Sabtu, 12 November 2011

30 Reasons To Smile - Chapter 1

“ Dibutuhkan pelayan ASAP!! “
Gue berdiri termangu memandang secarik kertas yang ditempel di dinding bercat kuning di depan tempat yang setau gue adalah sebuah bar itu. Bangunan di pinggir jalan yang lebar dan luas, mirip bangunan rumah kecuali banner promo yang menghiasi bagian luar. Letak nya di deket perempatan dan lampu merah. It’s at Finglas.
I really need a job. I do. Tapi pasti gue gak akan tahan di sini. Alice, ini darurat!! It’s almost 9 a.m dan setengah jam lagi pasti tempat ini akan buka.
Perang batin karena udah seminggu penuh ini gue cari kerja di seantero kota Dublin, tapi gak dapet kerjaan apapun. Lulusan SMA yang gak terlalu good looking kaya gue mau kerja apa?
Gue mendongak, di bagian  atas ada tulisan The Bottom Of The Hill dengan warna tulisan kuning mendekati emas. Dua warna dominan di gedung ini adalah kuning dan hijau. Warna yang serasi dan menenangkan. Pandangan gue berkeliling, sekitar sini masih terlihat sepi.
Lalu mata gue kembali ke kertas lowongan pekerjaan itu. Gue tau gue gak cantik dan menarik, tapi ada nada mendesak di tulisan itu. Klo emang mereka butuh banget karyawan baru, seperti nya gue bisa diterima di sini. Masalahnya adalah, gue merupakan satu-satu nya orang Irlandia yang gak suka bau alkohol dan tentu aja di dalem pasti banyak banget alkohol nya.
 Apa guna nya alkohol klo diminum? Klo ingin menghangatkan badan kan bisa minum air jahe.
Kakek gue selalu bilang klo masalah ini mungkin terjadi karena 2 hal, entah gue mengidap kelainan genetik atau emang gue dilahirkan di negara yang salah. Gue cuma bisa ketawa klo kakek mulai mengulang bahan candaan nya itu. Senyum tersungging klo gue inget kakek, ayah dari mom yang tinggal di London. Yes, kakek-nenek gue dari ibu adalah orang Inggris.
“ Ada yang bisa dibantu?? “ kata seseorang yang keluar dari pintu.
Sepertinya gue terbawa pikiran gue sendiri sampe gak merhatiin ada orang disini. Mungkin dia liat dari dalem ada cewek gila yang gak pergi-pergi dari depan bar nya.
“ Oh..hai.. “
Gue nunjuk kaca. Lalu laki-laki berumur 30 tahun-an itu sepertinya ngeh apa maksud gue, lalu dia ngasih isyarat untuk ngikutin dia ke dalem.
Masuk ke dalem..masih agak gelap, ada beberapa orang yang sedang bersih-bersih. Bau alkohol menyeruak dan gue menahan diri untuk gak merasa mual. Atur nafas, Dee. Ternyata di dalem agak luas, dengan meja-meja bulat dan beberapa bangku yang masih ditata terbalik di atas nya. Bar di sebelah kiri, dapur di sebelah kanan, di depan ada sebuah panggung dengan alat musik lengkap. It’s a nice place to hang out actually.
Laki-laki itu duduk di salah satu kursi tinggi di bar. Dia merhatiin gue lalu mulai berbicara.
“ Nama kamu siapa? “ gue berdiri di depan nya.
“ I’m Deena Spencer. “ kata gue sambil ngangsurin tangan.
“ Collin O’Mallory. “
Gue sekarang lebih suka pake nama depan gue. Plus nama belakang mom sebelum menikah sama dad. Nama asli gue cukup panjang, it’s Deena Allison Kayleigh Lynch. Tapi semenjak 6 bulan lalu gue lebih suka dipanggil dengan nama Deena atau just simply..Dee. Biasa nya yang kenal sama gue manggil gue Ally atau Alice, tapi karena nama itu mengingatkan gue akan sosok dad, gue menolak dipanggil Alice lagi.
Dad  yang selalu gue anggap sebagai pahlawan gue, yang selalu nyanyi lagu “How Deep Is Your Love” nya The Bee Gees setiap ada kesempatan, yang menularkan kecintaan nya akan sepakbola, yang cuma punya gue dan mom di rumah..
Selalu manggil “Alice” dengan lembut sejak gue masih ada di kandungan mom, nama yang dari dad masih di sekolah ada di urutan teratas nama anak perempuan idaman nya…
Orang yang paling gue banggain sampe tahun lalu. Sampai pada tepat 2 minggu sebelum gue lulus SMA, dad bunuh diri..di rumah..dengan pistol..yang sama sekali gak gue tau dari mana dia dapatkan.
Sejak itu, selama 6 bulan gue selalu mimpi buruk. Ledakan pistol, darah di lantai dan badan dad yang pucat dan dingin. Dad bunuh diri di kamar kerja nya di rumah. Di lantai 3, lantai paling atas di rumah kami. Gue masih inget jelas hari itu..menit ke menit..detik ke detik.
It was dinner time. Mom di bawah selese nyiapin makan malam kami dan mom teriak dari anak tangga terbawah, manggil gue supaya ngetuk kamar kerja dad. Saat nya makan malam bersama.
Tanpa curiga gue pun naik ke lantai 3 dan berjalan santai ke sana, kamar kerja dad ada di ujung lorong. Suasana sepi malem itu..sunyi yang diramaikan secara tiba-tiba dengan bunyi ledakan pistol. Tangan gue membeku di gagang pintu dan badan gue seperti terpaku di lantai. Sampe akhirnya pintu itu yang entah-terdorong-oleh-apa, terbuka lebar. Dad di lantai, gue bisa liat bagian belakang kepala nya di deket kaki meja kerja mahoni nya, darah segar mengalir, merah. Sejak itu satu pertanyaan selalu menghantui gue :
“ Klo gue kesana 5 detik lebih cepat, apa dad masih hidup? “
Kejadian yang bikin semua berantakan. Membuyarkan keinginan gue untuk kuliah tahun ini juga.
“ Is it okay if today you must stay until 4?? I must teach you everything. “
Gue mengangguk senang. Setidaknya gue akan punya harapan untuk menabung, lalu kuliah tahun depan atau tahun berikutnya. Harus.
Gue udah terlalu capek dan terlalu putus asa untuk mencari kerja di tempat lain, jadi diputuskan akan menerima saja pekerjaan di sini. Semoga perut gue terbiasa dengan bau alkohol. Bekerjasama lah kali ini perut ku sayang.
I used to be a nanny for my neighbours waktu masih sekolah. Lumayan untuk beli keperluan sekolah, buku novel atau sekedar nonton film di bioskop tanpa harus minta uang sama mom and dad. Tapi klo untuk kuliah, itu gak akan cukup. Mungkin nanti klo libur dari sini, gue akan tetep membuka lowongan untuk jagain anak-anak kecil di sekitar rumah. Lumayan buat tambahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar