Sabtu, 12 Mei 2012

30 Reasons To Smile - Chapter 58

Bill muncul lagi dengan wajah nya yang cerah dan tersenyum. Dia pun duduk di hadapan gue, tetep dengan ekspresi nya itu dalam waktu lumayan lama.
" Sorry. " kata gue.
Merasa gak enak karena memperlihatkan wajah cemberut gue ke dia beberapa puluh menit belakangan ini.
" Buat apa? " kata nya lembut, lalu mengelus pipi gue dengan jempol kirinya.
" For being such a bitch.. "
" Who've said that? Gue tau pasti lucky luke charm lu itu penting tanpa lu cerita siapa yang ngasih kok. "
Ah. Dia selalu seperti ini. Terlalu pengertian, terlalu sempurna. Gue itu menyebalkan sementara dia adalah malaikat yang terperangkap di dunia.
" Terima kasih udah ngertiin gue. "
" That's my job actually. " kata nya.
" Ayo ke toko perhiasan. " gue memaksakan diri untuk tersenyum.
" Gak mau ah. Senyum nya gak tulus. Ayo, senyum yang bener dulu! Nih..dibantu pake ini nih.. "
Bill megang tali dengan 3 warna bendera Irlandia itu dan menggoyang-goyangkan nya. Muka nya jahil bener. Senyum gue langsung merekah. Lucky luke charm gue!!
" Di mana ketemu nya?? " gue samber aja dan langsung gue pandangin. Lega.
" Di deket dispenser. Tadi abis isi tumbler kan? " kata nya lucu.
Oh. Iya!
" Thank you! Thank you! Thank you! " gue meluk dia lalu cium dua pipi nya.
" Nah! Ini baru Dee yang gue sayang. Yuk beli cincin tunangan! " kata Bill sambil narik tangan gue supaya berdiri.
Kota New York di bulan Mei ini indah sekali. Sudah hampir sebulan masuk spring season. Can not wait for summer. Biar kulit gue ini lebih coklat sedikit. Hehe.. Tapi biasa nya klo summer turis seperti nya jadi lebih banyak. Dan setiap berangkat kerja melewati Times Square, pasti senyum-senyum liat turis-turis itu, terutama yang dari Asia, mereka sibuk sekali mengabadikan gambar.
Dua tahun tinggal di New York, gue masih aja kaget dengan super modern nya kota ini, plus kehidupan di sini cepat nya juga ada di tingkat super. Apalagi kantor gue ada nya di pusat kota, makin berasa lah cepat dan sibuk nya ritme kehidupan kota besar ini. Itu juga sebab nya gue lebih milih tinggal di pingiran kota, di sebuah apartemen satu kamar yang gue dekorasi sedemikian rupa dan menolak sewaktu di tawarin apartemen mewah di gedung yang sama kaya mom and Derek. Di New York ini adalah saat nya gue hidup mandiri, berusaha tanpa bantuan finansial dari mom dan atau Derek, well, terutama dari Derek.
Dia gak keberatan malah menghidupi gue, apalagi semenjak jadi kepala salah satu rumah sakit di daerah Queens. Jadi gaji per bulan nya otomatis naik.
Kuliah gue baru aja selesai bulan lalu, hal yang sangat melegakan karena kerja dan kuliah di saat yang bersamaan adalah sesuatu yang sangat melelahkan, serasa 2 tahun ini gak pernah ada cukup waktu buat mengistirahatkan badan. Terlihat kurus dengan pipi tirus dan kadang ada tanda kurang tidur di bawah mata gue. Mom sering banget protes klo liat wajah kurang tidur gue, kadang marahin Bill yang ngasih gue banyak kerjaan. Klo mom udah mulai gitu biasa nya gue protes sama dia. Bill itu salah satu atasan terbaik yang seorang karyawan bisa minta, dan it's my job..jadi gak bisa lah mom marah ke Bill.
Untung juga dapet beasiswa, walau gak full, dari kampus. Jadi gue gak harus ambil dua pekerjaan sekaligus buat bayar kuliah dan apartemen juga.

" Mom, masih 6 bulan lagi. Nanti aku baru akan beli bulan September. Aku udah bilang kan berkali-kali. "
" Okay..okay.. Sorry. Besok malem ke rumah yah, sayang. Udah lama kita gak makan malam. Ajak Bill. "
" We were, mom. Last week. "
" No, it was two weeks ago. Mom kangen. Kamu gak pengertian banget sih? "
Gue tersenyum. Inget betapa seneng nya mom waktu gue bilang akan stay di New York buat lanjutin kuliah. Sampe beliau mau beliin gue mobil baru. Of course gue tolak lah. Pindah universitas tapi tetep di major yang sama. Dapet beberapa teman baru yang mengangap aksen gue aneh tapi seksi. Oh, please!
" Okay, mom. Tapi aku gak mau liat tiba-tiba ada gaun putih panjang berlebihan yang harus aku coba yah? " kata gue.
" Deal. I love you, dear. "
" Love you too, mommy. "
Gue menutup telpon dan kembali memperhatikan cincin-cincin cantik bertahtakan berlian yang sudah dipilih sama Bill. Ada kira-kira 8 buah. Semua cantik. Rata-rata berlian berwarna bening tapi ukuran nya bermacam-macam.
" Mom nyuruh beli gaun? "
" Yup! Padahal masih 6 bulan lagi. Bsok makan malam yah sama mom and dad?! "
" I just met him yesterday, but, okay. I'm coming with you. " kata Bill yang bikin gue tersenyum. Selalu nurut dia sama perintah gue.
That's why I love him. Hihi..
" Oh iya..mom gak nyuruh lu ganti cat rambut? " kata Bill lagi sambil ngambil sejumput rambut merah menyala gue.
" I am Hayley Williams with british accent, you know. Haha..no. Udah bosen protes mungkin. "
" At least gak warna ungu atau biru seperti pas bulan-bulan pertama lu di New York yah?! "
Gue cuma ketawa mengingat-ingat hal itu. Bulan-bulan pertama di New York itu masa transisi yang bikin gue sedikit gila. Transisi lingkungan, budaya, hati dan efek nya dalam setahun gue gonta-ganti warna rambut, pernah pink, hijau, ungu, biru.. warna-warni deh! Sampe bikin mom geleng-geleng kepala dan mengelus dada berulang-ulang. Untung nya ini New York, jadi seaneh apapun penampilan lu, gak masalah sama sekali, pasti beda klo di Dublin. Haha!
Mungkin bulan depan akan dicat warna maroon, klo yang sekarang warna nya udah bertahan hampir 6 bulan. Dan seperti nya akan di cat brunette pas pernikahan berlangsung.
Gue tertegun karena baru sadar. Lagu yang baru beberapa detik diputar di toko ini adalah lagu yang sangat mengganggu kepala gue beberapa minggu ini..entah kenapa suara nya sangat familiar, setiap gue pergi keluar kantor, sering banget denger lagu ini diputar, entah pas gue lagi di toko kopi, di mall, atau di public area mana pun di NY. Tapi gue selalu lupa untuk nyari lagu itu di internet.
Gue bahkan hapal salah satu bagian lagu nya..sangat mengena di hati gue.
" One still in love while the other one's leaving. Cos when a heart breaks no it don't breakeven. "

Tidak ada komentar:

Posting Komentar