Gagal itu punya dua sisi yang wajib hati-hati kita pilih. Satu sisi
membuat kita belajar buat bangkit dan satu sisi lagi membuat kita takut
mencoba lagi. Saya tahu harus nya saya lupakan saja gagal menjadi orang
yang dicintai pasangan saya sepenuh hati, tapi bayangan rasa sakit
sewaktu tidak diinginkan oleh orang yang paling kita inginkan di dunia
ini adalah racun. Itu terjadi ketika saya mulai menyukai seseorang,
mulai memperhatikan seseorang yang saya kenal dengan lebih sering.
Mungkin saja pemikiran positif itu bertahan seminggu atau dua minggu,
merasa jatuh cinta dan merasa lebih bahagia. Tersenyum sampai orang
mungkin menganggap saya sudah gila. Gina memang sudah gila. Itu kata Kak
Nila.
"Gue bukan nya gak mau lagi, Kak."
"Trus apa? Iko membosankan? Kurang ganteng?" Kata nya berapi-api.
Iko terlalu ganteng, kadang saya aja mikir kenapa dia bisa tertarik
mendekati saya. Postur nya bagus, not a gym freak but he runs every
weekend. He's 182 cms height, 10 cms higher than me. Tan skin, thick
hair and well groomed.
"Ish!"
Gemas, Kak Nila menarik sejumput rambut saya.
"Iko sayang sama elu, Gina."
Kak Nila duduk di depan saya dan setelah menghembuskan nafas kesal dia berkata seperti itu.
"Arga juga sayang sama gue. Waktu itu. Trus apa jaminan nya Iko gak akan ninggalin gue buat perempuan lain?"
Kata saya akhirnya. Terucap juga lah apa yang membuat saya trauma
mencintai orang. Karena berharap itu terkadang menyakitkan, sementara
manusia tidak mungkin tidak berharap.
"Iko bukan Arga."
Kata Kak Nila dengan penekanan di setiap kata nya.
"Iko memang bukan Arga, tapi jaminan nya apa dia gak akan pergi dari gue
setelah liat ada perempuan yang lebih menarik perhatian nya daripada
gue? Apa jaminan nya? Lu tau kan kalo gue udah sayang sama orang, Kak.
So, daripada gue ngerasain sakit yang sama lagi, mendingan gue sendiri
aja."
"Duh Tuhan. Susah kali ngomong sama anak keras kepala yang satu ini."
Entah kenapa saya tertawa sinis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar