"Keberatan gak?"
Saya
tidak tahu darimana dia mengetahui perihal kegemaran saya mengabadikan
senja, tapi ini pertemuan pertama kami setelah series of direct messages
on IG. He's not even one of my followers until 2 weeks ago. Dia bilang
foto-foto senja di akun IG pribadi saya indah. Kevin, itu namanya,
adalah salah satu staf di sebuah galeri seni di kota ini. Di sebuah
coffee shop di pusat kota kami bertemu untuk pertama kalinya dan dia
menawarkan sebuah proyek. Sudah jelas terlihat bahwa saya ragu akan
tawarannya.
"Sayang
sekali kalau ini cuma dipajang di IG. Kebetulan galeri tempat saya
kerja mau ada pameran yang temanya "One in a Million", jadi beberapa
orang yang karyanya layak pamer akan dipajang di sana. Mereka submit
beberapa karya yang serupa lalu ada satu yang sama sekali beda. Besides,
Anda bukan orang yang lahir di sini, tapi bisa mengabadikan senja
cantik di kota kami dengan begitu baik. It is also one in a million."
katanya panjang lebar.
"Is it just based on profit or is there something else? Pamerannya."
"Charity.
Kami punya nama 2 yayasan yang akan kami sumbang, keuntungan penjualan
murni untuk mereka. Satu yayasan anak-anak korban KDRT, satu yayasan
perempuan penderita kanker payudara. Bisa saja nama yayasannya akan
bertambah. Anda punya ide?"
"Apa? Yayasan?"
Kevin
mengangguk. Well, saya bukan orang yang aktif berkegiatan amal di
yayasan. Cuma rutin melakukan sesuatu hal kecil yang mudah-mudahan
berarti melalui yayasan kecil milik teman. Sepertinya itu tidak akan
masuk hitungan karena untuk acara seperti ini biasanya mereka kerjasama
dengan yayasan berbadan hukum kan ya?
"Sayangnya gak ada. Tapi 2 yayasan itu kedengarannya oke kok. "
"It means "YES", right?"
Eh, maksudnya gimana?
Dua
bulan ini saya berburu senja dengan sangat niat di atas gedung kondo
saya. Pemiliknya adalah teman sekantor saya yang punya hak penuh
penggunaan teras atap karena dia menyewa lantai paling atas gedung ini.
Alat yang saya pakai? Cuma smartphone keluaran perusahaan tertentu yang
sudah saya miliki 2 tahun belakangan ini dan panca indera (sense). Senja
sudah terlihat indah tanpa kita tangkap dengan alat canggih. Itu yang
saya percaya. Kevin pun setuju setelah sedikit terkejut karena saya
hanya memotret menggunakan kamera smartphone, bukan kamera digital
ataupun kamera canggih macam LSR ataupun kamera analog lainnya. Dia
bilang kalau daya tarik foto saya terletak pada alat untuk menangkap momen senja itu
sendiri, alat biasa yang awam, bukan alat yang harus dibeli dan
diberikan perlakuan khusus.
Banyak
foto yang bagus dan saya agak kesulitan mendapatkan 6 yang paling
bagus. Pemandangan senjanya sama tapi yang membedakan adalah warnanya.
Langit cerah, berawan atau hujan, semua berbeda komposisi warnanya.
Itulah uniknya senja, jembatan indah antara limpahan cahaya dan
kegelapan yang pekat. I'm not a morning person so I think it is the
reason why I love sunset more than sunrise. The thing is, I need to
capture one sunrise for this project. Apabila diharuskan bangun untuk
berkegiatan di pagi hari on weekdays, biasanya saya bangun minimal 1 jam
sebelum berangkat, maksimal 30 menit. Dan 2 bulan ini saya selalu
terlambat bangun pagi dan matahari pasti sudah tinggi. Lalu weekends?
Jangan harap. Weekends adalah waktunya bangun lebih siang.
Proyek
saya harus diserahkan kepada Kevin 14 hari dari sekarang dan pamerannya
sendiri akan diadakan pada tanggal 26 April untuk memperingati Hari
Kekayaan Intelektual Sedunia (World Intellectual Property Day). Haruskah
saya berburu sunrise setelah begadang semalaman? Cuma itu satu-satunya
cara supaya tidak terbangun di saat matahari sudah tinggi. Dengan sigap
saya melihat kalender di smartphone saya, mencari tanggal yang pas.
Baiklah setelah pertimbangan ini-itu, saya akhirnya dapat tanggal yang
pas buat begadang. Kalau gagal, mari ulangi begadang lagi sebelum
penyerahan proyek. At least jangan terlalu mepet sama deadline sih,
takutnya kan masih ada yang kurang dari foto-fotonya, mengikuti naluri
manusia yang tidak pernah puas.
I
bring my iced americano with me. Kind of crazy thing to do cos in the
outside is
freezing like hell. Berada di atap gedung ini jam 4 pagi adalah kegilaan
plus.
Sepi, dingin, dan mistis. Lampu-lampu LED penghias atap ini menyala
cantik, itu pemandangan yang membantu mengurangi kesunyian malam. Teman
se-kantor saya mendekorasi tempat ini dengan sangat cantik. Bahkan dia
memiliki alat panggang bbq sendiri dan tenda model Indian yang terkadang
dipakai kalau sedang ada pesta untuk merayakan hari spesial. Saya
mengenakan pakaian berlapis
dan sebuah jaket musim dingin super tebal. Satu-satunya jaket musim
dingin yang berwarna terang, ehem kuning, karena itulah tidak pernah
saya pakai keluar rumah. I’m not into bright colors..not that bright.
Walaupun jaket ini paling nyaman dari semua jaket yang saya punya di
lemari. Penghangat telinga, hidung, syal, penghangat tangan, semua saya
pakai. Demi sebuah foto sunrise 2 jam lagi. Kurang lebih.
Mengerjakan beberapa tugas kantor yang masih tersisa, sengaja disisakan
lebih tepatnya, supaya saya tidak tertidur. Lalu kalau bosan lansung
mengedit foto-foto sunset yang belum sempat saya sunting.
Suara hasil karya Melomance memonopoli telinga dan pikiran saya. Musik mereka terlalu menyenangkan untuk membuat saya tertidur.
Pandangan
mata saya tertumbu pada gedung di sebelah utara, entah kenapa gedung
yang terlihat gelap itu menarik. Lebih tinggi daripada gedung yang saya
tempati dan kondo di sana itu sewanya lebih mahal. Dahulu saya pernah
ditawari untuk tinggal di sana oleh agen properti saya, tapi langsung
mundur begitu mengetahui harga sewanya. Lebih baik tapi juga lebih
mahal.
Iseng, saya menghitung ada berapa lantai di
gedung itu. Berdiri dan agak menari karena lagunya membuat saya tanpa
sadar menggerakkan badan.
"Itu pasti lantai satu..itu lantai
dua.." jari telunjuk saya menari di udara, mengira-ngira dengan
imajinasi di mana letak per lantainya. Lalu berhenti di lantai 7. If I
can afford it, I will stay on the 7th floor. Gak terlalu di atas tapi
juga gak terlalu di bawah. Pemandangan jembatan dan sungai pasti
terlihat dari sana. Pas. Kemudian berkhayal. Kebiasaan.
Bersiap
mengambil sudut terbaik sambil berdiri menghadap matahari terbit,
pemandangannya tidak secantik senja karena agak terhalang bangunan.
Kalau senja, arah barat dari sini membentang sejauh horison. Tapi
mudah-mudahan dapat foto terbaik hari ini, minimal satu jepretan lah.
Jepretan dimulai sejak sinar matahari pertama menodai langit sampai
akhirnya matahari meninggi sejauh 5 derajat dari garis horisontal.
Setelah dirasa cukup, sepertinya baiknya foto-foto ini langsung
pindahkan ke laptop saja dan mulai bekerja.
~ ~ ~ ~ ~ ~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar