Rabu, 10 April 2019

HANA

"Keberatan gak?"

Saya tidak tahu darimana dia mengetahui perihal kegemaran saya mengabadikan senja, tapi ini pertemuan pertama kami setelah series of direct messages on IG. He's not even one of my followers until 2 weeks ago. Dia bilang foto-foto senja di akun IG pribadi saya indah. Kevin, itu namanya, adalah salah satu staf di sebuah galeri seni di kota ini. Di sebuah coffee shop di pusat kota kami bertemu untuk pertama kalinya dan dia menawarkan sebuah proyek. Sudah jelas terlihat bahwa saya ragu akan tawarannya.

"Sayang sekali kalau ini cuma dipajang di IG. Kebetulan galeri tempat saya kerja mau ada pameran yang temanya "One in a Million", jadi beberapa orang yang karyanya layak pamer akan dipajang di sana. Mereka submit beberapa karya yang serupa lalu ada satu yang sama sekali beda. Besides, Anda bukan orang yang lahir di sini, tapi bisa mengabadikan senja cantik di kota kami dengan begitu baik. It is also one in a million." katanya panjang lebar.
"Is it just based on profit or is there something else? Pamerannya."
"Charity.  Kami punya nama 2 yayasan yang akan kami sumbang, keuntungan penjualan murni untuk mereka. Satu yayasan anak-anak korban KDRT, satu yayasan perempuan penderita kanker payudara. Bisa saja nama yayasannya akan bertambah. Anda punya ide?"
"Apa? Yayasan?"
Kevin mengangguk. Well, saya bukan orang yang aktif berkegiatan amal di yayasan. Cuma rutin melakukan sesuatu hal kecil yang mudah-mudahan berarti melalui yayasan kecil milik teman. Sepertinya itu tidak akan masuk hitungan karena untuk acara seperti ini biasanya mereka kerjasama dengan yayasan berbadan hukum kan ya?
"Sayangnya gak ada. Tapi 2 yayasan itu kedengarannya oke kok. " 
"It means "YES", right?"
Eh, maksudnya gimana?

Dua bulan ini saya berburu senja dengan sangat niat di atas gedung kondo saya. Pemiliknya adalah teman sekantor saya yang punya hak penuh penggunaan teras atap karena dia menyewa lantai paling atas gedung ini. Alat yang saya pakai? Cuma smartphone keluaran perusahaan tertentu yang sudah saya miliki 2 tahun belakangan ini dan panca indera (sense). Senja sudah terlihat indah tanpa kita tangkap dengan alat canggih. Itu yang saya percaya. Kevin pun setuju setelah sedikit terkejut karena saya hanya memotret menggunakan kamera smartphone, bukan kamera digital ataupun kamera canggih macam LSR ataupun kamera analog lainnya. Dia bilang kalau daya tarik foto saya terletak pada alat untuk menangkap momen senja itu sendiri, alat biasa yang awam, bukan alat yang harus dibeli dan diberikan perlakuan khusus.

Banyak foto yang bagus dan saya agak kesulitan mendapatkan 6 yang paling bagus. Pemandangan senjanya sama tapi yang membedakan adalah warnanya. Langit cerah, berawan atau hujan, semua berbeda komposisi warnanya. Itulah uniknya senja, jembatan indah antara limpahan cahaya dan kegelapan yang pekat. I'm not a morning person so I think it is the reason why I love sunset more than sunrise. The thing is, I need to capture one sunrise for this project. Apabila diharuskan bangun untuk berkegiatan di pagi hari on weekdays, biasanya saya bangun minimal 1 jam sebelum berangkat, maksimal 30 menit. Dan 2 bulan ini saya selalu terlambat bangun pagi dan matahari pasti sudah tinggi.  Lalu weekends? Jangan harap. Weekends adalah waktunya bangun lebih siang.

Proyek saya harus diserahkan kepada Kevin 14 hari dari sekarang dan pamerannya sendiri akan diadakan pada tanggal 26 April untuk memperingati Hari Kekayaan Intelektual Sedunia (World Intellectual Property Day). Haruskah saya berburu sunrise setelah begadang semalaman? Cuma itu satu-satunya cara supaya tidak terbangun di saat matahari sudah tinggi. Dengan sigap saya melihat kalender di smartphone saya, mencari tanggal yang pas. Baiklah setelah pertimbangan ini-itu, saya akhirnya dapat tanggal yang pas buat begadang. Kalau gagal, mari ulangi begadang lagi sebelum penyerahan proyek. At least jangan terlalu mepet sama deadline sih, takutnya kan masih ada yang kurang dari foto-fotonya, mengikuti naluri manusia yang tidak pernah puas.

I bring my iced americano with me. Kind of crazy thing to do cos in the outside is freezing like hell. Berada di atap gedung ini jam 4 pagi adalah kegilaan plus. Sepi, dingin, dan mistis. Lampu-lampu LED penghias atap ini menyala cantik, itu pemandangan yang membantu mengurangi kesunyian malam. Teman se-kantor saya mendekorasi tempat ini dengan sangat cantik. Bahkan dia memiliki alat panggang bbq sendiri dan tenda model Indian yang terkadang dipakai kalau sedang ada pesta untuk merayakan hari spesial. Saya mengenakan pakaian berlapis dan sebuah jaket musim dingin super tebal. Satu-satunya jaket musim dingin yang berwarna terang, ehem kuning, karena itulah tidak pernah saya pakai keluar rumah. I’m not into bright colors..not that bright. Walaupun jaket ini paling nyaman dari semua jaket yang saya punya di lemari. Penghangat telinga, hidung, syal, penghangat tangan, semua saya pakai. Demi sebuah foto sunrise 2 jam lagi. Kurang lebih.

Mengerjakan beberapa tugas kantor yang masih tersisa, sengaja disisakan lebih tepatnya, supaya saya tidak tertidur. Lalu kalau bosan lansung mengedit foto-foto sunset yang belum sempat saya sunting.
Suara hasil karya Melomance memonopoli telinga dan pikiran saya. Musik mereka terlalu menyenangkan untuk membuat saya tertidur.

Pandangan mata saya tertumbu pada gedung di sebelah utara, entah kenapa gedung yang terlihat gelap itu menarik. Lebih tinggi daripada gedung yang saya tempati dan kondo di sana itu sewanya lebih mahal. Dahulu saya pernah ditawari untuk tinggal di sana oleh agen properti saya, tapi langsung mundur begitu mengetahui harga sewanya. Lebih baik tapi juga lebih mahal.

Iseng, saya menghitung ada berapa lantai di gedung itu. Berdiri dan agak menari karena lagunya membuat saya tanpa sadar menggerakkan badan.
"Itu pasti lantai satu..itu lantai dua.." jari telunjuk saya menari di udara, mengira-ngira dengan imajinasi di mana letak per lantainya. Lalu berhenti di lantai 7. If I can afford it, I will stay on the 7th floor. Gak terlalu di atas tapi juga gak terlalu di bawah. Pemandangan jembatan dan sungai pasti terlihat dari sana. Pas. Kemudian berkhayal. Kebiasaan.

Bersiap mengambil sudut terbaik sambil berdiri menghadap matahari terbit, pemandangannya tidak secantik senja karena agak terhalang bangunan. Kalau senja, arah barat dari sini membentang sejauh horison. Tapi mudah-mudahan dapat foto terbaik hari ini, minimal satu jepretan lah. Jepretan dimulai sejak sinar matahari pertama menodai langit sampai akhirnya matahari meninggi sejauh 5 derajat dari garis horisontal. Setelah dirasa cukup, sepertinya baiknya foto-foto ini langsung pindahkan ke laptop saja dan mulai bekerja.

~ ~ ~ ~ ~ ~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar