Selasa, 29 Maret 2011

Teh Tarik - Chapter 7

Akhirnya gue jadi ke Gramedia Matraman hari Sabtunya. Minimal beli satu buku. Maksimal dua. Kalau komik... sebanyak-banyaknya! Hehe... Gue pergi sendiri karena lebih enak begini. Nggak ada yang ganggu dan gue bisa berada disini selama yang gue mau. Setelah makan siang, gue berangkat. I put on my music player so I can enjoy the journey. Gue jalan kaki dari rumah kurang lebih 2,5 kilometer, lalu naik busway. Oh iya, sebelum Maghrib harus udah di rumah, ding. Lupa.
Odiee sms, minta ketemuan di Gramedia. Dia mau meminjami gue buku-bukunya Sitta Karina. Asik! Banyak stok buku yang mau dibaca. Senangnya... Anak itu datang saat gue udah menghabiskan beberapa komik Kungfu Komang sambil duduk di pojokan rak-rak bagian komik. Komik favorit gue, nih. Rekomendasi dari teman gue di Oz Club, Ryad. Gue ngakak sendirian dari tadi. Begitu Odiee datang, dia langsung memeluk gue. I kiss her cheeks... I miss her a lot. Sibuk sekali dia dengan segala ini-itu yang berhubungan dengan persiapan masuk perguruan tinggi-nya.
"Makan yuk, Dee. Laper nih belum makan dari pagi sejak keluar rumah tadi." Ajak Odie.
"Masih kenyang. Tapi yuk, ditemenin."
"Udah beli Negeri Lima Menara-nya?"
"Belum. Kamu mau beli bukunya juga?"
"Nggak. Duitnya buat bayar macem-macem."
"Ya udah, nanti aja deh gue belinya. Isi dulu perutnya. Yuk! Mau cerita, kan?"
"Hehe... iya."
Gue rangkul Odiee dan kita pergi ke restoran fast food yang ada di samping Gramedia itu. Kita duduk di bagian paling memojok. Odiee menghadap gue dan di belakang gue tembok. Jadi, posisinya bisa bersandaran. Takut Odiee tiba-tiba nangis pas cerita, jadi posisinya dibuat seperti ini.
Odiee bercerita tentang semua test yang dia ikuti, plus persiapan dan rencananya ke Medan besok. Tiga minggu liburan. Nggak tanggung-tanggung. Dan saat bagian dimana cerita tentang ayahnya mengalir, Odiee mulai berkaca-kaca. Agak sedih dengarnya. Sometimes, keinginan orangtua agar anaknya sekolah ini-itu sesuai keinginan mereka memang bisa dibenarkan. Menurut gue nggak masalah kalau anaknya suka, tapi kalau anaknya nggak suka tapi dipaksa? Akhirnya masuk tapi nggak niat? Di tengah jalan drop out? Lebih baik kasih anaknya pilihan, diskusi, komunikasi, dan mau saling mendengarkan, bukan? Itu aja sih yang kurang dari Papa-nya adik kecil gue yang satu ini. Yah, mudah-mudahan semua cepat teratasi. Sekarang sih, mendingan si Odiee having fun aja. Liburan ke Medan dan ketemu keluarganya disana sepertinya menyenangkan. Apalagi keluarganya yang di Jakarta nggak ikutan.
Menurut penilaian gue, Odiee adalah anak perempuan idaman. Dia anak tertua dengan tiga adik-adik cowok. Bisa membantu kerjaan rumah apa aja: Masak, ngepel, nyapu, nyuci baju, setrika, apapun pekerjaan rumah, dia bisa lakukan. Di bidang akademik pun gue yakin kemampuannya nggak usah diragukan lagi. Odiee juga suka banget dengan hal-hal yang berbau gerakan go green. Wawasannya luas dan banyak banget yang bisa dibanggakan dari anak perempuan yang satu ini. Tapi entah kenapa sang Papa nggak bisa melihat hal itu. Gue pernah bilang ke dia, mungkin si Papa diberikan sifat seperti itu nggak lain adalah untuk melatih Odiee untuk sabar. Cobaan yang Allah kasih untuk memperbanyak pahala sabarnya dia. Kalau nanti Odiee tetap memilih masuk UI (Papanya mau dia masuk STAN), cuma satu pesan gue, belajar sungguh-sungguh sebagai pembuktian diri.
Setelah sesi curhat selesai dan Odiee udah kenyang, kita berdiri. Gue peluk dia dan mengelus punggungnya dengan sayang. Cuma itu yang bisa gue lakukan. Mudah-mudahan hal kecil ini cukup membantu. Kemudian kita masuk lagi ke Gramedia. Tadi belum sempat cari buku Negeri Lima Menara-nya. Odiee sih mau lihat-lihat doang. Harus irit soalnya, supaya bisa membeli oleh-oleh sepulang dari medan. 
"Eh, ada tukang pisang!" Hah? Tiba-tiba terdengar suara yang cukup familiar di telinga gue. Gue refleks nengok dan orang yang barusan bersuara udah ada di sebelah gue. Songong bener. Gue kaget karena ternyata yang berdiri disamping gue adalah Destu. Dia nyengir seperti biasa.
"Kok ada disini?" Tanya gue
"Kayaknya ini tempat umum deh." Katanya dengan nyeleneh.
"Oh, iya sih. I thought you have stalked me." 
"Hah, gue nggak mungkin lah. tapi, kalau yang itu...... mungkin!" Destu menunjuk sebuah sudut dan disana ada Ardi, sedang melambai sambil tersenyum. Dia berjalan kearah gue dan Destu. ASTAGA... kenapa hari ini dia terlihat sangat charming?
"Hei..." Kata Ardi begitu berdiri di depan gue.
"Hei... eh iya. Ini kenalin teman gue." Gue memperkenalkan Odie ke mereka. Odiee, Destu, dan Ardi pun saling berjabat tangan, berkenalan. Gue lihat Ardi membeli buku cukup banyak.
"Buku pelajaran?" Tanya gue sambil menunjuk ke bawaannya.
"Iya nih. Elo?"
"Nih..." Gue menunjukkan novel Negeri Lima Menara yang ada di tangan gue. Belum dibayar.
"Ohh... another novel. Eh, tadi Nino telpon. Mobilnya mau dipakai. Terus buku yang lo cari gimana?" Tanya Ardi ke Destu.
"Gue cari di Kwitang, deh. Lo pulang aja bawa mobilnya. Ntar gue naik busway. Dee... udah mau pulang?" Destu beralih ke gue.
"Iya. Abis bayar ini, pulang."
"Ya udah. Bareng aja sama Ardi."
"Hah?"
Sumpah gue kaget. Kenapa Destu yang gatel? Ardi dan Destu saling berpandangan.
"Emang nggak apa-apa?" Tanya gue ragu.
"Nggak apa-apa, kok. Ya kan, Di?" Kata Destu seraya menyentuhkan bahunya ke bahu Ardi. Wajahnya jahil.
"Eh, iya nggak apa-apa. Sekalian aja." Kata Ardi.
"Ya udah kalau begitu. Odiee gimana?" Gue memandang Odiee.
"Aku mau pulang, kok. Mau packing." Katanya.
"Oh, ya udah. Keluar bareng nggak?"
"Aku mau cari pensil warna buat Yama dulu."
"Oh, ya udah. See you. Have fun di Medan. Ugh... I'm gonna miss you."
Kissing each other cheeks dan berpelukan. Destu juga masih disini dulu sebentar. Cari pulpen katanya. Canggung, gue dan Ardi jalan berdua meninggalkan mereka. Ke kasir dulu untuk bayar buku-bukunya.
"Yuk..." Kata gue setelah bayar. Ardi mengangguk. Aduh, sumpah ya... Kenapa gue jadi salah tingkah begini toh? Payah.
"Dari jam berapa disini?" Tanya Ardi.
"Eh... oh... dari jam berapa, ya? Jam dua belasan lah." Jawab gue.
"Naik apa?"
"Naik busway sendirian."
"Loh, tadi temannya?"
"Ketemuan disini. Rumah dia di Tanjung Priuk."
"Oh... berani banget ya, Lo, jalan sendirian."
"Udah biasa kemana-mana sendirian. Baik punya pacar ataupun enggak..." Ehh... kenapa gue ngomong begitu? Too much information deh, Dee.
"Ohh... wanita mandiri." Dia nengok dan tersenyum ke gue.
"Sort of..." Gue tersenyum balik.
"Your English is good, Dee. Sekolah apa dulu?"
Dan kita pun membicarakan background pendidikan gue selama berjalan ke parkiran mobil. Ardi cukup kaget karena gue cuma belajar bahasa Inggris di sekolah dan dari musik, tapi kemampuan bahasa Inggris gue lumayan bagus. Padahal dia kira gue ikut kursus or something. Aah... biasa aja kok, Pak Dokter. Hahaha...
Gue suka musik, apalagi kalau ada lagu-lagu bagus dan enak didengar yang berbahasa Inggris. Biasanya akan gue tebak-tebak dulu liriknya, setelah itu baru cari lirik yang benar di internet. Kalau gue temukan kata-kata baru, pasti gue cari tahu artinya dan gue catat di notes gue.
He's being sooo nice. Tadi saat gue mau masuk mobil, Ardi membukakan pintunya. Mobilnya Nino, Yaris warna hitam. Tadi gue sempat tanya, mau dipakai kemana mobilnya sama Nino. Dia bilang, kayaknya Nino mau nonton sama temannya.
"Oh iya... mau dengar radio? Berapa gelombang yang sering didengar itu? Oz?" Tanya Ardi.
"90,8 FM." Jawab gue. Pasti Ardi tahu karena sering ke warung. Tangannya mengutak-atik radio player. Gue agak tersentak karena saat dapat gelombangnya, lagu pertama yang kita dengar adalah lagunya Backalley, Somewhere Someone. I love this song sooo much. Dan tanpa sadar gue menggerakkan jari-jari gue, mengikuti irama, gue ketuk-ketukkan jari-jari gue di paha dan bernyanyi pelan.
"Yang nyanyi siapa, Dee? Keren. Judulnya apa?" Tanya Ardi tertarik.
"Ini band teman gue, Backalley. Judulnya Somewhere Someone."
"Teman lo? Gue kira band luar."
"Banyak yang bilang begitu. Mereka band Indie. You must listen to all their songs. Mereka juga meng-cover lagu-lagu dari musisi luar. Bizzare Love Triangle-nya Frente. Mau dengar, nggak?"
"Boleh..."
Gue ambil handphone, mengecilkan volume radio di mobil itu, dan mencari lagu Backalley yang gue maksud. Gue keraskan volumenya, lalu gue letakkan handphonenya di tempat kecil dimana biasanya ditaruh uang receh disitu, di antara kursi gue dan Ardi. Kita mendengarkan lagu itu...
"Enak, Dee... Keren." Kata Ardi.
"Kalau mau, nanti gue bluetooth atau gue pinjami CD mereka."
"Boleh... tapi transfer ke laptop gue aja. HP gue penuh kayaknya."
"Sip sip..."
"Ini band teman lo, berarti lo suka lihat mereka tampil? Pernah?"
"Sering banget. Setahun belakangan ini nonton terus malah. Kenal banget sama vokalisnya soalnya. Dia kerja di Oz Radio."
"Oh, pantesan kenal."
"Eh, kenapa ya, Di, tiap kali gue manggil lo, gue berasa manggil diri sendiri?" Kata gue random.
"Haha... masa sih?"
"Iya. Gue panggil lo yang lain aja ya? Uuummm... Pak Min? Hehe... Dokter Min."
Ardi tiba-tiba tertawa ngakak tanpa memberi jawaban. Gue memandang dia dan baru sadar kalau di rahang kirinya ada luka bekas jahitan yang lumayan panjang. Sepertinya luka lama. Dia sepertinya sadar kalau gue perhatikan. Hidungnya mancung banget kalau dari samping.
"Heh? Ngelihatin apaan sih? Bekas luka gue ya? Pasti takut? Anak kecil aja takut." Katanya tiba-tiba.
"Hah? Enggak. Lo pikir gue anak kecil, Dokter Min?"
"Hahaha... sounds weird."
"Apanya? Maksudnya lo pikir gue emang masih kecil?"
"Bukan. The way you just called me."
"Oh, hehe... Umm... Can I... umm... touch it? Pengin tau aja, eh itu juga kalau lo nggak keberatan."
"Pegang aja kalau berani." Katanya.
Agak ragu-ragu, tapi tangan gue terulur. Pelan-pelan semakin dekat ke wajahnya, lalu akhirnya tersentuh juga. Ardi sepertinya juga menahan napas seperti gue. Just curious, nggak lebih. Jantung gue agak berdetak kencang dan wajahnya panas. Dielus-elus aja.
"Jatuh atau kenapa?"
"Pas masih kecil, kebut-kebutan naik sepeda sama teman-teman sekomplek, terus jatuh. Jadinya begini, deh. Udah observasinya?"
"Eh..."
Omongannya membuat gue sadar kalau tangan gue masih ada di wajahnya. Buru-buru gue tarik tangan gue dari wajahnya. Aduh... gue memalingkan wajah ke kiri, melihat jalanan. Tambah panas wajah gue.
"Nggak takut kan sama gue setelah lihat dan pegang bekas lukanya?" Tanya Ardi.
"Masa begitu aja takut? Aneh."
Gue jadi tahu banyak tentang Ardi hari itu. Disini dia tinggal sama sang Oma yang punya rumah di BSD, kuliah di Pelita Harapan, anak satu-satunya, orangtuanya di Surabaya, dan... hmm... sama-sama orang Jawa. I talk about music a lot. Sepertinya dia kurang update dengan musik-musik baru dan cuma tahu yang sedang popular aja. Gue kasih tahu beberapa musik Indie Indonesia yang keren, seperti Dzeek, Zeke and the Papa, White Shoes, Goodnite Electric, The Trees and The Wild, banyak lah pokoknya.
"Give me all your memory cards, I'll copy it to my laptop." Katanya.
"I will... Gue punya tiga memory card, masing-masing satu giga. Ada sih yang double lagunya. Ntar kalau ada yang nggak suka, tinggal hapus. Listen to Melee. You're gonna love their music."
"Kasih tahu terus yang bagus-bagus..."
"Sip...!"
I really had fun. Senang banget sampai agak kecewa karena udah sampai rumah. Gue turun di depan gang rumah, bilang terima kasih lalu berbalik pulang. Cepat. Harus nganterin makanan ke kost-kostan which is ketemu Dokter Min lagi! Eh... kenapa gue seneng banget ya mau ketemu dia lagi? Padahal barusan juga gue ketemu, hehe. Wajah gue panas...


1 komentar:

  1. kalo ke gramedia jarang beli yah?? hehehehe

    sama dong....

    wkwkwkwkw

    numpang baca gan...

    baca punya saya dong.. hahaha

    http://alifmyname.blogspot.com/search/label/Littlle%20Think

    BalasHapus