Rabu, 10 April 2019

SE

26 April
My job holds me a little bit. It should have finished an hour ago so I could prepare myself to go to the exhibition opening party.
Saya tidak terlalu suka diburu waktu. Terpaksa pergi ke galeri dengan taksi. Jam seperti ini kereta pasti penuh. Kevin messaged me.
Kevin: “Where are you?”
Me: “On a cab.”
Kevin: “You missed the opening ceremony. Too bad.”
Me: “Haha..I’m sure it still ran well. Just spare me some good wine.”
Kevin: “Kekeke...will do. A bottle? A sip? A glass?”
Me: “A valley.”
Then he sends me a voice message
“It will spend an entire of my lucky life to earn a wine valley for you. See you soon.”
I smile. I gain my confidence by looking at the mirror. Make up is good. Hair is good. Outfit checked! I’m using my ripped black jeans, black coat, and my customized tee. It’s sooo damn special tee cos this plain black tee isn’t plain anymore because my artsy friend threaded cat minyak warna warni di bagian depannya. Sedikit membuat supaya seragam dengan kaos itu, ripped jeans saya juga ada percikan cat minyaknya di bagian saku kanan depan.

7:32 pm and I finally arrived in front of the gallery. Mobilisasi di depan galeri super tinggi jadi tidak boleh ada kendaraan yang berlama-lama di depannya. I grab all my belongings, which is cuma my Roxy bag, after that I paid the rate then jump out of the cab.
I’m standing in the lobby for a while. Catching my breath. I messaged Kevin.
Me: “I’m here. Foto saya pasti belum ada yang menikmati.”
Kevin mungkin sibuk, jadi dia tidak membaca pesan singkat saya. Baiklah masuk saja.
Ternyata lumayan ramai, apa karena ini pembukaan kah?
Mencari-cari Kevin tapi gagal. Bagaimana kalau ke lantai 2 saja? Kasian kalau foto-foto saya tidak ada yang menikmati. Setidaknya ada mata saya yang menikmati.
Ternyata anggapan negatif saya tidak terbukti. At least ada satu orang yang sedang berdiri di depan foto-foto saya. Saya terpaku sambil memperhatikan laki-laki itu. Dia membaca informasi tentang penghasil karyanya, kedua tangannya dilipat ke belakang. Sebentar kemudian melihat foto yang paling tengah dengan lebih seksama. Foto sunrise menarik perhatiannya lebih dari foto-foto yang lain. Somehow. Dia bahkan bergerak lebih ke depan, sekarang kedua tangannya dimasukkan ke saku celananya.
Laki-laki itu memakai jas bergaris warna gelap dengan detail gantungan bulu unggas berwarna-warni di saku celana kanannya. His hair is light brown. Using black square glasses dengan rantai di bagian kanan-kirinya. How do I know? Well, he is standing beside me right now.
Setelah entah semenit atau lima menit kami begitu, I dunno the exact time but it seems long enuff for two people just standing next to each other without talking...he realized my existence.
“Oh, hi.” dia tersenyum dan his pierced lower lip attracts me.
“Hi.”
Then silence. He continues his activity.
“Permisi, kenapa sepertinya Anda lebih tertarik dengan foto yang tengah daripada foto-foto yang lain?” kata saya penasaran.
Dia melihat saya dan tersenyum miring.
“Ummm..gimana ya..” He can speak English! Yeay.
“Is it more interesting than the other 5?”
“Well. It was a sunrise when I was celebrating my 27th birthday actually. March 30th, aite?” dia menunjuk keterangan tanggal di bagian informasi karya.
“Oh. Yes it was.”
“Foto di tengah resembles me really well.”
“My lucky shot.”
“Tunggu. Your lucky shot?”
Saya mengangguk. Lalu dia seperti melihat bohlam lampu menyala di kepalanya.
“Dan saya familiar dengan lingkungannya..tapi saya..ummm..” dia memiringkan kepalanya lagi sambil menaruh tangan kanan di dagunya.
Percakapan kami terhenti karena dia didatangi temannya.
“Thank you.” kata saya berusaha sopan.
“For what?”
“Enjoying my works.”
“Who said that?”
“Eh?”
Lalu dia tertawa kecil.
“I did enjoy it. Don’t worry. It’s nice to see you.”
“Nice to see you too.”
Kemudian mereka pergi. Telpon saya berbunyi dan gak lama Kevin datang menghampiri saya. Oh I need something to eat and also desperately need wine.
“Someone already interested in your works.” Kevin’s words got me speechless
“Really???”
“Yes. There are 3 different people who interested in it. You will decide it which one deserves to buy it.”
“Gak bisa seperti itulah, ambil aja yang nawar paling tinggi. It’s for charity after all.”
“You have a point there.”
Pameran ini berlangsung selama seminggu penuh. Ingin rasanya datang lagi ke galeri karena masih belum semua karya seni bisa saya nikmati. Dan saya belum bertemu lagi dengan si pemilik payung dengan mata tersenyum itu.

Teman sekantor yang atapnya saya pinjam menghampiri saya di kantor. Saya sedang bersiap pulang.
“Have you seen this one? Isn't it our neighbourhood area?” katanya sambil kasih tau layar mobile nya.
Sebuah lukisan cat air.
“Dan ini yang bikin saya kaget.” katanya lalu menggeser layarnya ke bagian kiri.
Instalasi seni dengan gambaran utuh seseorang..sepertinya perempuan...berdiri dan bersender di sebuah meja dengan sebuah smartphone di tangannya mengarah ke langit. Semua terbuat dari semacam rangka besi, termasuk meja yang keliatannya saja terbuat dari kayu, padahal itu semua besi.
“This is your ugly winter coat.” dia memperbesar gambar itu, menunjukkan warna kuning terang yang dipake objek tersebut.
“What? Are you kidding me.”
“Loh, kamu gak sempet liat karya ini di galeri waktu pembukaan?”
“Belum sempet. Serius ini di galeri?”
“Iya. Sana liat, besok hari terakhir kan.”
“Ummm..”
“Kamu gak penasaran? Karena dua karya ini yang bikin itu satu orang.”
“Tapi masa sih..”
“Saya tinggal di lingkungan itu selama hampir 10 tahun. Trust me.”
Saya menggigit bibir. Ragu. Sepertinya hari ini enaknya diakhiri dengan bergelung di kamar dan minum shikye.
“Really. You should trust me.”

Cuma butuh waktu 30 menit untuk saya kemudian berdiri di lukisan yang teman saya bilang. Saya memejamkan mata, kembali ke atap gedung kondo saya untuk beberapa saat. Mengingat letak gedung-gedung yang berada di jarak pandang kalau saya berdiri di atap. Lalu membuka mata untuk mencocokan dengan lukisan di depan saya. Cocok. Setalah merasa yakin, kemudian mencari instalasi seni modern gadis bermantel kuning.
Mengitari hasil karya seni itu dengan perlahan sambil memperhatikan tiap detail nya. Even the hair style looks similar. Gak mau ge-er tapi makin dilihat kok makin..
"Good evening."
Suara bening laki-laki mengagetkan saya. Oh, memang dia ternyata.
"I forget to bring your umbrella."
"Kan kamu belom tau kita akan ketemu, wajarlah."
"Oh. Iya."
"I get curious. You really don't work here, right? So why you come here so often?"
"It's my second time actually."
"Really?"
"Yes."
"Soo?"
Kami berpandangan. Profil mukanya cocok kalau dijadikan bintang iklan. Wajahnya menyenangkan, apalagi kalau tersenyum. Saling berpandangan seperti itu membuat kami jengah dan dengan kompak memalingkan muka dengan canggung. Awkward moment fills the air.
"Do you know who made this?"
"Should I tell you? Kamu belum jawab pertanyaan saya tadi."
"Oh. Harus ya?"
"Yaaa..kalau kamu mau tahu yang bikin sih..harus.."
"Haha...oke oke...karena saya pasti gak bisa tidur karena rasa penasaran ini, I'll answer your question." kata saya, teringat bahwa saya sudah search di internet nama "Oxygen" untuk nama seorang seniman tapi hasilnya nihil.
"But wait...jawabannya bisa dipercaya gak?" kata saya lagi.
"Haha..why ask? You can't trust this face?" katanya sambil nunjuk wajahnya. Acting cute.
"Even someone with an angelic face could tell lies." kata saya sinis.
"Ouch." he pretends that he is having a heartache, menyentuh dada bagian kirinya.
"Oh, please. I didn't say that you have an angelic face."
"OUCH!"

Karena dia semakin terlihat (pura-pura) kena serangan jantung, saya cuma bisa tertawa terbahak-bahak.
"Do you always talk synical like this?" katanya.
"It depends on the situation tho."
"Haha..okay okay. I will not tell lie. I know who made this....because he's my friend. We live in the same dorm."
"Dorm? Are you a high-schooler or something?"
"No. Hehe.. I'm already a man. Pokoknya, you definetely can trust me."
"Okay..okay..a man. Noted. Well, you wanna know why I come here often right?"
"Yes."
"I made one of the works here."
"Really? Which one?" matanya menyipit seperti menyelidik.
"Haha..tebak aja."
"Kalo tebakan saya benar, kamu mau kasih saya apa?" sombong banget mukanya.
"Payung."
"Cuma payung?"
"Iya. Itu juga payung punya kamu."
Mulutnya terbuka, entah kaget karena fakta yang mana. Masa dia gak ingat pernah kasih pinjam payung ke saya?
"Kenapa?" kata saya tidak terima.
"You are so mean."
"So are you. Baru kenal udah minta macem-macem."
Mulutnya kembali melongo.
"Kenapa lagi?" kata saya pura-pura sewot.
"Apa kamu selalu seperti ini? Sinis setiap bicara?"
"The way I act based on how you treat me."
Saking datarnya saya berbicara, dia sampai speechless.
Then I laugh hard. Really hard. Sekarang ekspresinya kaget kaya orang gak nyangka kalo udah dikerjain.
"Oh My God, you're toooo cute." kata saya.
Dia bereaksi, mukanya merona.
"Eh, kenapa muka kamu merah? Cute nya bukan handsome or sejenisnya ya.. Gede kepala."
"I know I am not handsome." mukanya langsung sedih, bibirnya maju.
"Bukan..bukan gitu juga maksud saya."
"So now you tell me that I am handsome, rite?"
Duh. Salah. Walau rambut ikalnya membuatnya makin tampan, terutama poninya yang hampir mengenai mata, tapi biar saja dia berpikir apa saja yang dia mau, tidak usahlah saya berkomentar.
"Molla." kata saya sewot lalu meninggalkan dia yang masih senyum-senyum.
"Eh, kamu gak mau tau jawaban pertanyaan tentang seniman itu?" katanya sedikit teriak dan bikin saya berbalik. Oh, iya. Dia belum jawab pertanyaan itu.
"Jadi siapa?" kata saya setelah berdiri di depannya lagi.
"Bilang dulu..Yoon is handsome. The most handsome man in the world.” katanya sambil tersenyum lebar.
"Molla..." kata saya dengan nada malas sambil menghela napas.

Tetap berjalan menjauhi dia yang tawanya masih terdengar walau saya sudah menuju ke tempat foto saya dipajang.
Langkah saya terhenti. Laki-laki itu lagi. Dia kembali memandangi hasil foto saya di dinding. Entah karena saya fetish-punggung atau gimana, watching his back is so fascinating. Menikmati momen itu beberapa lama dan entah kenapa saya hapal profil nya pdahal baru ini kali kedua kami bertemu.
"Brooooo!!"
Kami berdua otomatis menengok ke asal suara, Yoon ternyata.
Dia menyapa laki-laki itu dengan jabat tangan khusus, sepertinya mereka dekat.
"Kok gak bilang kalo mau kesini? Tau gitu bareng."
"Mau ambil ini. Hard copy nya bagus, lebih bagus daripada ini. Kevin yang kasih tau."
"Really? Mau ditaroh di mana? Dorm kita ya? Ya? Ya?" kata Yoon antusias.
"Sepertinya studio saya aja."
Trus Yoon manyun.
Saya hanya bisa membeku karena dia menunjuk hasil foto saya. Dia beli foto saya?
"Ini siapa?" he said.
"Eh, saya lupa nanya nama kamu.." kata Yoon.
First, his existence makes me speechless ya, kedua kenyataan dia beli hasil foto saya itu..membuat saya makin membeku.
"Ya?" saya terkaget. Tatapan laki-laki itu membuat saya salah tingkah. Berhadapan seperti ini membuat saya sadar kalau aura nya kuat sekali.
"I'm Yoon. Ini sang Oxygen. What is your name?" dia menunjuk dirinya sendiri lalu temannya.
"Oh. I.."
Kenyataan selanjutnya bahwa Oxygen sekarang berdiri di depan saya membuat saya semakin bodoh, saya seperti tidak ingat nama saya sendiri. Perlahan, saya menghampiri papan informasi hasil karya di dinding lalu menunjuk inisial nama saya.
"Ini kamu yang moto?" Yoon terlihat kaget, matanya membulat, pun temannya.
Cuma bisa mengangguk. Situasi ini bikin saya tidak bisa berbicara padahal masih banyak tanya di dalam kepala.
~ ~ ~ ~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar