Minggu, 27 Maret 2011

Teh Tarik - Chapter 4

Senin pagi tiba. Gue bangun lebih awal dan bantu persiapan buka warung. Yang masak itu Bude gue. Rumahnya nggak jauh, kok, dari rumah gue. Hari pertama dari dua minggu yang harus gue jalani karena adik gue cuti mengantar makanan untuk tiga kost-kostan yang berbeda.
Tempat pertama: Kost Ibu Ami. Rumah Bu Ami bersebelahan dengan rumah kost-kostan miliknya, jadi gue harus ke rumah utama dulu, barulah mengetok kamar-kamar kostnya satu persatu. Kalau nggak dijawab cepat atau dibukakan pintu, tinggal gue taruh pesanan makanannya di meja-meja kecil yang ada di luar kamar. Setiap tempat makan itu ada nomornya masing-masing, sesuai nomor kamar. Disini, ada delapan orang yang kost. Kebanyakan anak-anak dari Sekolah Keperawatan.
Yang kedua: Kostan milik Bu Bestari. Kostan disini agak lebih keren dibanding kostan yang sebelumnya. Lima puluh persen ber-AC, dan lima puluh persen lagi cuma disediakan kipas angin. Kamar yang ber-AC bisa ditempati berdua, karena ruangannya gede banget. Bu Bestari memang lumayan kaya. Dia punya usaha butik dan lebih memilih tinggal di Kelapa Gading, dekat dengan tempat usahanya. Sementara rumah utama disini didiami sama anaknya yang cowok dan seorang penjaga rumah. Disini memang sepi banget, apalagi cowok ini, Nino--teman SD hingga SMP gue--udah bekerja dan selalu berangkat dari jam delapan pagi. Pulangnya saat Maghrib. Kadang dia juga minta dikasih jatah sarapan dan makan malam sama katering gue.
"Assalamualaikum... Mas Peno?!" Gue memanggil penjaga rumah dari luar pagar yang masih digembok. Lalu nggak lama kemudian, yang keluar malah Nino.
"Eeeh... Dee. Waalaikumsalam. Kok elo yang nganter?" Tanya Nino.
"Iya nih, si adik lagi cuti, hehe." Pagar dibukakan dan dia mempersilakan gue masuk. 
"Mas Peno kemana, No?"
"Ada. Lagi mandi kayaknya. Perlu dibantu, nggak?"
"Nggak usah. Nih, jatah lo. Gue ke belakang dulu, ya."
Setelah memberikan satu kotak makanan, gue ke belakang rumah lewat jalan samping. Kalau disini beda. Kamar-kamar kostnya terletak di rumah belakang. Gue cuma perlu menaruh paket kateringnya di meja makan doang. Nanti kalau mereka mau makan, tinggal ambil sendiri. Rumah besar dengan dua lantai, di masing-masing lantai terdapat tiga kamar. Isinya cowok semua, makanya ayuk... buru-burulah keluar dari sini.
Dari kotak-kotaknya, sih, ada lima orang yang kost disini. Entah koas atau yang sekolah di keperawatan. Mungkin koas, karena disini lebih besar dan fasilitasnya juga memadai. Bayarannya juga pasti lebih mahal.
"Mbak... Mbak..." Tiba-tiba ada yang manggil saat gue sudah sampai di pintu, mau keluar. Mudah-mudahan pas nengok ada wujudnya, hehe.
"Eh kenapa, Mas?" Tanya gue begitu menengok dan mendapati seorang cowok berdiri tak jauh dari gue.
"Kalau lihat mas Peno di luar, tolong suruh kesini ya. Bilang aja dipanggil Ardi."
"Oh, iya..." Kata Gue. Dia pun tersenyum.
"Makasih ya."
"Iya, sama-sama. Permisi."
"Mari..."
Dia tersenyum lagi. Heran, bajunya udah rapi: pakai kemeja dan celana panjang bahan, tapi kenapa matanya segaris? Udah bangun atau belum, sih? Haha... emang begitu, kali, Dee.
Eh... tadi itu cowok yang hari Jumat lalu senyum sama gue, ya? Temannya si Arab? Hmm... what the hell, haha.
Di luar, Gue bertemu mas Peno dan langsung menyampaikan pesan cowok dengan mata segaris tadi. Kerjaan gue masih banyak. Ayo... satu tempat lagi, terus kita jaga warung!!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar