Senin, 28 Maret 2011

Teh Tarik - Chapter 6

"Menu hari ini apa? Tanya Ardi. Dia sedang ada di dapur waktu itu.
Hari ini hari Rabu. Tumben dia udah di rumah. Dengan laptop di meja makan dan buku-buku berserakan di sekelilingnya. Gue mulai membongkar kotak makanannya agar dia bisa melihat sendiri menu hari ini. Gue pun mulai mengobrol dengan dia.
"Lagi ngerjain tugas, ya?" Tanya Gue.
"Iya, hari ini libur tapi malah harus ngerjain tugas."
"Namanya juga lagi sekolah. Yang lain pada kemana?"
"Nino belum pulang. Yang lain pada di kamar deh, kayaknya."
"Ohh... Eh, kok tumben ada pisang kepok nih?" Gue menunjuk pisang yang ditaruh di atas kulkas satu pintu yang terletak di sebelah kontainer tempat piring-piring.
"Iya. Dari kemaren. Dikasih sama tetangga sebelah, tapi mau diapain ya?"
"Digoreng aja."
"Nggak tahu caranya."
"Tinggal ditepungin doang. Apa dibikin aroma gitu.."
"Siapa yang mau goreng?" Tanya Ardi.
"Assalamualaikum... apanya yang digoreng?" Tiba-tiba Nino datang. Dia tersenyum ke gue. Akhirnya gue menjelaskan yang tadi sedang gue bicarakan dengan Ardi. Tentang pisang kepok itu.
"Ya udah. Ntar gue balik lagi. Daripada ini pisang didiemin doang terus busuk." Kata gue akhirnya.
"Nggak ngerepotin, Dee?" Kata Nino.
"Enggak. Gue nganter ini dulu ya. Nggak lama, kok." Gue tersenyum dan berlekas keluar. Ardi dan Nino tersenyum lebar. Sejak Ibu Bestari tinggal di Kelapa Gading, di rumah ini jadi minim cemilan. Jadi kasihan gue, hehe. 

Gue tertawa melihat pisang goreng + aroma gue habis dalam sekejap saat gue mulai membuatnya. Satu persatu anak kost pada nongol soalnya. Bahkan Mas Peno aja sampai ikutan. Gue jadi merasa ada di sarang penyamun. Tadi gue pulang ke rumah dulu sebentar karena di rumah ada kulit risol yang udah jadi beberapa lembar, jadi gue ambil aja semuanya. Toh cuma tersisa delapan lembar dan nggak dipakai juga. 
Si Ardi membantu gue memotong-motong pisangnya... so helpful. Destu, salah satu penghuni kostnya juga memperhatikan kita sambil sesekali sibuk dengan Blackberry-nya.
"Pakai keju bisa nggak ya, Dee?" Tanya Ardi. Ini pertama kalinya dia memanggil gue dengan nama.
"Nggak bisa. Kalau keju kan bikin cepat gosong. Kecuali masuk oven atau microwave. Kalau mau, abis digoreng tepung gini, taruh di piring tahan panas, taburi mozarella cheese, terus dimasukin ke microwave. Dua sampai tiga menit sampai kejunya meleleh. Itu enak banget." Gue menjelaskan panjang lebar. Merasa udah jadi master chef, hehe.
"Mozarella itu yang buat pizza ya? Yang ditarik kayak permen karet?" Tanya Ardi.
"Betul banget."
"Hmm... Kapan-kapan bikinin, ya." Katanya.
"Ehem..."
Gue dan Ardi berbarengan nengok ke arah Destu yang menimbulkan suara 'ehem' nggak jelas barusan. Anak itu cuma nyengir sambil menunjukkan jari victorynya. Orang yang aneh.
"Tugas tadi udah selesai?" Tanya gue, ingat kalau tadi sebelum makan malam, Ardi sedang mengerjakan tugasnya.
"Belum. Nanti aja. Agak buntu."
"Eh iya... tadi di buku-buku itu... gue lihat di covernya ada tulisan MSG."
"MGS. Emang Vetsin, MSG?"
"Hehe... Iya maaf. MGS itu apa?"
"Nama gue."
"Kok nggak ada A-nya? Ardi kan nama lo?"
"Iya. Minardi Genta Soehardiyanto."
"Ohh... Ardi-nya dari Minardi? Kayak orang Italia aja."
"Emang diambil dari nama Italia. Tempat orangtua gue bulan madu."
"Apa? Tempat ortu lo bikin elo?" Seru Destu tiba-tiba. Ini anak nyamber aja... teriak pula. Kapan sih ini anak nggak bikin kaget? Ardi nimpuk Destu pakai kulit pisang... Unexpected. Dan terkena mukanya pula. Destu langsung pasang wajah 'berperang'. Gue perhatikan mereka berdua sambil cekikikan doang.
"Terus Genta? Angin berarti ya?" Gue lanjut bertanya.
"Yup... Dari Oma gue."
"Ohhh..."
"Terus nama lo sendiri? Dee beneran? Atau nama panggilan doang?"
Lalu gue beritahu dia nama asli gue. Artinya Dari Hati yang Terdalam kalau kata guru bahasa Inggris SMP gue. Obrolan kita terhenti karena Nino muncul dan mulai membantu gue dengan aroma. Nino yang hobi melipat-lipat soalnya. Loh? Nggak nyambung ya? Hehe...
Delapan orang cowok kayak kesetanan, semuanya habis dalam sepuluh menit. Satu orang satu pisang, aroma, dan pisang goreng. Gue ditawari punya Nino, tapi gue menolak dengan dalih udah kenyang. Lagian, itu kan bagiannya dia.
"Hadiah balasannya... gue buatin milkshake ya?" Kata Nino. Gue mengangguk.
Arka, Paulus, dan Amir mengucapkan terimakasih, lalu pamit naik ke kamar mereka di atas. Mau melanjutkan belajar, katanya. Destu menggoda mereka, pura-pura sewot karena mereka kabur pas makanannya udah abis. Hmm... Nggak nyangka nemu anak-anak kedokteran semenyenangkan mereka. Terutama Destu, Ardi, dan Arka. Gue kira mereka orang-orang yang kaku dan serius karena terlalu banyak belajar. Haha... Mereka juga manusia, Dee. Sorry... My bad! Hehe...
"Gue nggak perlu beresin ini kan? Gue pulang. ya. Udah jam sembilan gini..." Kata gue sambil menunjuk cucian piring di washing sink.
"Biarin aja. Itu nanti gue yang beresin." Kata Nino.
"Oke, gue pulang."
"Gue anterin nggak, Dee?" Tanya Nino.
"Kayak rumah gue jauh aja. Yuk, No...!"
"Makasih, ya, Dee."
"Sama-sama. Yuk, Ardi. Gue pulang dulu."
Ardi mengalihkan pandangan dari laptopnya. 
"Hati-hati ya, Dee. Besok-besok boleh nih pisang goreng mozarella cheese-nya. Hehe..." Dia tersenyum.
"Insya Allah..."
Setelah ngucapin selamat malam, gue keluar dari rumah itu. Sebelum keluar pagar, gue dapat pujian lagi dari Mas Peno.
"Pisang gorengnya enak banget. Nggak kayak yang biasa saya makan."
Oh, pastinya. Kan pakai adonan spesial.
Kalau dilihat-lihat di storage rumahnya Ibu Bestari, sebenarnya bahan makanan instant tersedia, banyak malah. Tapi kenapa nggak pernah ada yang nyoba masak? Padahal bahannya menumpuk gitu. Kan lama-lama bisa kadaluarsa. Sarden, mie instant, mentega, spaghetti siap masak yang ada bumbunya, fetuccini mentah, tersedia lengkap. Di kulkasnya juga penuh. Dressing salad, keju, susu kental manis, telur, bakso, sosis, sayang amat. Mungkin Ibu Bestarinya lagi di rumah, baru digunain kali ya? Atau memang disediakan buat Nino dan anak-anak kost-nya? Tapi... agak salah. Karena pasti jarang yang bisa masak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar