja gak ada salah nya kan, Mahesa? Toh cuma keluar, makan, ngobrol.
Jatuh cinta?
Tidak.
"Gimana kalau besok aja?" kata gue tiba-tiba.
"Eh, serius?"
"Iya."
"Mau di mana?"
Akhirnya janjian juga ngopi sama Hilman. Pertama kali nya sejak putus 4 tahun lalu sama seorang cowok.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar