Apa jadi nya kalau waktu itu aku
mendengarkan kamu lebih awal?
Nostalgia merebak begitu aku
memasuki gedung ini. Bertingkat 10 dan 3 tingkat awal dijadikan sebuah toko
buku besar.
Dulu, waktu pertama kali novel ku
diterbitkan, tempat ini menjadi saksi mata di mana cuma 3 orang saja yang duduk
di kursi yang disediakan panitia untuk semacam acara promosi nya. Mereka
terdiri dari 1 sahabat ku, 1 editor ku dan 1 orang yang mungkin hanya terpaksa
duduk di situ. Orang terakhir terus saja menunduk sambil membaca pesan yang ada
di smartphone nya. Sejak tadi dia sibuk menengok ke kanan ke kiri, seperti
sedang menunggu seseorang datang.
Karyawan toko ini masih sama
ramah nya. Toko buku ini masih sama bau nya. Perasaan ini masih sama berdebar
nya.
Naik ke lantai 2 dan mencari
perempuan galak yang selalu meneror ku dari dulu.
"Kak Nila!"
Aku memeluk wanita yang tinggi
nya hanya beda 2cm dari ku itu.
"Kangen nya gue sama elu.
Terus gimana Bromo? Cukup bikin lu relaks kan sebelum menjalani agenda promosi
kali ini?" kata nya ceriwis.
"Cukup...kalo setelah ini
selesai gue boleh kabur lagi ke sana sebulan. Haha.."
Langsung tangan nya sibuk
mencubit pipi kiri ku.
"Asal balik dari sana lu
ngasih gue 3 buku yang siap edit aja."
"Wah, penyiksaaan. Gue ke
sana kan mau refreshing. Enak aja disuruh kerja."
"Tolong ya tuan putri Mahesa
Gina...capek gue diberondong pertanyaan fans lu yang terus2an nanya kelanjutan
Inferno di twitter."
"Haha..rasakan."
Aku tertawa cekikikan dan
langsung menutup mulut begitu ingat kami ada di mana.
"Besok-besok gue minta kenaikan
gaji kalau gini cara nya. Editor, PR, teman, sahabat, kakak, admin akun lu,
tempat sampah.."
Makin keras lah ketawa ku.
"Monyet lu. Seneng banget
kaya nya. Iya, gue emang tempat sampah lu kan?"
"Elitan dikit kenapa bahasa
nya. Tempat curhat. Tempat menumpahkan segala keluh kesah."
"Preeeettt.. Sekali tempat
sampah tetap tempat sampah. Hidup tempat sampah."
"Hahaha.. Aduh kakak ku yang
satu ini. Besok gue bilang deh ke akang Armand yang keren banget itu supaya
gaji lu dinaikin."
Aku mencium pipi nya. Gemes.
"Gue sih gak perlu dinaikin
gaji nya kalo sama dia, cukup dia naikin gue aja.." kata nya di telinga
ku.
Orang gila.
Kami berdua cekikikan
sampai-sampai semua pengunjung dan karyawan toko itu memperhatikan kami.
Menemui salah seorang manager
toko ini yang memang selalu ambil bagian kalau aku lagi promosi buku baru.
Hilman nama nya. Tinggi, kurus,
tipikal eksekutif muda tapi entah kenapa malah kerja di toko buku.
"Makanya tanya. Elu diajak
keluar sama dia nolak terus, giliran penasaran nanya nya sama gue."
Itu omongan Nila yang
ke-seribu-delapan-ratus-empat-puluh-lima kali nya selama kami kenal 3 tahun
belakangan ini.
Nila yang semangat banget jadi
mak comblang ala-ala antara aku dan siapa pun cowok yang keliatan nya menaruh
minat sama penulis buku yang kaya nya merana banget karena gak punya pacar 4
tahun belakangan ini.
Itu bahasa nya dia ya..
Aku sih santai gak punya pacar..
Kadang..
Hehe..
Di titik ini sudah merasa terlalu
capek untuk memulai semua dari awal lagi. Bertemu orang baru, mengeksplorasi
perasaan sendiri, entahlah, sepertinya sudah malas memulai sebuah hubungan
percintaan.
"Ngibul. Mana ada perempuan
yang gak perlu diperhatiin? Disayang? Emang lu apa? Frigid? Oh iya baru inget,
nama nya gak bisa move on."
Wajah itu muncul di kepala ku.
Nila selalu bisa menebak dengan
benar. Kesimpulan yang terakhir ya, bukan frigid nya.
Gaya bicara nya yang
ceplas-ceplos udah gak bikin aku kaget lagi, dulu pas pertama kenal? Tiap abis
ketemu dia aku pasti nangis.
"Monyet lu. Iya deh yang
selalu punya orang buat dibelai-belai...minimal."
"Hahaha..dodol."
Dodol. 'Dia' dulu selalu manggil
aku dengan kata itu.
Hush udah ah.
Fokus, Mahesa!
Novel ke-8 ku ini cerita nya
terlalu sedih kalau dibandingkan dengan 7 novel terdahulu. Judul nya Mati Hati.
Hilman ada di sana sampai pertanyaan terakhir dijawab dan sesi pemberian
tandatangan selesai. Selalu begitu setiap aku ada acara di sini.
"Makasih ya atas bantuan
nya."
Aku menjabat tangan nya setelah
kerumunan terakhir membubarkan diri.
"Sama-sama. Abis ini mau ke
mana, Gina?"
"Kenapa?"
"Ngopi dulu yuk."
Nila nyikut perut ku. Mukanya
jahil.
"Makasih, tapi udah ada
janji sama orang dari PH."
"Oh, buku ketiga nya ya mau
dibikin film ya?"
"Iya Insha Allah."
"Orang PH yang ma.."
"Duluan ya, man."
Aku membekap mulut Nila dan
menarik dia dari sana.
Iya itu tadi bohong.
Lalu Nila mengantar ku sampai
depan rumah dengan mobil sedan nya. Dia daritadi cerewet banget ceramahin aku
tentang Hilman. Sampai akhirnya 1 meter di deket rumah dia bilang.
"Sorry ya, gue ngasih nomer
telpon lu sama dia tadi."
Kampret ni anak!
Dan begitu sampai kamar langsung
deh, ada panggilan dari nomer yang gak dikenal.
Males ngangkat tapi gimana.
"Sore, Gina."
Hilman.
"Sore. Ini siapa ya?"
"Hilman. Maaf ya, tadi gue
minta nomer lu dari Nila."
"Oh, Hilman. Kenapa, Man?"
"Eh, gue ganggu ya? Ketemuan
sama orang PH nya udahan?"
"Oh, iya. Kenapa?"
"Malem ini ada acara
gak?"
"Uuummm.."
Untung nya ada.
"Sibuk ya, Gin?"
"Iya. Mau ada tamu."
"Oh gitu. Siapa?"
"Saudara."
Please jangan tanya saudara yang
mana. One lie leads to another.
"Oh ya udah kalau
begitu."
"Iya. Maaf ya."
"Gak papa kok. Mungkin lain
kali."
Ada nada pengharapan di suara nya
Hilman. Bikin gak tega.
Coba sekali aja gak ada salah nya
kan, Mahesa? Toh cuma keluar, makan, ngobrol.
Jatuh cinta?
Tidak.
"Gimana kalau besok
aja?" kata gue tiba-tiba.
"Eh, serius?"
"Iya."
"Mau di mana?"
Akhirnya janjian juga ngopi sama
Hilman. Pertama kali nya sejak putus 4 tahun lalu sama seorang cowok.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar