Kamis, 22 Desember 2011

30 Reasons To Smile - Chapter 22

Tangan gue gemetaran setelah membaca surat itu. Gue mencet nomer 1, nomer telpon utama yang gue harus hubungi klo ada keadaan darurat. Stupid. Dia ada di pesawat, Dee!!
Kenapa? Kenapa Glen bisa berbuat seperti ini?
Sebaiknya kita jalan masing-masing saja.
Pandangan kabur.
Tadi dia gak nunjukin kelakuan yang aneh. Tapi dia nyuruh gue buka surat nya setelah sampai rumah. Lutut gue gemetaran. Ini arti ciuman panjang dia di bandara tadi? Arti pelukan nya yang lama tadi? Arti sedih dan terluka yang gue lihat di mata nya walau di bibir nya ada senyum.
Kenapa? Kenapa dia tega?
Kaki gak bisa buat bertumpu dan akhirnya gue terduduk di lantai. Di dekat pintu masuk rumah gue. Tega sekali dia. Apa emang benar dia hanya memanfaatkan gue? Merasa jadi perempuan paling bodoh, tidur sama dia dan memberikan hampir semua tabungan gue ke dia.
Kenapa dia gak bilang langsung aja? Kenapa musti pake surat? Gue kira selama ini dia seorang laki-laki. Gue butuh penjelasan. Beberapa jam lagi akan gue telpon dia. Iya. Gue sebaiknya duduk dan menunggu. Dan sepertinya akan ijin kerja. Gak..gue gak bisa pergi dengan keadaan seperti ini.
Linglung. Mencoba bangkit. Gue ke dapur dan ngambil gelas di lemari, lalu menuangkan air..tumpah kemana-mana. Gue minum dan gue bisa liat tangan gue gemetaran. Sampai akhirnya..gelas yang gue pegang jatuh ke lantai. Pecah dan gue terduduk lagi.
“ Alice..sayang? ” mom tiba-tiba muncul dan panik ngeliat keadaan gue.
“ Kamu kenapa? “ katanya sambil megang rahang gue.
Ini rasanya patah hati dan ditinggalkan? Lebih parah daripada ditinggal dad. Mom meluk gue. Mencoba menenangkan. Surat dari Glen gue pegang erat, terlalu erat malah, sampe akhirnya terlihat lecek.
Mom membantu gue berdiri dan gue dibaringkan di sofa. Kepala gue langsung terasa mau pecah. Dada terasa sesak banget sampe gak bisa nafas.
“ Mom..kenapa laki-laki yang aku sayang selalu ninggalin aku sendirian, mom? First, daddy and now.. Kenapa, mom? “ mulai terisak. Sesenggukan.
“ Ssshh..tenang, Alice. Mom disini. Tenang. “
Ah, mungkin Glen hanya becanda. Gue pun SMS ke nomer nya.
“ You got me, Glen Joseph Power. This isn’t funny at all. Call me right away, love. “
Pending.
Jantung gue berdetak sangat cepat. Terlalu cepat sampai sepertinya akan meledak sebentar lagi.
Terlalu capek menangis, gue tertidur. Mimpi buruk itu lagi. Dad, suara pistol, darah, dad, Glen. Dua jenazah disana.
Terbangun bersimbah keringat dan kaget.
Dada gue masih sakit. Sakit sekali. Gue liat telpon selular dan gak ada missed call atau sms masuk. Harus nya dia udah sampe di London, harus nya dia udah nyalain telpon nya. Ditinggalkan tanpa penjelasan. Tadi gue hanya mimpi buruk kan? Tapi surat itu masih disini, tanpa sadar masih gue pegang.

Maaf, Kay. Aku pergi dan karena aku gak tau sampai kapan aku ninggalin kamu, lebih baik kita putus, jalan masing-masing aja. Kejar cita-cita kamu, sementara aku juga mengejar impian aku. Klo kita masih mempertahankan hubungan kita, aku gak bisa. Maaf. Aku harus konsentrasi penuh dan gak mau jadi beban kamu. Aku gak akan ganggu kamu lagi. Sekali lagi maaf klo aku egois. Terimakasih untuk semua nya, semua indah dan menyenangkan. Cari seseorang yang bisa memprioritaskan kamu di dalam hidup nya. Yours, G. “

Ini ketiga kalinya gue baca surat itu. Sakit di dada makin berasa. Tega sekali dia. Jadi ini akhir kita, G? Kamu gak se-sayang itu sama aku? Gue gak pernah complain tapi kenapa dia memperlakukan gue seperti ini? Tuhan.
“ Minum teh nya, dear. “ mom membuyarkan lamunan gue. Airmata di pipi makin deras aja turun.
Mom daritadi diem aja, mungkin udah tau apa yang gue alamin dari surat nya Glen yang daritadi gue pegang. Eh, kan daritadi ada di tangan gue? Gimana bisa baca?
Patah hati. Menyebalkan.
Brengsek.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar